[SHARING] Leadership 2016: Antara Observe-Respect-Lead, EAP, dan Deja Vu Masa Lalu

Tulisan ini kupersembahkan 
untuk
Keluargaku, SMA Santa Theresia
Teman-Temanku, Alumni SMA Santa Theresia
dan Khususnya
Adik-Adikku, Theresian 2019


" Tantangan Terbesar Untuk Menjadi Seorang Pemimpin adalah Memimpin Diri Sendiri.
Karena Memimpin Diri Sendiri Lebih Sulit Daripada Memimpin Orang Lain ! "

- Romo yang memimpin misa ekaristi Leadership 2016 
dan 
yang saya tidak ketahui siapa namanya -


Intro

Postingan ke-50 di blog ini spesial saya persembahkan untuk membagi pengalaman saya tentang acara Leadership 2016 yang diselenggarakan oleh almamater tercinta, SMA Santa Theresia dalam mengembangkan kepribadian siswa/i kelas X. Senang rasanya sekolah mengizinkan saya untuk mengambil bagian dalam acara ini dan banyak sekali pengalaman-pengalaman tak terlupakan sekaligus pelajaran berharga di dalamnya.


Closing Leadership 2016
(Sumber: Calvin Joseph)

Sabtu, 10 September 2016 merupakan tanggal diselenggarakannya acara penutupan Leadership 2016 sekaligus evaluasi kepanitaan untuk terakhir kalinya. Di tengah-tengah kesibukan yang padat mulai dari tugas merangkum UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (yang berisikan 127 pasal dan 110 halaman ) sampai tugas penyusunan proposal "rencana" skripsi (padahal penyusunan skripsi masih lama.. Mohon doanya agar pertengahan tahun 2017 saya mulai menyusun skripsi :D) serta rasa tidak sabar menyaksikan pertandingan liga inggris antara Liverpool vs juara bertahan Leicester City (Di mana Liverpool menang 4-1 :D), saya pun menyempatkan diri untuk hadir di acara penutupan tersebut. Penyelenggaraan acara penutupan yang super niat sekaligus apresiasi (dan rasa sayang) dari teman-teman kelas X menimbulkan kesan tersendiri dalam diri ini. Speechless dan sulit untuk diungkapkan mengenai acara penutupan. Intinya two thumbs up untuk Closing Leadership 2016. Setelah penutupan dan evaluasi, saya rasa "urusan" dengan acara Leadership ini sudah resmi selesai dan pengalaman ini bisa saya bagikan di blog ini :)

Sebagai perkenalan, berikut saya cantumkan CV saya via Linkedin


The Beginning

Sama seperti pengalaman saya saat mengikuti Quo Vadis 2015 (silahkan di klik untuk melihat sharing saya tentang Quo Vadis 2015), terdapat suatu proses seleksi yang harus dijalani guna menjadi bagian dari kepanitaan Leadership 2016 seperti pengumpulan CV dan wawancara. Terdapat satu hal yang ditekankan oleh panitia inti kepada setiap mentor (saya mendaftar sebagai mentor) baik pada saat proses wawancara maupun saat rapat pleno atau pelatihan yakni KELABILAN. 



Divisi Mentor Leadership 2016
(Sumber: Gabrielle Wong)

Mengapa kelabilan selalu ditekankan ? Hal ini tidak terlepas dari peran kami sebagai mentor yang menjadi "orang tua asuh" para peserta selama berlangsungnya acara Leadership. Peserta atau anak asuh kami merupakan siswa/i kelas 10 dimana mereka masih berusia remaja, mengalami masa akil baligh, dan masih memiliki "jiwa" anak SMP dalam kepribadian mereka. Tentu hal ini menjadi tantangan sekaligus pembeda pada saat saya terlibat di dalam kepanitiaan Quo Vadis satu tahun sebelumnya dimana saya menghadapi kumpulan anak-anak SMA kelas 12 yang matang kedewasaannya. Pada saat Quo Vadis saya menyiapkan siswa/i kelas 12 SMA menjadi mahasiswa sedangkan saat Leadership saya menyiapkan siswa/i kelas X SMA menjadi anak SMA yang sesungguhnya. Jika di dalam Quo Vadis saya dituntut untuk mengasah pengetahuan saya perihal perguruan tinggi dan dunia kampus sedangkan dalam Leadership saya dituntut untuk menjadi seorang  yang berkarakter dan menjadi teladan bagi peserta terlebih anak asuh saya.

"Jangan terlalu keras kepada mereka, tetapi jangan pula terlalu memanjakan dan memperhatikan mereka !"

demikianlah pesan yang selalu saya ingat dari seorang Calvin Joseph selaku PJ Divisi Mentor terlebih lagi mengingat jarak usia lima tahun antara saya dengan anak asuh saya kelak. Bisa dikatakan selama pelatihan, para mentor menerima character building agar bisa memberikannya pada anak asuh mereka :)

Pra Leadership dan Kelompok 1: DKI Jakarta

Leadership tahun 2016 dengan Leadership yang saya ikuti di tahun 2011 memiliki banyak sekali perbedaan. Perbedaan-perbedaan tersebut sesungguhnya sudah diinformasikan pada saat rapat pleno sehingga kami khususnya yang angkatan 2014 dapat mempersiapkan diri sekaligus mempelajari perbedaan-perbedaan tersebut. Salah satu pembeda tersebut ialah acara pra-leadership yang tidak ada di tahun 2011 dan diselenggarakan sebagai pendahuluan dari acara inti Leadership.

Pada saat Pra Leadership 1, divisi mentor merupakan divisi yang "gabut", tidak memiliki job list pada dan pekerjaan kami ya membantu pekerjaan dari divisi-divisi lainnya seperti divisi perlengkapan, acara, medis, maupun fasilitator.


Kegabutan di Pra Leadership 1 :)
(Sumber: Gabrielle Wong)


Dedikasi ! (Padahal Gabut)
(Sumber: Gabrielle Wong)

Barulah saat Pra Leadership 2, divisi mentor diperkenalkan dihadapan para peserta sekaligus anak asuhnya. Pada Pra Leadership 2 pula terbentuklah Kelompok 1 DKI Jakarta secara lengkap dengan kehadiran mentornya yakni saya sendiri. Tidak adanya informasi mengenai masing-masing mentee (anak asuh) menjadi tantangan tersendiri bagi setiap mentor dan setiap mentor dituntut untuk membuat rasa nyaman dan tidak canggung saat menghadapi mereka baik sebagai satu kelompok maupun individu (dimana saya tidak sukses membuat rasa nyaman tersebut.. LOL). 

Tugas pertama para mentor adalah membantu menteenya untuk mengenal dirinya sendiri atau to observe myself (sebagaimana tagline dari Leadership 2016: iObserve, iRespect, iLead) melalui personality test. Pengisian personality test yang dilakukan oleh peserta ternyata memakan waktu yang lama dan melebihi waktu yang dijadwalkan. Masalah ini tidak hanya "memusingkan" divisi acara yang harus melakukan reschedule tetapi juga memusingkan saya ataupun mentor-mentor lainnya. Menurut saya, lamanya pengisian personality test menunjukkan adanya kesulitan dalam diri peserta dalam mengidentifikasikan dirinya sendiri. Di sini saya tidak menyalahkan para peserta dan saya memandang hal ini wajar mengingat mereka berada pada usia remaja serta masih mencari jati diri. Personality test juga menjadi  "pengantar" bagi kami para mentor dalam menghadapi "kelabilan" para peserta sebagaimana yang sudah ditekankan pada saat pelatihan dan rapat pleno, mengingat kelabilan inilah yang menjadi tantangan mentor dalam membimbing anak menteenya selama proses Leadership berlangsung.

Perlu diingat hasil personality test tersebut  tidaklah mutlak sifatnya mengingat teman-teman peserta belum memasuki usia "matang". Teman-teman peserta juga tidak perlu khawatir apabila hasil dari personality test dirasa tidak sesuai dengan kepribadian teman-teman. Sebagaimana penjelasan dari divisi acara (kalau tidak salah), tidak ada manusia yang memiliki 1 kepribadian secara mutlak ! Terdapat satu-dua kepribadian yang mungkin lebih dominan ketimbang kepribadian lain. Sebagai contoh, saya mengidentifikasikan diri saya (saya pernah "iseng" mengisi personality test saat pelatihan - karena penasaran LOL) sebagai orang dengan kepribadian Melankolis 50%, Koleris 30%, Sanguinis 15%, Plegmatis 5%. Kira-kira begitulah pendapat saya mengenai personality test dan kelabilan yang mungkin memerlukan pendekatan psikologi terkait masalah ini agar lebih akurat..

Di samping personality test, terdapat juga materi respect dan Eco Art Preneur (EAP). Perihal acara ini akan saya bahas kemudian dalam bagian tersendiri.

