[Quo Vadis 2018] Percakapan dengan Santo Petrus tentang Bahagia dan Cinta
Rasanya aneh.. Sudah tiga tahun berlalu, tiba-tiba Santo Petrus
menyapaku lagi.. Mungkin beliau heran denganku.. Sudah tua tapi masih suka
ngegalau..
“Kamu kenapa lagi?” Tanya sang rasul kepadaku.
“Limbo[1]”
jawab-ku singkat.
“Halah, dari dulu kamu gak pernah berubah.. Selama ini kamu ngapain aja
sih? Udah yuk, kita jalan bareng lagi[2].
Mungkin aja Tuhan Yesus punya jawabannya..” ajak Santo Petrus sambil
mengulurkan tangannya yang bersahabat.
Mungkin itulah ilustrasi yang tepat untuk menggambarkanku saat ini.
Hidup serba tak pasti hingga akhirnya aku telusuri kembali Quo Vadis itu..
Jalan setapak yang sama seperti yang pernah aku jejakkan 5 tahun yang lalu dan
3 tahun yang lalu.
Perziarahanku yang Ketiga dengan Santo Petrus
Lima tahun yang lalu, pertama kali Santo Petrus menyapaku. “Kamu mau
jadi apa?”. Aku pun memberikan jawabanku.
Tiga tahun yang lalu, Santo Petrus menanyakan komitmenku atas jalan yang
kupilih.. “Kamu yakin?”. Aku pun mantap menjawab ya.
Dan sekarang, Santo Petrus kembali datang saat aku menua dan mulai
mencicipi apa yang aku impikan. Mungkin beliau kecewa sembari menemaniku
berjalan di jalan setapak itu.
“Anak ini galau banget.. Disentil sama hidup aja langsung baperan..
Bukannya ini yang kamu mau ?
Aku hanya bisa curhat..
Limbo... Api Penyucian..
Tidak masuk Neraka tapi Surga pun tak menerima..
Serba tidak pasti, begitu pun hidup di Dunia
“Dunia menuntut banyak kepadaku. Aku hanya bisa melompat, tapi dunia
meminta aku terbang. Dan ketika aku mencoba melompat setinggi mungkin supaya
bisa terbang, dunia malah menarik-ku jatuh dengan keras. Rasanya sakit sekali,
tapi aku sendiri.”
Lanjutkan…
“Tidak ada lagi kawan yang dahulu menemaniku belajar melompat. Semua
tercerai berai mengejar mimpinya masing-masing.. Mungkin dunia sama kejamnya
kepada mereka. Ayah-Ibuku? Mereka hanya mengajariku untuk berjalan, tapi tidak
mengajariku melompat apalagi terbang. Seorang gadis ? Gadis mana yang tertarik
dengan limbo seperti aku.. Orang yang mencintai dirinya sendiri saja tidak bisa
apalagi membagi cintanya dengan seorang gadis.”
Let the picture speaks
“Mungkin kamu egois…” Santo Petrus coba menerawang diriku..
“Benar.. Aku ini cuma manusia yang hidupnya tidak benar dan Rasanya
tepat bila Tuhan menghukumku dengan ketidak-bahagiaan dan ketidak-pastian.. Ia
maha adil dan tak mau aku membela diri..”
Santo Petrus hanya diam membiarkan-ku larut dalam kontemplasiku…
Sebuah Kilas Balik
“Masih ingatkah kamu ketika kamu kecil dulu, kamu begitu berapi-api
dengan mimpimu?”
“Wah Santo, aku masih bocah sekali waktu itu. Masih bodoh tapi idealis
(ya sekarang juga masih bodoh sih).. Dahulu aku bahkan melawan Ibuku demi
mengejar mimpiku. Butuh waktu lama untuk membuatnya menerima mimpiku.. Kalau
diingat-ingat, ambisius sekali waktu itu.. ”.. Aku pun tertawa sambil mengenang
masa lalu dan betapa kekanak-kanakannya aku dulu.
