[SHARING] Quo Vadis 2015: Antara Jalan Salib, Karma, Mimpi, dan Pembelajaran


"Tulisan ini Kupersembahkan 
untuk 
Keluargaku, SMA Santa Theresia 
Teman-Temanku, Alumni SMA Santa Theresia
dan Khususnya
Adik-Adikku, Theresian 2016"



-Ketika Petrus Berjumpa dengan Tuhan Yesus-

Ketika Petrus Berjumpa dengan Tuhan Yesus

"Domine, quo vadis ? - Tuhan, ke mana engkau pergi ?" demikianlah tanya Santo Petrus saat ia berjumpa dengan Tuhan Yesus dalam pelariannya dari Roma. Petrus sendiri digambarkan sedang mengalami keraguan dan bahkan ketakutan terhadap resiko misi pewartaannya, yakni disalibkan. 

"Eo Romam iterum crucifigi. - Aku hendak kembali ke Roma untuk disalibkan kembali" ,balas Yesus atas pertanyaan Petrus. 

Seketika, Petrus menyadari panggilan dan tanggung jawabnya kepada Tuhan. Keraguannya hilang dan ia kembali ke kota Roma. Sebagai umat kristiani, kita pun tahu apa yang terjadi selanjutnya, penyaliban Petrus secara terbalik. Petrus merasa tidak pantas disalibkan dengan posisi yang sama seperti saat Tuhan Yesus disalibkan sehingga ia memilih disalibkan secara terbalik.

Quo vadis yang merupakan bahasa latin seakan menemukan maknanya ketika kalimat tersebut tampil dalam kisah Santo Petrus. Quo vadis bukanlah sekedar kalimat singkat tetapi ia merujuk pada suatu pertanyaan akan arah tujuan hidup kita berikut bagaimana kita memaknai arah tujuan tersebut.

Berkat kisah perjumpaan Petrus dengan Tuhan Yesus, quo vadis menjadi kalimat yang terkenal dan kerap dipakai dalam berbagai bentuk aktivitas manusia, entah itu dalam judul buku, judul film, maupun acara seperti yang diselenggarakan oleh almamater saya, SMA Santa Theresia setiap tahunnya.

Setiap orang tentu memiliki cara pandang yang berbeda-beda terhadap quo vadis itu sendiri. Saya sendiri memaknai quo vadis tidak hanya sekedar refleksi dari diri sendiri untuk diri sendiri, tetapi quo vadis merupakan bentuk permohonan saya kepada Tuhan untuk mengarahkan, membimbing, dan merestui arah tujuan yang akan saya ambil. Apalah arti suatu tujuan jika Tuhan tidak dilibatkan dalam proses pencapaiannya.. 

Saya pun tidak tahu bagaimana an mengapa SMA Santa Theresia memaknai quo vadis dan menjadikannya sebagai nama acara yang diperuntukan bagi siswa/i kelas 12, tapi tetap bagi saya, quo vadis berarti suatu pencarian arah tujuan sekaligus permohonan hadirnya Tuhan dalam tujuan tersebut.

Terlepas dari bagaimana cara memaknai quo vadis, pastinya Quo Vadis (acara) yang diadakan oleh SMA Santa Theresia merupakan suatu acara yang rutin diselenggarakan setiap tahunnya. Acara  yang dilaksanakan bersama dengan rekan-rekan alumni SMA Santa Theresia (khususnya mereka yang sedang belajar di perguruan tinggi) bertujuan untuk memberikan informasi mengenai dunia perkuliahan serta memantapkan minat dan tujuan siswa/i kelas 12 setelah mereka lulus SMA. Pengenalan dunia kuliah, open tender, sharing jurusan, dan pengarahan cita-cita merupakan titik berat dari acara quo vadis ini.

"Dulu Peserta, Sekarang Panitia"



Atas: Theresian 2016
Bawah: Mentor Quo Vadis 2015

Teringat kembali pada pertengahan-akhir tahun 2014, saat panitia inti Quo Vadis 2015 membuka open recruitment kepada seluruh alumni SMA Santa Theresia untuk menjadi mentor dalam acara ini. Saya sendiri kaget mengenai open recruitment yang sudah dibuka padahal acara intinya jatuh pada akhir Agustus 2015. Berbeda sekali dengan open recruitment mentor PSAF-PMH (acara ospek Fakultas Hukum UI) yang dibuka pada Maret-April 2015 dengan acara intinya pada akhir Agustus 2015.