D-Day

Menjelang 2-3 hari sebelum acara inti Leadership, honsetly saya lelah secara fisik dan mental. Untuk pertama kalinya selama saya menjadi mahasiswa FHUI, makalah yang saya buat bersama kelompok hukum koperasi ditolak mentah-mentah oleh dosen.

"Makalah yang kalian buat gak nyambung dari topik maupun silabus yang diberikan oleh pengajar.. Gini aja, saya beri kalian waktu sampai besok untuk memperbaiki makalah kalian dan presentasi ulang supaya kalian bisa saya nilai. Gimana kalian setuju ?" 

ujar Bang Togar selaku dosen mata kuliah Hukum Koperasi yang saya ambil di semester pendek lalu. "Besok" yang diucapkan oleh Bang Togar merujuk pada H-1 acara inti Leadership 2016 yakni 29 Juli 2016. Mau tidak mau kami sekelompok menyetujui tawaran Bang Togar. Jadilah selama 2 hari berturut saya tidur kurang dari 3 jam dalam menyusun makalah dan mungkin hal yang sama juga menimpa teman-teman. Mungkin kalau begadang untuk menonton sepak bola saya masih kuat, tapi lain ceritanya kalau begadang sambil menyusun makalah dengan mata yang mulai suntuk :).

Pengalaman dari Bang Togar tersebut merupakan suatu pembelajaran bagi saya sebagai mahasiswa. Kesal dan dongkol tentu ada, tapi ya namanya juga kesalahan sendiri tentu menuntut pertanggung jawaban dari diri sendiri untuk memperbaikinya. Karena perbaikan makalah inilah anak-anak mentee saya sulit menghubungi saya dan harus menunggu lama untuk mendapatkan respon dari saya. Lagi-lagi saya belum maksimal sebagai mentor karena fokus dengan makalah perbaikan hukum koperasi.

Kelelahan ini pun berimbas pada acara Leadership. Bangun kesiangan, datang telat, tidak sempat ikut briefing, dan kebingungan merupakan pengalaman tersendiri pada saat matahari hari sabtu belum terbit. Meski demikian, wajah stress ini tidak boleh saya tunjukkan di depan peserta yang antusias mengikuti acara ini. Untungnya semua masalah tersebut teratasi dengan sendirinya dan perjalanan ke Eagle Hill pun bisa dimulai..


Peserta yang Sudah Berkumpul Semenjak Pagi Buta.
Wajah-Wajah Ngantuk Plus Antusias yang Sangat Kotras dengan Wajah Penulis
Pasca Makalah yang Bermasalah dan Bang Togar
(Sumber: Gabrielle Wong)

Perjalanan ke Bogor pun dihabiskan dengan basa-basi mulai dari promosi soal kaos bikinan sendiri, sharing pengalaman waktu sekolah, sharing pengalaman kuliah, curhat soal makalah yang ditolak Bang Togar, sampai masalah yang sangat serius seperti kasus kopi maut. Saking serunya saya sendiri kurang memperhatikan chat Line di grup PIC Tronton maupun panitia yang saat itu sedang ramai-ramainya membahas masalah macet, buka-tutup jalan, reschedule, konsumsi, dan "kebelet pipis". Intinya pada momen seperti ini setiap mentor dituntut untuk makin mengenali anak menteenya supaya tidak ada lagi kecanggungan saat acara inti Leadership. il.

Mengenai acara intinya sendiri, terdapat 2 hal yang ditekankan yakni games dan public speaking.

Singkat cerita, saat sesi games banyak kejadian seru mengingat jumlah anggota kelompok yang ganjil (satu orang tidak masuk) dan saya sebagai mentor harus melengkapi keganjilan tersebut (mau tidak mau ikut main games). Selama games saya menekankan pentingnya konsekuensi dimana saya sebagai mentor harus bersikap "pasif", "jadi tumbal", dan mengikuti ide/inisiatif mentee yang saya bimbing. Para mentee dituntut untuk bertanggung jawab atas keputusan yang mereka ambil entah itu mempercayakan si X sebagai koordinator, si Y yang menggendong kawannya, dsb termasuk apabila si X atau si Y adalah mentornya sendiri. Pengalaman seperti "menarik" anak-anak bertubuh "bongsor", pola bintang yang berantakan-abstrak, sampai disiram dengan air yang dinginnya bukan main (dasar mentee kurang ajar :D) mungkin sulit dibayangkan oleh benak kalian sebagai pembaca tulisan ini. It's hard to describe kecuali mengalami sendiri keseruan tersebut.


Bintang yang Gak Jelas Bentuknya.
Katanya Hanya 1 Kelompok yang Menang Post ini
(Sumber: Gabrielle Wong)


Sampai Sekarang Masih Bingung.. Apa Esensi dari Games ini.. LOL
(Sumber: Gabrielle Wong)


Flip The Carpet
(Sumber: Gabrielle Wong)


Post dimana Hampir Setiap Mentor Diguyur oleh Anak Menteenya
(Sumber: Gabrielle Wong)


Setiap Orang yang Duduk di Kursi: "Mati Gue.."
(Sumber: Gabrielle Wong)


Ketika Mentornya (paling depan) Harus Menarik Anak-Anak Menteenya yang Berbadan Bongsor
(Sumber: http://www.sttheresia-jkt.sch.id/wp-content/uploads/2016/08/Leadership-2016.pdf)



Ketika evaluasi games, saya hanya menanyakan satu hal kepada kelompok..

"Kenapa dari  7 post games, kita cuma menang 1 post aja ?"

Kurang kompak, salah strategi, kurang inisiatif, dsb merupakan alasan yang mereka utarakan kepada saya. Terlepas dari persoalan makro yang mereka sebutkan tersebut, satu hal yang saya tekankan kepada mereka adalah menjadi pemipin bagi diri sendiri. 

Sebagaimana quote yang terletak di awal tulisan ini, untuk menjadi pemimpin bagi orang lain, kita diharuskan mampu memimpin diri kita sendiri. Wujud dari menjadi pemimpin bagi diri sendiri ya terlihat dari bagaimana kemampuan kita untuk menjadi manajer dalam setiap tindakan yang kita lakukan. Manajemen waktu, manajemen sikap, manajemen keuangan, dsb merupakan "sektor" dari menjadi manajer bagi diri sendiri.

Manajemen inilah yang menjadi kunci untuk survive sekaligus mengemban ilmu di SMA Santa Theresia. Saya pun menceritakan pengalaman betapa kerasnya sekolah menggembleng saya dulu. Segala bentuk tugas (yang menumpuk), ujian (yang sulit, jadwalnya berdekatan, sampai harus les 3x seminggu), dan pelajaran yang diberikan oleh bapak/ibu guru merupakan suatu bentuk "penyiksaan" bagi saya. Belum lagi soal kedisiplinan ala sekolah katolik. Bagi saya yang berasal dari SMP non-ursulin membutuhkan waktu adaptasi yang lama dan berat baik itu dalam sisi akademis, kedisiplinan, maupun pergaulan. Berbagai "siksaan" dari sekolah tersebut sangat tidak menyenangkan dan sayangnya akan teman-teman kelas X hadapi sepanjang 3 tahun kedepan. Meskipun tidak menyenangkan saat menjalaninya sewaktu sekolah, tapi kini saya sangat bersyukur menjadi salah satu orang yang mendapatkan "siksaan" tersebut, Loh kok bisa dari mengutuk menjadi mensyukuri siksaan tersebut ? Demikianlah yang saya share kepada mentee saya.

Rupanya siksaan tersebut merupakan bekal atau modal saya dalam menjalani kehidupan perkuliahan sebagai mahasiswa Fakultas Hukum UI. Terbiasa dengan siksaan di sekolah merupakan kunci dalam menjalani siksaan di dunia perguruan tinggi. Terbiasa dengan siksaan di perguruan tinggi pada akhirnya menjadi kunci dalam menjalani siksaan di dunia kerja nantinya. Dibiasakan untuk menjadi seorang manajer oleh sekolah merupakan modal yang sangat membantu bagi setiap alumni SMA Santa Theresia dalam menjalankan kehidupan perkuliahan di perguruan tinggi masing-masing. Belum lagi soal kedisiplinan yang digembleng oleh sekolah. Segala hal yang sekolah berikan kepada kalian, percayalah bahwa hal tersebut bisa membantu kalian untuk:

1. Tidak begadang karena belajar untuk ujian
2. Tidak keteteran saat mengerjakan makalah atau tugas
3. Tidak terlambat saat masuk kelas
4. Tidak berani titip absen
5. Tidak berani nyontek maupun perbuatan tidak jujur lainnya
6. Menyeimbangkan pengetahuan maupun soft skill (kuliah dan kegiatan kemahasiswaan)
7. Hidup mandiri
8. Dsb

ketika kalian berkuliah nanti dimana pun dan apa pun perguruan tinggi yang menjadi impian kalian setelah lulus SMA nanti

Perihal bagaimana bentuk kongkritnya dari point 1-8, setiap orang memiliki caranya masing-masing. Metode belajar dan manajemen waktu saya bisa saja berbeda dari yang teman-teman miliki dan tidak mungkin saya memaksakan metode tersebut apabila tidak sesuai dengan kepribadian teman-teman. Mungkin akan ada waktunya saya membagikan pengalaman-pengalaman tersebut apabila saya mendapat "panggilan" untuk ikut Quo Vadis (yang kedua kalinya) saat teman-teman duduk di kelas XII nanti.