“Lalu dua tahun setelah kamu ungkap mimpi gilamu itu, kita bertemu lagi
kan ?”
“Iya Santo. Aku menemukan batu pijakanku. Batunya memang licin dan
sangat mungkin aku terpeleset jatuh.. Tapi engkau menguatkanku dan membuatku
yakin untuk tetap berpijak dan berevolusi. Aku juga kembali karena ingin
membantu orang lain menemukan batu pijakannya..”
Santo Petrus tersenyum sembari mengusap rambutku..
“Saat aku melihat-mu dengan jubah toga-mu, aku penasaran dengan
kabarmu.. Batu pijakan yang licin itu rasanya bukan lagi jadi masalah
terbesarmu. Aku datang menyapamu lagi saat kamu tengah merajut mimpimu.. Dulu
hanya angan-angan, dan sekarang kamu benar-benar merajutnya.. Apakah kamu tidak
bahagia dengan kondisimu sekarang ?”
Dengan jujur aku menjawab.. “Ya.. Dengan dunia yang
menuntut, dengan rasa sepi, dengan tersia-sianya masa lalu. Kosong...”
And the search keeps continue... A wish to God..
Self-Reflection
Menanggapi kata-kataku, Santo Petrus kembali bertanya:
“Kalau mimpimu tidak tercapai, kalau kamu masih menjadi pengangguran,
apakah kamu akan bahagia?”
Aku diam …
Aku diam …
Teringat kata-kata yang sama yang keluar dari mulut seorang teman lama..
Lagi-lagi Santo Petrus dan temanku itu menyadarkanku bahwa aku seorang
egois.. yang tak mengenal arti syukur..
Ketika Dunia memintaku untuk terbang, aku seharusnya sadar kalau dibalik
permintaan tersebut, Dunia yakin aku bisa terbang sekalipun saat ini aku hanya
bisa melompat.. Aku pun membayangkan masih ada kawanku yang melompat saja masih
belum mampu. Ketika aku bisa melompat, aku lupa ada orang-orang yang “kaki”
saja mereka tak punya.
Mereka yang "tak mampu melompat"..
Mereka yang tidak mempunyai "kaki" untuk berjalan..
“Tapi Santo Petrus, bagaimana caranya rasa syukur bisa mengantarkan kita
pada kebahagiaan ?”
“Yaelah, siapa bilang syukur mengantarkan kita pada kebahagiaan ? Rasa
syukur sesungguhnya meniadakan alasan kita untuk selalu bersedih.. Ngegalau
seperti kamu ini.”
“Lantas, bagaimana caranya supaya kita bahagia ? Gunanya rasa syukur itu
apa ?” Aku masih penasaran dan bertanya layaknya anak kecil..
“Caranya bahagia ? Mudah saja… Temukan cinta…. Dan rasa syukur itulah
yang kamu perlukan untuk menemukan cinta..”
Sedikit kesal memang.. Santo Petrus secara tersirat tampak mengejek
kejombloanku ini..
“Korelasi itu semua apa Santo ?”
“Kalau kamu punya rasa syukur, maka kamu akan lebih mencintai dirimu
sendiri.. Kamu akan menghargai dirimu sendiri dan tentunya kamu akan membuat
dirimu lebih baik lagi.. Bukankah kamu yang bilang sendiri kalau kamu tidak
bisa mencintai orang lain karna kamu tidak bisa mencintai dirimu sendiri ? Ya kalau begitu jawaban atas pertanyaanku ini
aku serahkan lagi ke kamu.. Oh ya, jangan kelamaan jomblonya ya”
-_-
Bahkan seorang Chairil Anwar yang hidupnya lebih limbo mampu memahami cinta layaknya casanova..
Ida Nasution, Sri Ajati, Sumirat, dan Hapsah Wiriaredja (Masih banyak lagi).
Representasi intelektualitas (Ida), keindahan (Sri Ajati), gairah (Sumirat), dan realita (Hapsah)
Empat hal yang selalu berusaha dipahami oleh tiap insan manusia..