Setelah mengetahui ada open recruitment tersebut, saya seakan terpanggil untuk kembali lagi ke sekolah. Bukan sebagai murid, tetapi sebagai alumni yang baru saja lulus. Saya memiliki beberapa motivasi yang mendorong saya untuk mendaftarkan diri sebagai mentor di acara Quo Vadis tersebut. Motivasi utama saya tentu saja ingin mengabdikan diri saya  kepada sekolah. Sekolah telah mendidik dan membesarkan saya selama tiga tahun. Sekolah juga telah menjadikan saya "orang" (meski proses itu masih berlanjut) dan saya sadar bahwa tanpa sekolah, saya tidak akan bisa berkuliah di fakultas hukum terbaik di negeri ini. Sekolah juga memberikan kenangan manis dalam hidup saya entah itu senang-susah maupun kesuksesan-keterpurukan. Sekolah juga mengenalkan saya kepada sahabat-sahabat yang sekarang sedang mengejar kesuksesan dengan "jalannya" masing-masing. Intinya, dengan Quo Vadis, saya ingin membalas kebaikan yang telah diberikan oleh SMA Santa Theresia dengan cara memberikan "kebaikan" kepada siswa/i yang tengah duduk di kelas 12.

Adapun motivasi lain untuk menjadi mentor ialah keinginan saya untuk mengenalkan dunia perkuliahan fakultas hukum kepada teman-teman kelas 12 atau Theresian 2016 (merujuk pada tahun kelulusan mereka *amin tercapai di tahun 2016*). Bagi saya, pendidikan hukum seakan belum menjadi primadona bagi siswa/i yang bersekolah di sekolah katolik seperti SMA Santa Theresia. Materi yang banyak, menghafal, pasal-pasal yang menggunung, kondisi hukum Indonesia yang bobrok dan keras, serta lingkungan hukum yang "publik" dijadikan alasan mengapa pendidikan ini kurang diminati. Teman-teman yang sedang atau pernah belajar di sekolah katolik-swasta tentu lebih tertarik pada bidang pengetahuan yang prospek kerjanya bersifat "privat" seperti akuntansi, bisnis, arsitektur, manajemen, dsb. Pandangan "untuk apa ngurusin kepentingan orang lain" seakan masih melekat kuat dalam diri siswa/i sekolah katolik-swasta. Adapun mereka (dan kami) berasal dari golongan minoritas yang sulit menyatu dengan akses publik atau stake holder yang notabene dikuasai oleh golongan mayoritas.

Dibalik kekurang-tertarikan teman-teman yang berasal dari sekolah katolik-swasta (seperti SMA Santa Theresia), sesungguhnya saya melihat potensi yang besar dari mereka. Pendidikan sekolah katolik yang berorientasi pada penyeimbangan edukasi akademik dan karakter, seakan menjadi solusi atas krisis moralitas yang melanda negeri ini, khususnya dalam bidang hukum. Nilai-nilai kedisiplinan, ketekunan, dan kejujuran menjadi semacam trade mark dari sekolah-sekolah katolik termasuk SMA Santa Theresia dengan pendidikan ursulinnya. Kedisiplinan, ketekunan, dan kejujuran sesungguhnya amat dibutuhkan dalam dunia hukum Indonesia. Ketiga nilai tersebut merupakan kunci utama dalam reformasi dunia hukum Indonesia dan saya melihat SMA Santa Theresia memiliki potensi untuk melahirkan calon-calon jurist yang sanggup mewujudkan reformasi itu.

Dengan panggilan serta motivasi tersebut, tangan ini mengetik curriculum vitae dan mengirimkannya ke email yang diberikan oleh panitia inti. Proses berikutnya, wawancara oleh alumni dan panitia inti pada akhir Januari 2015. Saat proses wawancara saya mengungkapkan motivasi serta pengalaman saya saat mengikuti Quo Vadis dulu berikut permasalahan yang saya utarakan kepada mentor saya disaat saya duduk di kelas 12 (tahun 2013).

Pada akhir wawancara, alumni yang bersangkutan menanyakan kepada saya "Kira-kira lu bersedia gak datang ke Tere setiap sabtu selama lima bulan sekali untuk mengikuti pelatihan mentor ?".

Pertanyaan itu seakan menguji kesetiaan saya terhadap panggilan menjadi mentor tersebut. Terdapat pesan tersirat dari pertanyaan tersebut:

"Apakah kamu siap berkorban, meluangkan waktu disamping kesibukan kuliah dan kegiatan kemahasiswaan, tidak mendapatkan apa-apa terlebih dibayar, demi kebaikan masa depan anak-anak yang tidak kamu kenal secara detail ?" 