Ketujuh post games tersebut merupakan suatu representasi dari tantangan yang akan kalian hadapi selama 3 tahun sekolah nanti. Segala bentuk keberhasilan maupun kegagalan dalam games bukan berarti kalian berhasil/gagal saat sekolah tetapi merupakan suatu pembelajaran agar kalian semua berhasil selama mengemban ilmu di sekolah.

"Lebih baik kalah 7x10 menit saat games dan kalian bisa memetik setiap esensi dari games tersebut (untuk diterapkan di sekolah), daripada kalah 3 tahun saat kalian menjalani kehidupan dan belajar di sekolah" 

Menang atau kalah saya tidak terlalu peduli, asalkan teman-teman Theresian 2019 bisa memetik esensi dari setiap games yang diberikan dan menerapkannya baik itu di sekolah maupun kehidupan pribadi teman-teman. Demikianlah saya menutup evaluasi singkat yang kurang lebih dibicarakan selama 5 menit.


Sesi Makan yang Penuh Kebersamaan
(Sumber: Gabrielle Wong)

(P.S: Setiap mentor memiliki caranya masing-masing dalam mengevaluasi dan memaknai setiap anggota mentee maupun games yang dijalankan oleh kelompok. Tulisan di atas merupakan cara saya memaknai hal tersebut.)

Mengenai masalah public speaking, setiap mentor diharuskan untuk memberikan pelatihan mengenai public speaking serta memfasilitasi suatu forum diskusi di dalam kelompoknya atas kasus posisi yang diberikan. Secara keseluruhan, setiap peserta Leadership memiliki potensi dalam menganalisa suatu permasalahan (yang terdapat dalam kasus posisi) serta memberikan solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut (berikut mampu mengkritisinya). Namun potensi yang mereka miliki tersebut belum mampu mereka sampaikan dikarenakan tidak maksimalnya kemampuan public speaking. Masalah seperti grogi, gagap, tidak fokus, dan sebagainya merupakan tantangan yang harus diatasi oleh peserta. Bagi saya, kekurangan peserta dalam hal public speaking merupakan hal yang wajar dan saya meyakini mereka dapat memberikan public speaking secara baik dan benar seiring dengan berjalannya waktu maupun bimbingan dari sekolah.


Latihan dan Diskusi Public Speaking
(Sumber: Gabrielle Wong)


Presentasi Public Speaking
(Sumber: Gabrielle Wong)
Sebagai penutup atas bagian ini, pada intinya sulit bagi saya untuk mendeskripsikan hari-h Leadership. Setiap orang memiliki caranya sendiri dalam memaknai acara ini dan begitulah saya memaknainya :)


 Malam Kebersamaan..
(Sumber: Gabrielle Wong)


Kereta Cinta...
(Sumber: Gabrielle Wong)


Olahraga Pagi
(Sumber: Gabrielle Wong)


Bring It On !
(Sumber: Gabrielle Wong)


Suasana Games Angkatan
(Sumber: Gabrielle Wong)


Balon Pecah..
(Sumber: Gabrielle Wong)


Sebuah Simbol Totalitas Theresian 2019 sebagai Satu Angkatan !
Momen Ketika Mereka Memenangkan Games Angkatan.. 
(Sumber: Gabrielle Wong)


Ekaristi Leadership 2016
(Sumber: http://www.sttheresia-jkt.sch.id/wp-content/uploads/2016/08/Leadership-2016.pdf)

Bicara soal Observe, Respect, and Lead

(P.S: Bagian ini merupakan pandangan saya dalam mengkritisi esensi dari Leadership 2016. Terdapat pendekatan sosial-humaniora terlebih lagi pendekatan dalam aspek hukum *mengingat penulis berlatar belakang pendidikan hukum*  dalam mengkaji masalah ini. Jangan khawatir karena saya akan berusaha membawakan tulisan ini se-awam mungkin. Selamat membaca :D)

iObserve, i Respect, dan iLead merupakan tagline dari acara Leadership 2016 dan tagline ini benar-benar diimplementasikan dalam acara Leadership itu sendiri. iObserve terwujud dalam personality test. iRespect selain dibawakan saat pra-leadership juga harus diterapkan selama acara inti berlangsung. Terakhir iLead terlihat dalam setiap games yang dilakukan oleh peserta. Tiga aspek ini amat ditekankan oleh panitia dalam membentuk karakter siswa/i kelas X sekaligus menjadi bekal mereka dalam menghadapi keseharian di sekolah. Meskipun lingkupnya bersifat "mikro" yakni siswa di sekolah tetapi lingkup mikro ini harus diakui dapat dijadikan solusi dalam mengatasi permasalahan yang "makro" sifatnya yakni permasalahan dalam lingkup bangsa dan negara. Kita akan coba bahas satu per satu :).

Observe: Antara Saya dan Lingkungan Saya

Observe yang ditekankan selama acara Leadership tidak hanya berfokus pada pengenalan jati diri dan pencarian jawaban atas Who am I tetapi juga berfokus pada identifikasi lingkungan sekitar. Hal ini terlihat saat games dimana guna memenangkan suatu games, setiap peserta dituntut untuk bisa mengidentifikasikan siapa kawannya, apa potensi mereka, seperti apa rintangan yang harus dihadapi, dan bagaimana cara menghadapinya. Suatu strategi yang baik tentu lahir dari kemampuan observasi yang baik dan hal inilah yang diharapkan melalui games tersebut.

Kemampuan observasi lingkungan sekitar seperti yang dilakukan oleh peserta secara mikro (yakni games) merupakan landasan dalam mengembangkan kemampuan mereka melakukan observasi secara makro yakni di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat adalah "post games" teman-teman kelas X di kehidupan nyata dan terdapat 1001 masalah yang lahir di tengah-tengah masyarakat kita. Pertanyaannya ialah apa sajakah masalah tersebut, bagaimana solusi mengatasinya, dan apa yang bisa saya kontribusikan dalam mengatasi masalah tersebut. 1001 masalah mulai dari yang kecil seperti kebiasaan membuang sampah sembarangan sampai sebesar tindak pidana korupsi merupakan "penyakit" dalam mewujudkan Indonesia yang lebih baik dan kontribusi kita semua (terutama teman-teman) dibutuhkan dalam mengobati penyakit tersebut !

Self Observing
(Sumber: http://1111now.com/wordpress/category/blog/quotes/page/12/)

Respect: Apakah Perlu Dikritisi ?

Di samping observe, esensi respect juga tak kalah penting dan saya akan mencoba menitik-beratkan pembahasan dalam bagian tulisan ini mengenai masalah respect. Ketika materi respect dibawakan dan teman-teman kelas X dituntut untuk memberikan respect kepada setiap orang (mau siapapun orangnya itu dan terserah apakah mereka akan memberikan respect kepada kita), saya sendiri antara setuju dan tidak setuju dalam menanggapinya.

Setuju dikarenakan respect merupakan hak asasi setiap manusia, Setiap manusia yang hidup di dunia ini terlahir setara (demikian menurut prespektif HAM modern) dan berhak untuk dihormati oleh orang lain karena hakikatnya sebagai manusia. Intinya, karena kodratlah setiap manusia berhak atas respect dari sesamanya.