Aku pun mencoba mengalihkan topik.. Ngenes juga kalau Santo Petrus terus
membahas masalah ini.
“Bagaimana caranya cinta bisa membuat bahagia?” tanya-ku
“Wah gila kamu nak pertanyaan abstrak macam apa itu… Kamu baca buku apa
sih ? Pram[3]
kah ? Sapardi[4]
kah ? Jangan kayak dosen-mu yang nyentrik itulah[5]..
Kebanyakan filsafat ni anak.. Tapi menarik juga sih..”
Santo Petrus sejenak diam untuk berpikir.. Mencari jawaban atas
pertanyaanku yang abstrak itu..
“Mudahnya begini, cinta itu datangnya dari hati. Kalau cinta datangnya
dari logika kamu akan jadi manusia yang pemilih dan penuntut.. Mana ada
kebahagiaan yang datang dari tuntutan ?
Karna cinta datangnya dari hati maka ingatlah pelajaran agama-mu dulu..
Hati nurani ini yang menentukan apa yang baik dan buruk.. Pastinya kamu akan
memilih bisikan nurani yang baik kan ? Jadi ikutilah kata hatimu karna ia tahu
yang terbaik untuk kamu.. Ketika kamu tahu yang terbaik untuk dirimu dan
mungkin orang-orang disekitar kamu, biarkanlah rasa cinta itu tumbuh, mendidikmu
dan membentukmu. Dan ketika kamu hidup berdasarkan cinta, niscaya kamu akan
memperoleh kebahagiaan. Sekali lagi aku tekankan, selain kebaikan, cinta juga
bisa dipupuk dengan rasa syukur sebagaimana yang telah kita diskusikan
sebelumnya.”
“Saya masih tidak mengerti…”
Santo Petrus tampaknya pusing melayani pertanyaanku.. Ia hanya
menjawab..
“Begini saja deh.. Aku akan hadirkan ditengah kamu orang-orang yang
berkarya dengan cinta.. Orang-orang berbahagia hidup dengan
kekurangannya akan tetapi bisa menjadi pelita bagi orang lain.. Aku bertaruh ke
kamu, jadi lawyer di gedung ber-AC yang nyaman itu gak sebahagia menjadi guru
untuk anak-anak di Papua sana..
Liat aja kejutannya nanti.”
Kami pun kembali berjalan…
Akhir Percakapan
“Kok dari tadi kamu diam saja ? Sudah habis pertanyaan dan curhat mu itu
? Kasihan loh nanti Tuhan Yesus gak punya bahan obrolan..”
“Gimana ya, semua percakapaan kita itu abstrak dan sangat kontemplatif..
Memang yang Santo Petrus ucapkan itu benar adanya, tapi rasanya sulit untuk aku
praktikan dalam hidupku..”
Lagi-lagi aku ragu..
Quo Vadis Pertama..
Dan kita adalah Santo Petrus bagi diri sendiri..
Orang yang bingung, galau, limbo, sekaligus orang yang menemukan solusinya sendiri..
“Ya biar-kan waktu yang menjawab itu semua..” Kata Santo Petrus dengan
santainya.
Aku hanya bisa tersenyum… Lalu aku membuat sebuah keputusan..
“Santo Petrus, kita sudahi saja jalan-jalannya.. Terima kasih banyak
atas segala nasihatmu hari ini..”
“Loh bukannya kamu juga mau bertemu Tuhan? Mungkin ia bisa memberikan
lebih banyak dari aku ?”
“Wah kalau ketemu Tuhan bukannya aku sudah mati ya ? Aku masih mau
menikmati indahnya dunia dan mensyukuri segala nikmatnya.. Aku pun juga masih
belum merasakan cinta dan belum menemukan seseorang yang bisa aku cintai.
Jangan sampai aku meninggalkan dunia dalam keadaan limbo dan jomblo..” Jawab-ku
sambil bercanda..