Pengalaman tersebut rasanya sama seperti apa yang dialami Petrus ketemu berjumpa dengan Yesus dalam pelariannya. "Aku hendak kembali ke Roma untuk disalibkan kembali" juga mengadung pesan tersirat "Apakah anda tetap setiap pada misi pewartaan ini meskipun anda tidak mendapatkan keuntungan dan bahkan anda harus siap mengorbankan diri anda untuk misi ini ?".

Saya sempat terdiam... dan menjawab: "Oke, gw bersedia.." Berakhirlah wawancara itu.

Beberapa hari kemudian, hasil seleksi mentor diumumkan dan puji Tuhan saya diterima sebagai mentor dan menjadi bagian dari panitia Quo Vadis 2015. Saya dan teman-teman mentor pun menjalankan latihan selama lima bulan dengan rinciannya satu latihan per bulannya. Memang benar resiko itu ada dimana saya dituntut untuk mengorbankan waktu istirahat maupun waktu untuk kegiatan lainnya termasuk waktu liburan, Sebenarnya, apa yang saya korbankan masih belum apa-apa dibandingkan dengan apa yang dikorbankan oleh teman-teman mentor lain, panitia inti, dan bahkan pembicara yang diundang khusus pada acara inti. Panggilan hidup dan motivasilah yang membuat saya tetap setia pada "misi" ini.

Setelah latihan, tibalah pada acara inti Quo Vadis. Kurang tidur, bangun sangat pagi dan datang ke sekolah sebelum jam 6 pagi merupakan pengalaman tersendiri menjelang acara inti. Kami pun berangkat dan tibalah saat dimana latihan yang kami jalankan tersebut diuji.

Hukum Karma..



2013... Ketika kami menjadi peserta

Pasrah-apatis ! demikianlah First impress saya terhadap teman-teman Theresian 2016. Mereka terlihat kurang bergairah dan kurang aktif selama mengikuti rangkaian acara. Hal ini pun diakui oleh beberapa guru yang ikut bersama kami ke Rumah Retret Bukit Kehidupan sebagai tempat dilangsungkannya acara inti Quo Vadis 2015. Kami sebagai mentor dituntut untuk memancing keaktifan mereka tapi ya begitulah... Mereka sudah kurang aktif dalam sesi diskusi, "rame" pula pada saat sesi presentasi (padahal bagian ini penting).

Melihat mereka yang rame sendiri mengingatkan saya pada Quo Vadis tahun 2013, dimana saya dan teman-teman kerap ngobrol dan rame karena kami bosan memperhatikan presentasi. Akhirnya, saya pun merasakan apa yang dirasakan panitia Quo Vadis 2013. Pengalaman ketika suatu acara dan materi sudah disiapkan dari jauh-jauh hari tapi kurang dihargai oleh peserta.

Tidak hanya itu saja angakatan saya berulah pada tahun 2013. Kami juga "rakus" kalau makan, khususnya anak laki-laki. Kami sering mengambil porsi makan secara berlebihan sehingga teman-teman perempuan, panitia, dan guru mendapatkan jatah makan yang sedikit. Akhirnya, pada Quo Vadis 2015 saya merasakan yang namanya "cuma makan piring"... Benar-benar makan seadanya. Makan malam hari pertama, ada yang hanya makan nasi dengan kuah opor dan kerupuk saja. Sarapan di hari kedua jauh lebih parah. Muncul istilah nasi tim (Nasi uduk pakai ketimun). Saya sendiri hanya makan nasi uduk dengan sambal karena telur dadarnya habis. Beberapan panitia dan hampir semua guru hanya makan pop mie dan bahkan ada yang makan energen. Ada pula yang kehabisan waktu makan sehingga yang bersangkutan langsung menyantap energen tanpa diseduh terlebih dahulu. Kami juga kehabisan air minum pada tengah malam dan mungkin hal yang sama juga dirasakan teman-teman peserta.

Esensi dari kesulitan ini ? Tentu aja hukum karma. Saya masih ingat kata-kata almarhum bapak Anton (guru sejarah):

"Ada yang namanya hukum karma dalam kepercayaan masyarakat Hindu. Apa yang kamu perbuat pasti kamu akan menanggung akibat yang sama dari perbuat tersebut."