Di satu sisi saya mengutarakan ketidak-setujuan saya karena maksud dari "memberikan respect kepada setiap orang" terlalu luas cakupannya dan abstrak pula secara konsepsual. Kalau harus memberikan respect pada setiap orang, apakah seorang pengedar narkoba, koruptor, sampai pengguna jalan yang menyogok polisi saat melanggar aturan lalu lintas berhak untuk diberikan respect ? Sebagaimana yang saya sebutkan sebelumnya, mereka berhak atas "respect" dalam kapasitas mereka sebagai manusia karena kodrat sebagai manusia menghendakinya demikian. Akan tetapi perlu dikritisi, apakah tindakan atau perbuatan mereka layak untuk diberikan "respect" ? Untuk itulah pemberian respect tersebut perlu dikritisi dan harus dibedakan antara respect dengan alasan kodrati maupun respect dengan alasan perbuatan. Seorang koruptor berhak untuk di-respect sebagai manusia tapi perbuatannya tidak pantas untuk diberikan respect. Hal ini tentu berbeda dengan seorang dermawan yang berhak untuk di-respect sebagai manusia sekaligus di-respect atas perbuatannya yang membawa kebaikan bagi sesama. Masalahnya adalah sulit sekali bagi kita khususnya sebagai bangsa Indonesia untuk membedakan antara respect beralaskan kemanusiaan dan respect beralaskan perbuatan. Berikut ilustrasinya:


Video ini dapat diakses di link youtube ini

Hal yang membuat saya kagum dari sosok Briptu Primasari Dewi dikarenakan ia mampu memberikan kita suatu pemahaman akan esensi dari respect yang sesungguhnya. Sebagai seorang polwan yang menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum ia tidak memberikan "respect" atas tindakan si ibu yang melanggar peraturan lalu lintas. Status si pelanggar sebagai "ibu-ibu" atau "orang yang lebih tua" tidak dijadikan alasan oleh Briptu Prima untuk mentolerir pelanggaran yang dilakukan si ibu sekalipun ia merengek-rengek layaknya anak kecil yang kehilangan permennya. Meski tidak memberikan respect kepada si ibu atas pelanggarannya, sebagai seorang yang lebih muda Briptu Prima menunjukkan respect kepada si ibu pada saat menenangkan si ibu dan memberikan perlakuan yang humanis kepadanya. Hal ini sesuai dengan apa yang sudah saya sebutkan sebelumnya yakni "respect orangnya sebagai manusia tetapi jangan respect tindakannya apabila tindakan tersebut salah dan membawa lebih banyak kerugian ketimbang manfaat". Masalah di mana orang Indonesia sulit membedakan respect yang beralaskan kemanusiaan dan tindakan amatlah terlihat dari si ibu dimana ia seakan-akan menggunakan statusnya sebagai "ibu-ibu" (terlihat dari upaya memberontak) dan alasan "buru-buru" sebagai pembenar atas pelanggaran yang ia lakukan. Inilah lucunya masyarakat kita dimana sebuah "ketakutan" justru lahir pada saat seseorang berada di dekat seorang pemberi rasa "aman" yakni aparat penegak hukum (mengutip Bapak Gandjar Laksmana Bonaparta, S.H., M.H. - Dosen Hukum Pidana FHUI) 

Baru saja menonton video tersebut, saya teringat pada pengalaman saya di hari rabu tanggal 14 September 2016. Saat itu Jakarta diguyur hujan deras (disertai angin) dan sekitar jam 7.30 malam saya baru saja tiba di Stasiun Karet setelah menempuh perjalanan selama 40 menit dari UI dengan menggunakan KRL Commuter Line. Untuk dapat keluar dari stasiun, penumpang kereta yang berasal dari arah Stasiun Bogor/Depok harus menyeberangi peron atau rel kereta karena pintu keluar-masuk Stasiun Karet berada di sisi peron kereta ke arah Bogor seperti gambar berikut:


Stasiun Karet - Sebuah Ilustrasi
(Sumber: http://assets-a2.kompasiana.com/statics/files/14152458172124048993.jpg?t=o&v=760)

Singkat cerita, seorang kakek berusaha menyeberang antar rel seperti gambar diatas, padahal petugas sudah memberikan jarak aman (mereka berdiri di tempat berdirinya mas berbaju kuning di gambar) dan kereta tujuan Bogor berada sekitar 15-20 meter dengan laju kecepatan penuh. Si kakek dengan nekatnya berusaha menerobos parameter yang ditetapkan petugas dan dengan sigapnya si petugas menahan badan si kakek layaknya dua pemain american football atau sumo yang sedang adu badan. Entah karena kesal, kesakitan, atau malu dilihat banyak orang, si kakek memaki petugas:

" Gila lu sama orang tua berani nahan ! Siapa nama lu ? Gua tandain lu ! Gua aduin ke atasan lu !"

Si petugas seakan berusaha menghiraukan makian kakek (mungkin karena biasa) dan menjawab

"Maaf pak kami hanya menjalankan tugas. Tolong sayang sama nyawa pak ! Bahaya pak buat bapak sama orang lain !"

Saya meyakini tindakan kasar petugas dilakukan dalam keadaan yang sangat terpaksa karena kondisi yang demikian bahayanya. Merekalah yang patut mendapat respect karena sudah total dalam menjaga keamanan penumpang dan rela dimaki oleh kakek-kakek yang nekat berikut jika ada pandangan miring penonton kejadian tersebut atas tindakan kasarnya. Sebaliknya seperti ibu-ibu dalam video tersebut, si kakek mencampur-adukan statusnya sebagai seorang "sepuh" agar tindakan nekatnya dibenarkan, terlebih lagi ancaman si kakek menunjukan arogansi dan sikap tidak mau mengakui kesalahan padahal sikap nekatnya bisa membuat dirinya kehilangan nyawa. 

Mengapa tumpang tindih antara dua prespektif respect tersebut bisa terjadi ? Menurut saya, bangsa Indonesia merupakan bangsa yang sangat total dalam me-respect orang lain. Totalitas inilah yang membuat bangsa kita dikenal karena keramahannya dan tentunya totalitas ini merupakan bentuk kearifan lokal bangsa Indonesia apa pun sukunya. Teman-teman Theresian 2019 akan merasakan kearifan lokal ini apabila kalian mengikuti kegiatan Live In saat kelas XI di mana kalian akan tinggal selama lima hari (kalau tidak salah) bersama warga desa di daerah Jawa Tengah-Yogyakarta. Sekalipun teman-teman masih berusia muda dan kerap membuat "masalah" (seperti pengalaman saya dulu), warga desa (umumnya berusia lanjut) akan menghormati teman-teman layaknya anak-anak mereka yang pulang dari tanah rantau. Teman-teman akan sangat di-respect oleh warga desa entah itu disapa, disajikan teh manis setiap berkunjung ke rumah warga, dimasaki makanan rumah yang sangat enak, mencucikan piring bekas kita makan, dsb. Inilah kearifan lokal bangsa kita teman-teman dan karenanya kita patut bangga menjadi bangsa Indonesia !  

Masih tidak percaya dengan totalitas respect orang Indonesia dan kearifan lokal kita ? Mengutip intermezzo Bapak Yu Un Oppusunggu S.H., LL.M. (Dosen mata kuliah "Hukum Antar Tata Hukum" FHUI), bangsa Indonesia adalah bangsa paling romantis sedunia ! Alasannya sederhana saja yakni "Terima Kasih". Jika kalimat "terima kasih" diterjemahkan ke dalam bahasa inggris, terjemahannya menjadi "Receive Love" dan "Thank You" sebenarnya tidak tepat dalam konsep terima kasih ala Indonesia. Receive Love menunjukan suatu ungkapan kasih atau cinta yang diterima oleh seseorang dari orang lain. Bagi orang Indonesia, perbuatan seperti memberikan hadiah, dipinjamkan barang, sampai ucapan selamat merupakan bentuk cinta dan kepedulian dari orang lain terhadap dirinya. Hal berbeda apabila kita menggunakan konsep terima kasih secara universal (barat) yakni "thank you" yang lebih menekankan pada subjeknya atau orangnya ("you" dalam "thank you") ketimbang perbuatannya (sebagaimana konsep "receive love" ala Indonesia). 

Sayangnya teman-teman, kearifan lokal yang teman-teman akan temui di dalam masyarakat tradisional akan berubah konsepnya ketika teman-teman berada di tengah masyarakat perkotaan seperti di Jakarta. Kearifan lokal tersebut rupanya saling "tumpah-tindih" oleh budaya individual masyarakat perkotaan (termasuk dalam hal respect). Terdapat suatu pertentangan nilai antara kearifan lokal vs individual (bisa dipelajari lebih dalam di kelas Sosiologi) Budaya individual sendiri tentunya tidak dapat terlepas dari pembangunan ekonomi yang sangat pesat dan pembangunan ekonomi di kota-kota besar di Indonesia mengandung unsur kapitalisme sebagai promotornya. 

Kapitalisme  = masyarakat industri = individualis
(Kalau masih bingung, teman-teman akan mempelajarinya saat kelas Sosiologi + Ekonomi)


Ketika Individualisme Mengalahkan Kolektivisme
(Sumber: http://baltyra.com/2015/09/16/individualisme-kolektivisme-dan-budaya-keroyokan/comment-page-1/)

Ketika individualis bertemu dengan kearifan lokal (totalitas respect) apa yang terjadi ? Kerancuan, bias, dan ketidak-jelasan karakter. Contohnya ya di video tadi dimana si ibu mungkin saking "terburu-burunya", tidak pakai helm, membahayakan keselamatan orang lain, dan saat ditindak mencoba memanfaatkan statusnya sebagai orang tua agar mendapat "respect" dari si polwan yang masih muda dan respect tersebut tentunya sikap toleransi dari polwan untuk tidak menilang si ibu. (Semoga teman-teman tidak kebingungan). Pertanyaan berikutnya yang muncul adalah kenapa bisa begini ? Salah siapa ? 