“Ya gak begitu juga lah.. Kamu pikir aku malaikat maut apa ?”
Tampaknya Santo Petrus tidak bisa menerima jokes receh ku ini.. Tapi
satu hal yang aku yakini, beginilah Tuhan bekerja. Tak perlu aku menemui Tuhan
Yesus secara langsung karna sabda dan firmannya selalu hidup ditengah-tengah
kita, tidak hanya hidup dalam nasihat Santo Petrus. Bahkan aku pun jadi yakin
kalau hidup dan dunia yang aku keluhkan saat ini merupakan bentuk firman dan
kasih sayang Tuhan Yesus sendiri untuk diriku.
Kadang kita merasa jauh, tapi sebenarnya dekat..
Well, this is my new family right now..
Setiap insannya, setiap tempaannya, setiap ilmunya..
Inilah Dunia yang Tuhan berikan kepadaku
Sekaligus bentuk cintanya kepadaku supaya aku bisa terbang !
“Ya sudah kalau kamu mau mengakhiri jalan-jalan kita ini.. Sampai jumpa
lagi ya.. Tak sabar untuk bertemu denganmu lagi..” Santo Petrus memeluk-ku, melambaikan
tangannya sebagai tanda perpisahan dan aku balas dengan senyuman.
Seketika aku mendengar suara ketukan pintu “morning call” dari
rekan-rekan panitia inti jam 5 pagi di tengah dinginnya udara puncak.
________________________________________
A letter from the writer
Cerita ini sesungguhnya merupakan hasil kontemplasi penulis di tengah
kegabutannya (yes, rasanya begitu enak untuk mengisi waktu luang dengan
merenung dan berfilsafat – ketauan orang introvert banget). Tiga kali terlibat
dalam Quo Vadis, di tahun 2013 sebagai peserta berikut tahun 2015 dan 2018
sebagai mentor, menjadi catatan tersendiri bagi penulis untuk merenungi hal-hal
apa yang terjadi dalam hidupnya dalam kurun waktu 5 tahun tersebut. Berawal
dari upaya penemuan mimpinya saat ia masih SMA, berlanjut dengan proses
mencapai mimpi tersebut ketika memasuki bangku kuliah, dan mulai menjalankan
apa yang dimimpikannya saat ini. Di dalam tiga tahap kehidupan tersebut, kita
harus sadar bahwa bunga tidur itu tak selamanya indah karna realita memiliki
caranya sendiri dalam menyambut setiap insan manusia.
With a great power comes great
responsibility, demikian
quotes dari Uncle Ben kepada Spiderman yang termashyur itu. Setiap pencapaian
dalam hidup kita merupakan manifestasi dari kekuatan kita yang sesungguhnya.
Survive saat SMA dan nantinya survive saat memasuki dunia kampus bukanlah hal
yang mudah and once you are able to pass
those challenges, it shows you have that “power”. Hal yang sama juga
berlaku ketika kita memasuki dunia kerja, menikah, berumah tangga, dan
sebagainya di mana kita dituntut untuk memiliki “power” yang lebih besar tetapi
juga dunia dan realita menuntut “pertanggung jawaban” kita atas kekuatan
tersebut. Kongkritnya tentu saja dunia (include Tuhan juga) meminta kita untuk
hidup memberikan kebermanfaatan baik bagi diri sendiri atau orang lain. Life without a purpose is a useless life.
Quo Vadis dalam arti sempit bertujuan untuk membantu kita mengambil
keputusan-keputusan yang sifatnya kongkrit. Titik beratnya pada mau kuliah apa
dan mau jadi apa. Sarat akan keprofesian dalam konteks “ilmu tukang” (istilah
ini kupinjam dari Dosen Filsafat Hukum-ku, Bang Fernando Manullang). Quo Vadis
dalam konteks ini tentunya sangat relevan untuk teman-teman kelas 3 SMA yang
“limbo”-nya masih dalam batas bingung mau kuliah apa dan cita-citanya apa.