Curahan Hati Theresian 2016

Sharing pribadi antara mentor dan peserta, merupakan agenda rutin dan pasti ada di dalam Quo Vadis.

Ketika membicarakan sharing pribadi, saya teringat ketika saya berada di posisi peserta pada tahun 2013, dimana masalah yang saya hadapi amat kompleks yakni:

1. Galau soal jurusan kuliah (ekonomi vs hukum)
2. Bingung menyalurkan hobi (desain grafis)
3. Dilarang belajar hukum oleh orang tua

Mengacu pada pengalaman saya sebagai peserta, saya mencoba mengimplementasikan pengalaman tersebut ketika menjadi seorang mentor. Saya dituntut untuk memiliki pengetahuan yang luas, peka, dan siap mendengarkan curahan hati (curhat) anak-anak mentee saya.

Tentu dalam blog ini, saya tidak mau menceritakan secara mendetail curhatan dan pengalaman yang dibagi oleh anak-anak mentee saya kepada saya sebagai mentornya. Disini, saya hanya sebatas menuliskan gambaran umum saya terhadap sharing pribadi teman-teman Theresia angkatan 2016.

Setelah mendengar sharing dari teman-teman mentee, saya menghampiri teman-teman mentor lainnya dan berkata:

"Gimana anak-anak mentee lw ? Masalahnya ribet gak ?" 

Tentu saja pertanyaan tersebut sifatnya umum dan teman-teman mentor rata-rata menjawab:

"Hampir semuanya gak ada masalah.. Kurang seru nih sharing mereka"

Ternyata teman-teman mentor mengalami pengalaman yang sama dengan saya. Hal ini pun diakui oleh guru-guru bimbingan konseling dimana mereka membuat statement kalau teman-teman Theresia 2016 terkesan pasif dan tidak seaktif angkatan-angkatan diatasnya.

Sebagai seseorang yang pernah menghadapi masalah kompleks saat memilih jurusan kuliah, saya senang karena mereka tidak menghadapi masalah serumit saya dan tak perlu pusing-pusing memikirkan "mau kemana saya tahun depan". Tapi sebagai seorang mentor, ada sedikit rasa kecewa dimana saya kurang bisa memainkan peran sebagai seorang "konsultan" terhadap Theresian 2016. Mudah saja bagi kami (saya dan teman-teman mentor) untuk memberi nasihat kepada mereka. Dalam masalah ini, saya tidak bisa menyalahkan teman-teman 2016 yang "kurang bermasalah" maupun teman-teman mentor yang "kurang bijak" dalam konsultasi. Tapi, beginilah fakta yang harus diterima dan dijalankan baik oleh teman-teman 2016 maupun kami sebagai mentor.

Esensi utama dalam sharing ?

"Kami (para mentor) tidak bisa memberikan solusi yang pasti manjur terhadap permasalahan yang kalian (peserta/Theresian 2016) hadapi. Kami hanya bisa memberikan pengalaman kami sebagai orang-orang yang sudah berkuliah. Adapun, solusi tersebut hanya bisa dicari oleh kalian sendiri, dan jadikanlah pengalaman kami sebagai pembelajaran dalam mencari solusi tersebut"

Mencari Calon Jurist sekaligus Shock Therapy


Sedikit gambar humor mengenai perkuliahan hukum :)

Hal yang tentu membuat saya semangat mengikuti "panggilan" saya di dalam Quo Vadis adalah pada saat acara sharing jurusan, dimana saya berperan sebagai mahasiswa fakultas hukum dan mempromosikan ilmu yang telah saya pelajari selama dua semester terhadap peserta Quo Vadis.

Bagaimana dengan peminat hukum di Quo Vadis 2015 ? Sekitar 20 atau lebih memiliki minat terhadap ilmu hukum (empat kali sesi sharing)

Dalam sharing jurusan, kami dilarang mempromosikan universitas tempat kami menimba ilmu, namun sebagai mahasiswa FHUI, saya berusaha mengimplementasikan pendidikan hukum di UI sebagai cerminan pendidikan hukum di Indonesia dalam acara Quo Vadis (mengingat FHUI merupakan fakultas hukum pertama dan tertua di Indonesia - selain itu hari ulang tahun FHUI juga diperingati sebagia hari kelahiran pendidikan hukum di Indonesia)

Saya jelaskan kepada peminat ilmu hukum mengenai apa yang kami pelajari di fakultas hukum beserta peminatan hukum (acuan kurikulum 2013), prospek kerja, dsb. Meski materinya cukup banyak, saya memprioritaskan diri saya untuk menceritakan kehidupan saya sebagai mahasiswa FHUI dalam menghadapi kehidupan kampus dan belajar di FHUI.