Liberalisme-kapitalisme sebagai sponsor nilai-nilai individualisme saya rasa menjadi faktor tidak langsung dari biasnya karakter bangsa kita. Mengenai bagaimanakah kapitalisme masuk ke Indonesia, mengubah karakter sosial bangsa, dan siapa para pemainnya, teman-teman mungkin bisa melihat komik karya Aji Prasetyo di bawah ini (agar lebih mudah memahaminya). Agak sensitif pula karena komik ini menyinggung masalah G-30S dan tragedi 1965-1966 yang sampai saat ini masih menjadi konspirasi ! (Sebuah topik konspirasi yang amat seru untuk didiskusikan terutama bersama alm. Pak Anton ketika beliau masih hidup..) 


Saya tidak anti terhadap pembangunan dan kemajuan ekonomi yang diklaim sebagai keberhasilan pemerintahan orde baru. Setiap orang pasti mendambakan pembangunan hanya saja pembangunan tersebut tidak dirasakan manfaatnnya oleh masyarakat. Pembangunan ekonomi rupanya tidak menjadikan anak bangsa sebagai pelaku pembangunan tersebut akan tetapi para investor asing-lah yang tampil sebagai aktor pembangunan. dan kita dijadikan tergantung dengan bisnis para investor tersebut dalam wujud pencari kerja maupun sikap konsumtif kita. Kita tidak hanya dirugikan secara ekonomis tetapi juga dirugikan dengan degradasi karakter tetapi kita juga tidak diberikan kesempatan untuk mandiri atau berdikari dalam membangun ekonomi sendiri. Negara seperti Jepang dan Korea Selatan merupakan negara yang liberalis ekonominya serta dibangun oleh liberalisme pasca Perang Dunia Ke-2. Meskipun dibangun oleh liberalisme, mereka bisa melepaskan diri sedikit demi sedikit dari pengaruh barat dan menjadi mandiri dalam membangun perekonomiannya. Tentu hal ini berbeda dengan kita yang sulit sekali melepaskan diri dari liberalisme-kapitalisme (sekalipun sedikit demi sedikit) terlebih lagi untuk mandiri.

Saya berpesan kepada teman-teman kalau respect itu penting mengingat respect merupakan kearifan lokal kita dan diakui baik sifatnya oleh norma masyarakat kita. Tapi teman-teman juga harus ingat betapa pentingnya sikap kritis dalam memaknai respect tersebut mengingat pemaknaan respect terkesan tumpang-tindih di era modern saat ini (yang tentunya bercorak kapitalis). Lalu pertanyaannya adalah bagaimana cara mengkritisinya ?

Harus diakui bahwa mengkritisi nilai respect ini tidaklah mudah. Menurut hemat saya, dalam mengkritisi nilai respect dibutuhkanlah sebuah pengamatan norma yang baik. Norma sendiri dapat didefinisikan sebagai suatu pedomana berperilaku yang harus dipatuhi oleh manusia (silahkan pelajari kembali di pelajaran Sosiologi, Agama, dan PKn). Terdapat 4 jenis norma yakni norma kepercayaan, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan norma hukum. Dalam memaknai respect mau tidak mau kita perlu berkaca pada keempat norma tersebut dan mengidentifikasi norma apa saja yang berlaku dalam masyarakat khususnya di Indonesia. Secara tak langsung kita dituntut untuk memperhatikan (observe) dinamika kehidupan masyarakat dan hal ini tidak mudah. Makin sulit mengingat masyarakat Indonesia merupakan masyarkat yang majemuk berikut norma yang dianut majemuk pula. Alasan itulah yang kembali saya tekankan betapa pentingnya kita menjadi observer yang handal bagi masyarkat dan untuk menjadinya diperlukan sikap peduli dari diri kita sendiri. 

Kalaupun teman-teman mengenal golden rule yang berbunyi Give Respect = Earn Respect, maka golden rule tersebut mutlak keberlakuannya apabila kita me-respect seseorang atas dasar kemanusiaan, akan tetapi perlu dikritisi pula apakah Golden Rule tersebut sesuai jika kita memberikan respect atas dasar perbuatan seseorang. 

Respect orangnya, tapi jangan respect tindakannya apabila tindakan tersebut tidak benar dan membawa kerugian bagi orang lain. Respect orangnya dan respect juga tindakannya apabila tindakan tersebut benar dan membawa kebaikan bagi orang lain...

Sekedar informasi, saya pernah menulis juga di blog ini perihal pandangan saya mengenai hubungan senior-junior di kampus berikut nilai respect di dalamnya.. Mohon maaf apabila bahasanya tidak formal serta banyak sindir sana-sini, karena tulisan tersebut saya buat saat momen ospek dan geram pula atas dipertahankannya budaya feodalisme dalam ospek di kampus (tidak hanya di UI). Berikut tulisannya: Dipanggil 'Abang' dan Menjadi Senior

Lead: Menjadi Pemimpin Bagi Diri Sendri !

Sebuah pertanyaan mungkin muncul di benak teman-teman, kenapa saya meletakan kutipan dari homili misa ekaristi Leadership 2016 sebagai pembuka tulisan ini ? Sederhana saja.. Itulah esensi y utama dalam acara Leadership ini !

Menjadi pemimpin bagi diri sendiri berarti memimpin diri sendiri untuk menjadi pribadi yang lebih baik sekalipun dibutuhkan suatu pengorbanan dan pengorbanan tersebut tidaklah menyenangkan. Contoh sederhananya, ketika teman-teman ingin lulus ujian maka teman-teman harus mengorbankan waktu bermain dan fokus mengisinya dengan belajar. Terkait pengorbanan ini dan untuk menjadi pemimpin yang baik bagi diri sendiri, kita dituntut untuk menjadi pribadi yang bijak. Pribadi yang bijak adalah pribadi yang dapat mengidentifikasikan manakah hal yang mendatangkan manfaat positif dan manakah hal yang membawa kerugian. Bermain memang membawa perasaan senang akan tetapi kesenangan tersebut hanya sesaat saja. Bandingkan dengan kegiatan belajar yang dinilai tidak membawa kenikmatan akan tetapi membawa kemanfaatan dalam jangka panjang dan ilmu yang diperoleh tetap bertahan di kepala kita sepanjang hidup kita di dunia. Guna menjadi pribadi yang bijak, dibutuhkanlah suatu visi yang besar dan visi tersebut menentukan arah tujuan hidup kita. Jangan lupakan pula nilai-nilai moralitas khususnya nilai kejujuran yang makin sulit ditemukan dalam masyarakat kita. 


Time Management.
Contoh Nyata Menjadi Pemimpin Bagi Diri Sendiri
(Sumber: http://www.unis.unvienna.org/images/2015/Infographic_5_elem_related_l.jpg/)

Dalam kaitan dengan Leadership, ketika teman-teman rela kotor-kotoran dan basah-basahan sesungguhnya teman-teman telah menunjukan suatu pengorbanan. Pengorbanan tersebut dilakukan guna membawa kelompok menjadi pemenang dalam sesi games. Kemenangan tersebut merupakan suatu visi yang teman-teman bangun dan keputusan teman-teman untuk mau berkorban bagi cita-cita kelompok merupakan wujud dari kebijaksanaan teman-teman. Tapi ingat juga dalam games terdapat sekumpulan aturan main dan peraturan-peraturan tersebut merupakan wujud dari nilai moralitas yang coba ditanamkan kepada teman-teman seperti kejujuran, sportivitas, etika, dsb. 

Games selama acara inti Leadership hanyalah sebuah simulasi kecil dari tantangan yang akan teman-teman hadapi bagi itu di sekolah maupun di kehidupan nyata. Permasalahan di luar acara Leadership pastinya jauh lebih kompleks dan dibutuhkanlah kemampuan memimpin diri sendiri maupun memimpin orang lain dalam menghadapi tantangan tersebut. 

Observe, Respect, Lead: Sebuah Revolusi Mental !

Observe, Respect, dan Lead merupakan tiga pilar penting dalam pembangunan karakter suatu manusia. Observe menjadi pedoman bagi kita dalam mengidentifikasikan diri sendiri maupun permasalahan di sekitar kita. Respect menjadi pedomanan dalam menentukan bagaimana kita bersikap atas permasalahan-permasalahan tersebut. Terakhir, lead merupakan wujud dari inisiatif kita dalam memecahkan masalah yang sudah diidentifikasikan sebelumnya. Jikalau ketiga nilai ini ditanamkan dalam diri setiap anak bangsa saya yakin impian terwujudnya manusia Indonesia yang manusiawi dapat terwujud. Manusiawi tersebut maksudnya adalah manusiawi secara lahir dan batin layaknya manusia sejati. Bagi teman-teman yang pernah berpergian atau melancong ke negara maju (minimal Singapura) pasti teman-teman pernah merasakan menjadi manusia yang sesungguhnya dan tinggal di lingkungan manusia yang "beradab" atau tahu aturan (disiplin, tertib). Bandingkan hal ini di Indonesia (minimal di Jakarta) dimana tindakan pelanggaran aturan terjadi selama 24 jam. 