Tapi Quo Vadis dalam arti luas tentunya lebih sulit dipahami daripada
Quo Vadis dalam arti sempit karna menyangkut seluruh aspek dalam hidup kita
sebagai manusia, bukan hanya terbatas pada kuliah dan cita-cita. Main question dalam quo vadis arti luas
ini berkutat pada pertanyaan “apa itu hidup dan hidup itu gunanya apa”. Well
pertanyaan yang abstrak, susah dijawab, dan pertanyaan seperti ini menjadi
makanan sehari-hari orang-orang selevel para filsuf Yunani. Pertanyaan yang
sama mengapa penulis menitik-beratkan pada dua kata “bahagia” dan “cinta” dalam
perenungan QV di tahun 2018 ini (bandingkan dengan tulisan penulis di QV 2015
yang sarat akan konteks pertukangan. Cek http://alfiananditya.blogspot.com/2015/09/sharing-quo-vadis-2015-antara-jalan.html). Tepatlah bila kita berpendapat
“biarkanlah waktu dan kedewasaan yang akan menjawabnya”.
Menjadi manusia itu harus seperti buah anggur..
Makin tua, makin manis, dan makin berharga..
I'm so grateful to come home..
I'm so grateful to meet all of you..
I felt "so recharged"
Based on what is written above, satu hal yang harus kita yakini, Quo Vadis itu tidak hanya ditanyakan dan eksis
dalam balutan acara 2 hari 1 malam saja. Tapi pertanyaan “Quo Vadis ?” itu akan
terus ada selama kita berziarah di dunia ini atau dengan kata lain sampai kita
mati nanti. Memang setiap manusia memiliki “jalan setapaknya” masing-masing
berikut Santo Petrusnya masing-masing, tapi satu hal yang pasti tujuan hidup
semua manusia pada hakikatnya satu yakni kebahagiaan abadi bersama sang
pencipta.
Selamat berkontemplasi, selamat melanjutkan
ziarah hidupnya, dan selamat menikmati dunia !
____________________________
____________________________
Catatan Kaki
- Berasal dari Bahasa latin limbus yang berarti tepi atau batas. Dalam teologi Gereja Katolik merujuk pada kondisi kehidupan setelah kematian bagi mereka yang meninggal karna dosa asal tanpa ditetapkan masuk neraka. Merujuk pada blog senior-ku Bang Adrianus Eryan (https://eryandon.wordpress.com/2017/08/14/limbo/), bisa dikatakan sebagai api penyucian, kondisi serba tak pasti antara masuk surge atau neraka. Intinya adalah ketidak-pastian termasuk ketidak-pastian hidup. Cocok untuk orang-orang usia 20 tahunan yang baru lulus dan mulai memasuki dunia kerja, penderita Quarter Life Crisis.
- Terinspirasi dari kisah “mitologi” Gereja, perjumpaan Santo Petrus dengan Tuhan Yesus dalam perjalanan keluar dari Roma. “Domine Quo Vadis ?” (Tuhan, ke mana engkau pergi)… “Eo Romam iterum crucifigi” (Aku hendak kembali ke Roma untuk disalibkan kembali). Santo Petrus menyadari panggilannya, kembali ke Roma, disalibkan secara terbalik dan menjadi martir di sana.
- Merujuk pada Pramoedya Ananta Toer, Sastrawan Indonesia dengan mahakarya Tetralogi Pulau Buru-nya itu (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca). Jangan lupa karya-karyanya yang lain.
- Merujuk pada Sapardi Djoko Darmono, Pujangga Indonesia, dengan karyanya Hujan di Bulan Juni dan puisi romantisnya berjudul Aku Ingin.
- Siapa lagi kalau bukan Yu Un Oppusunggu, Fernando Manullang, dan banyak dosen-dosen lainnya. Jangan lupakan juga seorang Boghi Megananda, S.H., dosen ilmu nimoral.
Komentar
Posting Komentar