Pengalaman yang saya ceritakan juga saya jadikan shock therapy kepada teman-teman Theresia 2016 yang memiliki minat untuk belajar di fakultas hukum. Pertanyaan yang selalu peserta ajukan saat sharing ilmu hukum:

"Kak, benar ya belajar di fakultas hukum banyak hafalannya ?"
"Kemampuan menghafal mutlak perlu kan saat belajar hukum ?"
"Materinya banyak banget ya ?"
"Harus bisa hafal mati pasal-pasal / aturan hukum ya ?"

Menanggapi pertanyaan umum tersebut, saya menjawab

" Materi tentu aja banyak mengingat hukum itu mencakup segala aspek dalam kehidupan manusia dan kehidupan manusia tersebut pastilah berkembang".

"Kemampuan menghafal itu perlu namun kami juga dihadapkan pada permasalahan yang memerlukan analisan dan implementasi dari teori-teori yang harus kami hafalkan."

"Pasal-pasal ? Berikut kutipan dosen PIH dan PHI (Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Hukum Indonesia)  saya, Ibu Fully - Cuma orang gila yang menghafal pasal-pasal dan seluruh peraturan hukum secara mendetail.. Tenang aja, kami boleh melihat KUHP dan KUHPerdata saat kuliah dan ujian. Begitu pula peraturan hukum lainnya..."

Saya pun bertanya balik kepada mereka

"Jujur ya, siapa yang masih memiliki kebiasaan belajar secara SKS (Sistem Kebut Semalam) ?"

Sebagian besar dari mereka-mereka yang mendatangi saya mengangkat tangan dan mengakui kebiasaan yang "kurang disiplin" tersebut.. Saya pun menanggapi pengakuan mereka dan berkata:

"Please banget, hilangkan kebiasaan buruk tersebut selagi kalian masih SMA. Okelah kalian bisa survive di SMA dengan belajar ala metode SKS. Tapi efektifkah metode SKS tersebut saat kuliah hukum berikut materi perkuliahannya yang super banyak ?"

Saya pun mengatakan kepada mereka bahwa selama kuliah di FHUI, saya tidak pernah diberikan ulangan harian oleh dosen seperti layaknya guru-guru di SMA.

Penggantinya ? Tentu saja Ujian Tengah Semester (UTS) dan Ujian Akhir Semester (UAS). Materinya ? Sekitar 6-8 Bab materi UTS dan 12-16 Bab materi (UAS) untuk mata kuliah PHI.

Mereka tentu saja kaget bukan main mendengar pengakuan saya tersebut. Materi yang begitu banyak seakan tidak manusiawi, namun itu baru PHI di semeter pertama... Masih banyak mata kuliah lainnya yang jauh lebih berat ketimbang PHI di semester pertama

"Kalian mau tahu gimana gw menghadapi masalah ini ? Gw mulai mencicil sejak H-14 sebelum ujian (dua minggu), dimana setiap harinya gw menyediakan satu jam untuk menguasai satu bab. Semakin mendekati ujian, saya harus mengulang materi tersebut dan menambah bab-bab baru untuk dikuasia (Ibaratnya hari pertama harus belajar bab 1, hari kedua harus belajar bab 1 dan 2, hari ketiga harus belajar bab 1-3, sampai hari ke 13 harus belajar bab 1-14)

Makin kagetlah mereka dengan cara belajar saya yang "kelewat" rajin ini. Tapi dengan mencicil saya tidak perlu begadang untuk belajar sehingga dari H-14 sampai hari-H ujian, waktu tidur saya tetap stabil, delapan jam... Kita pun tentu mengetahui efek-efek buruk dari begadang baik untuk kesehatan maupun konsentrasi dan mencicil merupakan cara yang efektif untuk mencegah efek buruk tersebut.

Tuhan telah memberikan kita 24 jam untuk kita manfaatkan secara maksimal. Ia hanya meminta paling lama 5 menit setiap harinya untuk kita berdoa baik itu pagi-malam maupun sebelum-sesudah makan. Ia juga hanya meminta paling lama 2 jam dari 24x7 jam untuk kita pergi beribadah di hari minggu. Sisanya ? 23 jam 55 menit setiap harinya untuk kita manfaatkan, dan kalian tidak bisa meluangkan waktu satu jam dari 23 jam 55 menit tersebut untuk mencicil dan belajar ?? "Memang kalian sesibuk apa sih ?" demikian jawab saya terhadap mereka-mereka yang suka mencibir dan memaki metode belajar saya.