Menjadi manusia tidak hanya berfisik manusia tetapi juga berpikir dan berperasaan layaknya manusia. Guna menjadi manusia Indonesia yang manusiawi secara fisik dan rohani, pemerintahan Jokowi-JK mencetuskan gagasan mengenai Revolusi Mental. Rupanya pemerintah menyadari bahwa akar dari segala permasalahan nasional yang ada di Indonesia ialah mental dari manusia Indonesia itu sendiri yakni mental manusia yang tidak manusiawi. Contohnya, merasa benar tapi menyalahi aturan, tidak jujur, egoisme, hipokrit, sampai diskriminasi SARA merupakan wujud dari mental manusia Indonesia yang tidak manusiawi. 


Revolusi Mental
(Sumber: http://gebbygebs15.blogspot.co.id/2015/10/revolusi-mental-perlukah.html)

Pemerintah saat ini saya rasa sudah belajar dari masa lalu khususnya dari masa orde baru. Suatu pembangunan yang sangat pesat dan cepat (jangan lupakan pula dibangun di atas "tragedi kemanusiaan") mendatangkan perubahan sosial seiring dengan masuknya nilai individual-liberal. Pemerintah tidak dapat memprediksi akan terjadinya pertentangan dua nilai yang berbeda dan imbasnya adalah krisis moneter sekaligus krisis multi-dimensi tahun 1998. Pasca 1998, kita mulai membangun dari 0 dan revolusi mental menjadi pilar dalam pembangunan nasional yang mulai dari 0 tersebut. Semoga saja esensi dari iObserve, iRespect, dan iLead bisa teman-teman peserta terapkan dalam diri sendiri maupun masyarakat dalam rangka Revolusi Mental !  

Bicara soal Eco, Art, Preneur (EAP)

(P.S: Bagian ini merupakan pandangan saya dalam mengkritisi EAP dari Leadership 2016. Terdapat pendekatan sosial-humaniora terlebih lagi pendekatan dalam aspek hukum *mengingat penulis berlatar belakang pendidikan hukum*  dalam mengkaji masalah ini. Jangan khawatir karena saya akan berusaha membawakan tulisan ini se-awam mungkin. Selamat membaca :D)

Eco, Art, Preneur atau biasa disingkat EAP, merupakan sebuah konsep atau gagasan yang baru muncul satu atau dua tahun setelah saya lulus dari SMA Santa Theresia. EAP yang digagas oleh kesusteran ursulin (kalau tidak salah) dan diterapkan dalam lembaga pendidikan yang dibinanya (kalau tidak salah juga) tidak hanya menjadi hal baru di lingkungan pendidikan binaan ursulin tetapi hal baru juga bagi para alumni seperti saya. Konsep EAP sendiri saya pandang sebagai suatu konsep entrepreneurship dimana sekolah berusaha mengarahkan anak didiknya untuk menjadi pelaku dalam dunia usaha bukannya pekerja yang eksistensinya tergantung dari si pelaku usaha. EAP merupakan gagasan yang memberikan suatu visi kepada setiap siswa mengenai apa yang akan mereka hadapi dan lakukan di masa mendatang setelah dilepas oleh sekolah. 

Sebelum mengkaji EAP dari kaca mata penulis, terlebih dahulu penulis memohon maaf apabila terdapat beberapa kesalahan yang nantinya dapat ditemui dalam pengkajian mengingat konsep atau gagasan ini merupakan suatu hal yang baru bagi penulis dan tidak di dapat oleh penulis sewaktu mengenyam pendidikan di SMA Santa Theresia. Beruntunglah teman-teman kelas X ditanamkan konsep ini oleh sekolah dan dimulai semenjak acara Leadership 2016 :)

Eco : Sebuah Suistainable Development ?

Diantara ketiga pilar EAP, saya meyakini sekolah menitik-beratkan unsur Eco ketimbang Art maupun Preneur. 

Menurut hemat penulis, preneur atau kewirausahan merupakan solusi dalam mengatasi masalah ekonomi nasional seperti angka pengangguran, pemanfaatan potensi sumber daya, sampai peningkatan pembangunan ekonomi  dan sekolah berusaha menanamkan kepada siswa/i untuk menjadi seorang entrepreneur ketimbang job seeker. Ketika kita berbicara mengenai kewirausahaan maka kita berbicara mengenai pelaku usaha, dan berbicara mengenai pelaku usaha kita juga berbicara mengenai persaingan usaha. Guna memenangkan persaingan usaha terlebih pada era pasar kompetitif seperti pasar bebas ASEAN yang mulai berlaku semenjak tahun 2016 (Masyarakat Ekonomi ASEAN) dibutuhkanlah suatu kreativitas dalam diri pelaku usaha nasional guna memenangkan persaingan. Kreativitas maupun inovasi tentunya mempengarhui tinggi-rendahnya suatu penawaran barang dan/atau jasa. Kreativitas inilah yang dikenal sebagai unsur art dalam EAP dan menurut saya, unsur art merupakan sebuah konsekuensi yang mutlak kehadirannya dalam suatu kewirausahaan. Kalau ingin memenangkan persaingan maka mau tidak mau seorang wirausahawan atau pelaku usaha dituntut untuk kreatif dalam mengembangkan produknya. Di mana ada preneur, disitu ada art. 

Kewirausahaan memang berperan dalam pembangunan ekonomi maupun memajukan kesejahteraan suatu masyarakat akan tetapi kita perlu ingat bahwa manfaat-manfaat tersebut memerlukan pengorbanan. Eksploitasi sumber daya terutama sumber daya alam (SDA) tidak dapat dihindarkan dalam suatu kegiatan ekonomi dan entepreneurship merupakan salah satu dari kegiatan ekonomi tersebut. Alam pun menjadi korban dari tindakan ekspolitatif manusia dan dunia usaha terlebih lagi jika ekspolitasi tersebut dilakukan secara berlebihan. 

Pada momen yang sangat baik ini, penulis sedang mengambil mata kuliah "Hukum Lingkungan" sebagai mata kuliah wajib fakultas (MKWF) dan mata kuliah ini wajib diambil (dan lulus tentunya) agar penulis dapat lulus dari FHUI. Tim pengajar  mengklaim bahwa hanya sedikit fakultas hukum se-Indonesia yang memiliki mata kuliah tersebut dan tentu FHUI merupakan salah satu diantaranya. Keberadaan mata kuliah ini tidak terlepas dari eksistensi Indonesia sebagai negara pemilik potensi SDA dan SDM yang sangat besar jumlahnya akan tetapi tidak terkelola dengan baik. Kasus seperti pembakaran lahan sampai pencemaran merupakan wujud dari kurang cakapnya pemanfaatan SDA di Indonesia dan lagi-lagi lingkungan hidup yang menjadi korbannya. 

Di pelopori oleh masuknya konsep Suistainable Development (SD) atau pembangunan berkelanjutan, lahirlah UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada tahun 1997 berikut pembaharuannya di tahun 2009 (UU PPLH - tugas kuliah penulis), dan UU inilah yang dipelajari dalam mata kuliah Hukum Lingkungan. Beruntung pula dalam mempelajari hukum lingkungan, penulis dibimbing oleh 3 pengajar yang luar biasa yakni: (1) Bapak Dr. Harsanto  Nursadi S.H., M.Si yang amat memahami seluk beluk regulasi lingkungan hidup dari segi administrasi negara mengingat beliau amat expert dalam hukum administrasi negara. (2) Bapak Bono Budi Priambodo S.H., M.Sc. yang begitu memperhatikan pengelolaan SDA di negara kita, getol dalam mengidentifikasikan kebobrokan dalam pengelolaan tersebut, seorang yang amat nasionalis, dan seorang fans Liverpool F.C. tentunya. (3) Bapak Muhamad Ramdan Andri Gunawan Wibisana S.H., LL.M., Ph.D., seorang dosen yang serba komplit, sering diminta menjadi saksi ahli (terutama dalam kasus pembakaran hutan), begitu memahami masalah lingkungan mulai dari regulasi-birokrasi pengelolaan lingkungan sampai hal-hal teknis ilmiah yang tentunya berbau sains. Rambut gondrong yang terkuncir menjadi ciri khas dari dosen yang satu ini, seakan-akan menunjukan kerasnya pendidikan hukum negeri Belanda yang pernah ia tempuh dan rambut gondrong tersebut mengingatkan saya pada model rambut golongan terpelajar ala filsuf yunani kuno. Ketiga dosen hukum lingkungan inilah yang membuat banyak mahasiswa FHUI jatuh cinta pada hukum lingkungan (bahkan mengambil peminatannya) sekalipun amat rumit untuk dipelajari (diakui sendiri oleh Pak Bono), banyak hal-hal teknis, literatur yang tebal, dan tentunya ujian yang sulit. 

Berhubung penulis baru mempelajari hukum lingkungan, penulis memohon maaf apabila pengetahuan penulis terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup masih jauh dari sempurna. Penulis akan mencoba membahas masalah eco sesederhana mungkin. 


Suistainable Development
Keseimbangan antara Kesejahteraan Alam dan Kesejahteraan Manusia
(Sumber: http://www.unis.unvienna.org/unis/en/topics/sustainable_development_goals.html)

Berbicara mengenai EAP berarti turut berbicara mengenai suistainable development (SD) dan secara singkat Pasal 1 butir 3 UU PPLH mendefinisikan SD sebagai upaya pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (teman-teman akan menemukan definisi ini dalam pelajaran Biologi, Ekonomi, dan Geografi). Jika dikaitkan dengan Indonesia sebagai negara pemilik potensi alam yang luar biasa kayanya, penerapan SD di negara kita tidak dapat dilepaskan dari problem negara berkembang pada umumnya yakni eksploitasi SDA secara besar-besaran. Detailnya, berikut latar belakang penerapan SD di Indonesia:

1. Geografis: Wilayah Indonesia dilalui oleh cincin api pasifik (Ring of Fire - jumpai di Geografi), membuatnya menjadi negara yang kaya akan bahan tambang maupun tanahnya yang amat subur. Indonesia juga pemilik hutan hujan tropis ketiga terbesar di dunia (berikut potensi keanekaragaman hayati berikut plasma nutfah) dan memiliki 2/3 wilayah laut (berikut potensi sumber daya laut). Disinari matahari sepanjang tahun dan memiliki curah hujan tinggi juga menjadi potensi bagi negara ini. Nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustai ?

2. Demografis: Dengan jumlah sekitar 250 juta jiwa, Indonesia menjadi negara pemilik jumlah penduduk terbesar keempat di dunia. Jumlah penduduk yang besar ini harusnya menjadi potensi bagi pembangunan bangsa. Akan tetapi persebaran penduduk yang tidak merata berikut kualitasnya yang tidak merata juga malah mendatangkan masalah sosial bagi negeri ini. 

3. Pembangunan: Potensi yang demikian besarnya seharusnya menjadi modal pembangunan bagi bangsa ini. Sayangnya pembangunan yang tersebut (di masa orde baru khususnya) terjadi di atas pemanfaatan SDA secara eksploitatif sehingga lingkungan hidup menjadi korbannya.

4. Govermance & Rule of Law: Inilah yang menjadi latar belakang masalah dari penerapan SD di Indonesia. Masalah perizinan dan administrasi yang rumit, tata kelola birokrasi yang buruk, lemahnya penindakan atas pelanggaran konsesi eksploitasi lingkungan, serta budaya korupsi merupakan wajah dari buruknya performa aparatur pemerintah maupun penegakan hukum terkait masalah lingkungan.  

Mengapa EAP amat berkaitan dengan SD ? SD merupakan upaya pemenuhan kebutuhan dan pemenuhan kebutuhan tak lain dan tak bukan adalah kegiatan ekonomi. Bicara mengenai EAP maka kegiatan ekonomi yang dimaksud merupakan kegiatan produksi dan wujudnya adalah kewirausahaan tadi. Meski pro entrepreneur, EAP tidak mendukung konsep eksploitasi sumber daya khususnya SDA secara besar-besaran sebagaimana umumnya kegiatan perekonomian di negara berkembang. EAP menyadari bahwa eksploitasi SDA hanya memberikan keuntungan sesaat yakni keuntungan di masa sekarang dan untuk generasi saat ini. Adapun dengan eksploitasi tersebut, generasi yang akan datang hanya menjadi korban dari habisnya SDA dan rusaknya lingkungan hidup akibat eksploitasi tersebut. Menyadari hal tersebut, EAP pun memasukan unsur Eco dalam Preneur tersebut dan Eco saya yakini merupakan perwujudan dari suistainable development. 

Dalam proposal bisnis yang teman-teman buat maupun kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh sekolah terkait dengan EAP tersebut saya yakini merupakan tahap awal yang mikro sifatnya. Penghijauan, pemilahan sampah, sampai 3R (Reuse, Reduce, Recycle) merupakan langkah sederhana yang mengawali perjalanan panjang EAP teman-teman di kemudian hari baik sebagai generasi yang akan datang (dari generasi kami) maupun generasi saat ini (bagi adik-adik kalian nantinya). 

Ketika teman-teman bertekad kuat untuk mewujudkan EAP tersebut pada berkarier di masa depan, percayalah teman-teman akan menghadapi tantangan dari Govermance & Rule of Law sebagaimana yang saya paparkan sebelumnya dan hal ini merupakan suatu "momok" jika ingin mendirikan usaha berbasis lingkungan hidup. Saat saya mempelajari UU PPLH, saya diperkenalkan oleh berbagai kajian maupun izin-izin yang harus dipenuhi oleh setiap pelaku usaha/kegiatan yang ingin melakukan eksploitasi lingkungan maupun usaha berbasis lingkungan. UU seakan memberi pandangan akan pengaturan perizinan yang amat sistematis terlebih dengan melibatkan kajian ilmiah. Namun berkaca dari kondisi birokrasi saat ini, se-sempurnanya perundang-undangan tidak menjamin sempurnanya perwujudan dari undang-undang tersebut. UU boleh bicara A, B, dan C, tapi pada prakteknya A, B, dan C tersebut tidak terlaksana secara sempurna. Permasalahannya klasik, kebobrokan birokrasi sebagai pelaksana UU beserta lemahnya penegakan hukum. Ini baru pelaksanaannya, belum lagi UU-nya sendiri bisa saja bermasalah dan untuk menemukan masalahnya diperlukan suatu upaya kritis yang saat ini dilakukan oleh penulis selama kelas hukum lingkungan. 

Kondisi ini memberikan dua pilihan kepada teman-teman sebagai calon orang-orang EAP di masa depan, apakah (1) mau berkolusi dengan kebobrokan yang ada demi memuluskan bisnis yang teman-teman impikan, atau (2) ikut berpartisipasi dalam mengatasi kebobrokan demi terwujudnya EAP yang berkualitas dan mempelopori lahirnya bisnis EAP secara masif. 

Pertanyaannya, teman-teman mau memilih yang mana ? Silahkan direnungkan :)

(Hukum Lingkungan merupakan hal yang menarik untuk dipelajari. Jika ada kesempatan, janganlah ragu untuk mengambilnya. Sekedar info, prospek pekerjaan di sektor hukum lingkungan amatlah menjanjikan dengan penghasilan yang menggiurkan :D)

Art: Kita adalah Bangsa yang Kreatif !

Berdasarkan konsep EAP, art dimaknai sebagai suatu seni dalam mengembangkan kompetensi, kapabilitas, dan sikap diri. Art ini memiliki kaitan erat dengan pengembangan diri manusia secara intern dan mengingatkan kepada kita akan pentingnya menjadi pemimpin bagi diri sendiri. Terkait dengan EAP, art saya pahami sebagai upaya kita untuk mengembangkan diri kita sendiri guna menyiapkan kita dalam memenangkan persaingan usaha. Kecenderungannya, persaingan usaha saat ini (terlebih semenjak berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN bagi Indonesia) menuntut kita untuk berpikir kreatif dan berinovasi sehingga menjadi suatu syarat mutlak bahwa kreativitas itu harus ada dalam setiap usaha yang kita geluti.

Terkait dengan kreativitas dan inovasi dalam berusaha, Indonesia sebagai negara yang berpangsa pasar besar telah berhasil melahirkan para pelaku usaha yang amat kreatif dan inovatif !

Kok bisa ? Memangnya sekreatif apa bangsa Indonesia ? Bagaimana kreativitasnya para pelaku usaha dalam bersaing di pasar bernama Indonesia ?