Puji Tuhan, teman-teman Theresia 2016 yang berminat belajar di fakultas hukum menyikap shock therapy tersebut secara positif. Saya melihat ada rasa "pesimistis" dalam diri mereka, tapi ya inilah perkuliahan dimana kami dituntut melampui batas "kemanusiaan" kami (ingat, kami adalah MAHAsiswa, bukannya siswa). Saya berharap, agar shock therapy berikut solusi tersebut menyadarkan mereka untuk "menghilangkan" kebiasaan SKS mereka semenjak SMA  dan membiasakan diri menyediakan satu jam dari 23 jam 55 menit untuk belajar.

Shock therpay berikutnya ? Pergaulan dan individualitas yang sangat tinggi ketika kuliah (tentu saja berbeda dengan masa-masa di SMA) dan ospek yang melelahkan tapi bermanfaat merupakan kisah tersendiri yang saya bagi kepada mereka. Tapi pesan atau pelajaran utama yang saya ajarkan kepada mereka adalah masalah SKS dan mencicil tersebut.

Merajut Kembali Dream Catcher




Sesi Dream Catcher merupakan sesi wajib dan selalu berada di akhir acara Quo Vadis. Dalam sesi tersebut, peserta diarahkan untuk menuliskan mimpi serta upaya apa saja yang mereka butuhkan guna mencapai mimpi tersebut. Setiap pembicara dalam sesi dream catcher selalu berpesan kepada peserta (di setiap Quo Vadis) bahwa dream catcher bukanlah suatu hal yang pasti mengingat mimpi dan ambisi setiap orang bisa berubah, ada pengaruh dari faktor eksternal, serta kehendak Tuhan yang tidak bisa kita tebak.

Dua tahun lalu, saya mengimpikan masuk FHUI sebagai pencapaian jangka pendek saya. Memang kala itu, saya masih bingung antara masuk ekonomi atau hukum dan menuliskan FHUI di dream catcher saya justru menimbulkan keraguan. Dalam seleksi, saya lebih memprioritaskan masuk ekonomi, tapi Tuhan berkehendak lain dengan memasukan saya ke Fakultas Hukum. Untuk sampai saat ini, mimpi jangka pendek yang telah saya buat dua tahun yang lalu sudah tercapai, Mimpi pun berlanjut dengan impian jangka panjang untuk menjadi seorang notaris dan sudah sampai itu saja... Sisanya pun masih belum dapat saya pikirkan.

Kini, dengan pengalaman yang saya terima di FHUI maupun masyarakat, saya berusaha merajut kembali dream catcher yang pernah saya buat dua tahun yang lalu dengan masuk FHUI sebagai mimpi jangka pendek yang telah saya capai. Puji Tuhan, saya memiliki kesempatan untuk menuliskan kembali dream catcher di dalam blog ini..

2014-2018
Kuliah di FHUI dan diwisuda tahun 2018

2018-2021:
Jika orang tua masih sanggup bekerja dan membiayi sekolah saya, saya ingin mengambil S2 di FHUI dengan gelar M.H.

2021-2024
Magang/sekolah advokat/keduanya (?)

2024-Seterusnya: 
Bekerja di kantor advokat sebagai lawyer/co-operate yang bergerak di bidang hukum ekonomi. Kalau sudah memiliki modal dan pengalaman, semoga bisa mendirikan kantor sendiri. Adapun kalau menjadi lawyer/co-operate tidak kesampaian, saya ingin bekerja di posisi legal suatu perusahaan maupun bank entah sebagai lawyer ataupun konsultan. Kalau tidak memungkinan juga, notaris mungkin bisa menjadi pilihan alternatif (masih mengawang di periode ini)

Mimpi Sampingan:
Kalau saya memiliki modal yang cukup besar dari hasil pekerjaan saya sebagai seorang ahli hukum, saya ingin bergerak di bidang bisnis guna memenuhi hasrat/passion saya akan bidang ekonomi.. Menjadi entepreneur saya jadikan sebagai usaha sampingan dan usaha utama bila saya pensiun dari dunia hukum. Namun, bisnis yang saya gerakan bukan semata-mata mencari untung atau profit tapi lebih kepada pemberdayaan masyarakat. Saat ini (2015) sedang tren yang namanya sociopreneur. Tren wirausaha ini memberikan gambaran akan suatu usaha/bisnis yang tidak hanya semata-mata bergerak untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya bagi si pemilik usaha, tetapi juga berusaha untuk memberdayakan SDM dan menyejahterakan orang-orang yang bekerja di dalam bisnis tersebut.

Contoh sociopreneur ? Usaha ojek online yang berbasis aplikasi smartphone seperti Gojek maupun Grab-bike. Bukan soal teknologi dan sistem kerjan kedua perusahaan tersebut yang akan saya bahas tetapi bagaimana perusahaan menyejahterakan supir-supir ojek online dan menaikan taraf kehidupan mereka. Sering dibahas di berbagai media bahwa supir ojek online bisa memperoleh 8-10 juta rupiah per bulannya. Kok bisa, padahal supir ojek konvensional saja berpenghasilan jauh lebih rendah ketimbang 8-10 juta rupiah per bulan ? Kuncinya adalah harga yang wajar (Rp 10.000 untuk ojek online dan harga yang tak masuk akal untuk ojek konvensional) dan sistem bagi hasil ala koperasi yang diterapkan oleh perusahaan (Gojek: 10% untuk supir, 90% untuk perusahaan, Grab-bike: 20% untuk supir, 80% untuk perusahaan - sumber: Kompas). Sistem bagi hasil merupakan kunci utama dari sociopreneur ala ojek online dimana perusahaan untung, supir juga untung.


Gojek ? Salah satu contoh sociopreneur ?


Selain soal ojek online, pedagang kaki lima di sekitar Jalan KH. Agus Salim dan Jalan Lombok (sekitar SD Santa Theresia) melatar-belakangi mimpi saya untuk menjadi sociopreneur. Beberapa bulan setelah saya lulus SMA, pedangang-pedagang kaki lima yang biasanya menjadi tempat saya dan teman-teman jajan serta nongkrong ditertibkan oleh Pemda DKI Jakarta. Kedua jalan yang ramai dengan pedangan kaki lima berikut menjadi wisata kuliner yang terkenal itupun kini hilang dan Jalan KH.Agus Salim maupun Lombok benar-benar bersih dari PKL.

Sebagai seorang mahasiswa Fakultas Hukum yang mendalami ilmu hukum, saya membenarkan tindakan Pemda DKI Jakarta untuk menertibkan PKL di sekitar SD Santa Theresia karena keberadaan mereka mengganggu pejalan kaki dalam menggunakan trotoar. Namun, sebagai seseorang yang selama 12 tahun hidup dan belajar di kawasan tersebut (terutama 3 tahun di SMA Santa Theresia) saya menyangkan penertiban tersebut. 12 tahun merupakan waktu yang panjang dan selama 12 tahun tersebut, saya mengenal para pedagang kaki lima tersebut. Bakmi Asun, somay pak Salim, indomie Yadi, om yang jual pempek, sampai abang-abang berewok yang menjual mainan sudah ada di wilayah tersebut semenjak saya masuk SD dan mereka pun sudah menjadi keluarga bagi saya maupun teman-teman alumni/siswa kampus Theresia. Kami pun menyadari bahwa mereka juga memiliki keluarga untuk dinafkahi dan kehilangan wilayah berjualan di SD Santa Theresia yang strategis (dibelakang jalan Sudirman-Thamrin) merupakan suatu pukulan besar untuk mereka.


PKL Theresia... Wajahmu dulu di masa jayamu...



Kuliner Theresia di dekat SMA Santa Theresia..
Sebuah model ideal dalam penataan PKL Ibukota..
Semoga Tuhan merestui mimpi-ku :)


2014... Sebuah kenangan kecil di Kuliner Theresia... :)



Sebuah kopitiam ala Singapura yang menampung PKL ?
Kenapa enggak ?

Berdasarkan kejadian yang menimpa PKL Santa Theresia, saya memiliki mimpi untuk membangun sebuah food court yang diisi/disewa oleh para PKL. Konsepnya seperti kopitiam di Singapura maupun Kuliner Theresia yang letaknya tidak jauh dari SMA Santa Theresia. Saya menerima penghasilan dari penyewaan tempat oleh para PKL dan PKL mendapatkan penghasilan dari pengunjung yang datang ke food court tersebut. Entah sistem pendapatan saya secara bagi hasil maupun uang sewa tetap, tap yang penting para PKL mendapatkan tempat berjualan yang layak dan strategis tanpa perlu melanggar hukum.


Belajar di Quo Vadis 2015



Salah satu panggilanku untuk berkarya dalam Quo Vadis 2015 :)

Tibalah kita pada akhir dari tulisan ini. Quo Vadis 2013 merupakan saat dimana saya belajar untuk menemukan jati diri saya dan arah tempat saya berkarya di kemudian hari. Namun, dalam Quo Vadis 2015, saya diajarkan untuk memanggul "salib" itu secara langsung dalam bentuk pemenuhan panggilan Tuhan maupun karya selama tanggal 29-30 Agustus 2015.

Tahun 2013, Tuhan menunjukan saya puluhan jalan yang dapat saya ambil setelah lulus dari SMA. Baik-buruknya jalan itu diperlihatkan oleh Tuhan melalui acara Quo Vadis.

Tahun 2014, saya mengambil salah satu jalan dari puluhan jalan yang Tuhan tunjukan kepada saya yakni Fakultas Hukum UI berikut resiko dan manfaatnya...

Tahun 2015, saya kembali ke Quo Vadis 2015 sebagai seorang alumni yang mendapatkan "panggilan" dari Tuhan untuk membantu dan membimbing teman-teman saya, Theresian 2016. Menjadi alumni bukan semata-mata menjadi seorang legend atau motivator dan guru bagi teman-teman 2016. Menjadi alumni saya maknai sebagai sebuah pembelajaran dimana saya merefleksikan apa saja yang pernah saya lakukan selama 3 tahun di SMA Santa Theresia dan bagaimana saya bisa mebagi buah dari 3 tahun pembelajaran di SMA Santa Theresia tersebut dalam kehidupan saya di FHUI maupun di Quo Vadis 2015.

Esensi inti dari Quo Vadis setiap tahunnya ? BELAJAR !!

"Belajarlah untuk menemukan jalan salib-mu ! Belajarlah untuk yakin dan berani terhadap jalan salib-mu ! Belajarlah untuk memikul salib-mu sebagaimana yang Tuhan tentukan untuk kamu !"


Kenapa jalan salib perlu dimaknai dan berkali-kali saya sebut ? 

Jalan salib bukan sekedar perjalanan sengsara Tuhan Yesus menuju bukit golgota sebagaimana yang umat nasrani lakukan pada masa pra-paskah.. Jalan salib adalah suatu perjalanan menuju tujuan akhir dari kehidupan kita yakni keselamatan.. Saya memaknai keselamatan itu ialah ketika saya bisa menjadi "orang", meraih cita-cita saya, membahagiakan orang-orang yang saya sayangi dan menjadi terang-garam dunia.. Saat ini, saya sedang berjalan dalam jalan salib itu yakni kuliah di FHUI sebagai bagian dari mencapai keselamatan tersebut. Tentu kita tahu, bahwa mencapai keselamatan tersebut memerlukan kerja keras, pengorbanan, bahkan resiko.. Sama halnya ketika Tuhan Yesus harus dihadapkan pada penderitaan fisik dan batin selama perjalanan salibnya.. Ingat, jalan salib Tuhan Yesus sedang kami (alumni) jalani dan kalian akan menjalaninya dalam waktu dekat !!

Pesanku untuk Theresian 2016:

Belajarlah dengan rajin, hilangkan kebiasaan SKS (SKS tidak berlaku dan tidak efektif di perkuliahan), yakinlah pada mimpi kalian dan beranilah untuk mengambil "jalan salib" itu.

Manfaatkan waktu-waktu "terakhir" kalian di SMA sebaik mungkin, terutama untuk teman dan guru kalian (memanfaatkannya tentu secara positif). Selepas SMA dan masuk kuliah, kalian akan mengalami masa-masa yang penuh dengan individualisme-egoisme, tusuk sana-tusuk sini, dan kalian tidak bisa percaya pada siapapun meski dia adalah teman terbaikmu. 

Mohon maaf bila ada salah kata maupun tulisan yang tidak menyenangkan hati kalian sebagai pembaca.

Saya ucapkan terima kasih :)


Salam  dan doa kami untuk mu - Panitia Quo Vadis 2015


"For i know the plans i have for you.. plans to give you a HOPE and a FUTURE.."
-Jeremiah 29:11-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Novena Tiga Salam Maria: Mukjizat Bunda Maria Menyertai Kita !! (Gw saksi hidupnya brow !!)

Panduan Menulis Esai Untuk Mahasiswa Baru

[BEDAH LAGU]: Chrisye - Kisah Kasih di Sekolah (2002)