Saya beritahu kepada teman-teman bahwa orang Indonesia terlebih pelaku usahanya mampu :

1. Membuat kerupuk berdaya tahan lama, dengan warna yang tidak luntur pula
2. Menyegarkan kembali buah atau daging yang sudah busuk
3. Membuat gorengan dengan plastik
4. Memberanikan diri membuat vaksin palsu
5. Membuat bakso "sapi" dari daging tikus
6. Belum termasuk pula produk kecantikan, obat-obatan, ijazah, akta dsb yang palsu-palsu
7. Belum termasuk perbuatan curang dalam persaingan usaha, dan KKN


Contoh Kreativitas Orang Indonesia.
Menggoreng Tempe dengan Kantong Plastik (Bukannya Minyak Goreng)
(Sumber: https://bpualam.wordpress.com/2015/04/10/cara-mudah-mengetahui-gorengan-mengandung-plastik-atau-tidak/_

Inilah kreativitas orang Indonesia teman-teman dan disadari atau tidak kita telah memberikan keuntungan bagi mereka sekalipun kesehatan dan nyawa kita jadi taruhannya. Lahirnya kreativitas-kreativitas seperti di atas tidak terlepas dari tekanan persaingan usaha yang makin intens seiring dengan tuntutan pembanguan ekonomi. Lagi-lagi kita diingatkan bahwa pembangunan ekonomi kita bercorak kapitalis/liberal sehingga kepentingan-kepentingan individu-lah yang mensponsori pembangunan tersebut. 

Penulis sempat menyinggung masalah ini baik ketika berdisksusi bersama teman-teman di kampus maupun bersama teman-teman alumni saat kita bertemu (reuni yang berkualitas.. LOL). Sempat keluar pernyataan sarkas bahwa dengan kreativitas yang demikian "kreatifnya" sebagaimana yang diuraikan oleh penulis diatas, bangsa kita sebenarnya memiliki potensi untuk menggunakan kreativitasnya dalam:

1. Menciptakan obat kanker, HIV/AIDS, flu babi, sampai virus zika
2. Mengembangkan energi berbasis tenaga nuklir
3. Menemukan bahan bakar ramah lingkungan
4. Menciptakan rekayasa genetik
5. Mengembangkan teknologi pangan
6. Dsb

Harusnya kreativitas tersebut tersalurkan pada uraian kedua bukannya pada uraian pertama. Betapa hebatnya bangsa kita apabila mampu menemukan obat kanker dan betapa diakuinya kita oleh dunia apabila hal tersebut bisa diwujudkan. Saya yakin kita dapat melakukannya terlebih bangsa kita mampu menghasilkan ahli-ahli "kimia" baik itu ahli yang bersarjana maupun yang tidak bersarjana. Sayangnya betapa bodohnya kita ketika keahlian dalam ilmu kimia tersebut digunakan untuk mengawetkan makanan dengan formalin. 


Seharusnya Kreativitas Kita Diarahkan pada Hal di Atas, yakni Industri Kreatif
(Sumber: http://industri.bisnis.com/read/20150806/12/460045/industri-kreatif-bisa-jadi-alternatif-penyerap-tenaga-kerja)


Kita adalah Bangsa yang Kreatif ! Demikian judul bagian ini. Pertanyaannya ialah kita kreatif dalam arti yang positif atau negatif ? Ketika teman-teman belajar mengenai EAP harapannya tentu saja kreatif dalam arti positif. Memenangkan persaingan adalah suatu keharusan tetapi jangan sampai kreativitas dalam memenangkannya memberikan kerugian bagi orang lain sebagaimana yang diperlihatkan oleh para pelaku usaha nakal terlebih yang berembel "rakyat kecil". Kreativitas tersebut haruslah memberi kemanfaatan bagi orang banyak. Kreativitas merupakan wujud dari kecerdasan otak dan kemampuan berpikir akan tetapi bila kedua hal tersebut tidak diiring dengan hati nurani, sama saja bohong. EAP sendiri menekankan akan pentingnya kompetensi, kapabilitas, dan sikap sebagai komponen art dan ketiga hal ini apabila dibina serta diarahkan dengan baik, kasus-kasus seperti pemalsuan obat dan makanan dapat dihindari. Ketiga hal tersebut saya yakini dapat menghindarkan kita dari niat berkreasi secara negatif. Besar harapan agar teman-teman mampu menjadi pelaku EAP yang dapat menciptakan obat kanker, teknologi nuklir, teknologi pangan, dsb seperti layaknya seorang B.J. Habibie, Presiden RI ketiga dan teknokrat :) 

Preneur: Mewujudkan Kesejahteraan Sosial

Pada umumnya setiap lembaga pendidikan berusaha mengarahkan anak didiknya untuk menjadi lulusan yang membuka lapangan pekerjaan bukannya sebagai pencari kerja.Wajar jika keinginan ini begitu kuat mengingat negara kita memiliki jumlah usia kerja yang besar akan tetapi penyerapannya kecil. Kewirausahaan atau entrepreneurship pun dipandang sebagai solusi jitu dalam mengatasi permasalahan tersebut. 

Meskipun dinilai mampu menyerap pencari kerja, entrepreneurship khususnya di Indonesia rupanya mendatangkan masalah lain yakni kesejahteraan. Agak aneh memang sebuah "media" untuk mewujudkan kesejahteraan justru belum mampu mendatangkan kesejahteraan dalam arti yang hakiki. 

Ingin tahu contoh dari permasalahan ini ? 

Coba saja teman-teman tengok seberapa sering kaum buruh turun ke jalan untuk menuntut haknya ? Berapa banyak pekerja yang di PHK akibat penggunaan mesin dalam kegiatan produksi ? Seberapa miskin petani yang bekerja di tanah orang ? 


Demo Buruh Menuntut Upah Layak.
Bukti Bahwa Lapangan Pekerjaan Belum Menjamin Kesejahteraan Pekerja
(Sumber: http://smeaker.com/nasional/10201/berita-hari-ini-aksi-demo-buruh-kembali-digelar-di-jakarta-tolak-pp-782015-ini-tuntutannya/)

Mereka semua adalah orang-orang yang memiliki pekerjaan akan tetapi kesejahteraan mereka belum mendapat jaminan dari tempat dimana mereka bekerja. Bisa dibilang membuka lapangan pekerjaan melalui kewirausahaan mudah dilakukan oleh siapa saja tetapi menciptakan kesejahteraan lain lagi ceritanya. Pertanyaan yang selanjutnya muncul adalah, kok bisa seperti ini ?

Jawabannya tak lain dan tak bukan adalah kapitalisme dalam pembangunan ekonomi kita. Lagi-lagi saya menyebutkan kapitalisme mengingat kapitalisme membawa pola pikir individual dan konsekuensinya adalah pemerasan manusia oleh manusia lainnya. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan karakter perekonomian Indonesia (akan dibahas kemudian)

Kesejahteraan sendiri (ditegaskan dalam "Memajukan Kesejahteraan UMUM") merupakan tujuan dari negara Indonesia sebagaimana yang disebutkan dalam Pembukan UUD 1945. Kata "umum" seakan merujuk pada keinginan negara untuk sejahtera secara total bukannya kesejahteraan pribadi. Kesejahteraan umum sendiri juga menunjukkan karakter Indonesia sebagai negara gotong-royong. Meskipun UUD 45 menyatakan tujuan negara ialah untuk mencapai kesejahteraan umum, tidaklah tepat apabila Indonesia dikatakan sebagai welfare state atau negara kesejahteraan yang memberikan welfare provision atau tunjangan kesejahteraan sebagaimana yang diungkapkan oleh Sri Edi Swasono. Negara Indonesia sendiri bukanlah sekedar welfare state melainkan suatu workfare state karena negara wajib menjamin setiap warga negaranya memiliki pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana bunyi Pasal 27 ayat (2) UUD 45 (Materi Kuliah Pak Bono). Pada intinya dalam mencapai kesejahteraan, setiap warga negara perlu mendapatkan pekerjaan yang layak dan negara wajib menjaminnya tanpa mengurangi partisipasi dari sesama warga negara. Masalahnya saat ini, pekerjaan yang ada belum mampu memberikan kesejahteraan bagi pekerjanya. 

Sebelumnya saya sempat menyinggung karakter perekonomian Indonesia. Mau tidak mau kita harus mengakui bahwa karakter perekonomian kita bercorak kapitalis. Menanggapi hal ini, saya berpendapat bahwa seharusnya perekonomian kita tidak dibangun diatas kapitalisme melainkan ekonomi koperasi.

Pasal 33 UUD 1945 khususnya dalam ayat (4)  menekankan pentingnya penyelenggaraan perekonomian nasional yang berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan  kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Di dalam penjelasannya, demokrasi ekonomi diartikan sebagai keadaan dimana kegiatan produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat demi tercapainya kemakmuran masyarakat. Demokrasi ekonomi tersebut tampak nyata dalam koperasi sebagai badan usaha yang berasaskan kekeluargaan dan koperasi disebutkan secara jelas dalam penjelasan pasal 33 UUD 45. Hal ini menunjukkan bahwa para founding fathers kita menyadari pentingnya potensi koperasi sebagai badan usaha yang menjamin kesejahteraan masyarakat bukannya PT, investasi asing, dsb. Demokrasi ekonomi yang hidup dalam koperasi mampu memfasilitasi anggota koperasi dalam menentukan sendiri kesejahteraannya melalui mekanisme musyawarah dalam penentuan gerak jalan si koperasi sendiri (untuk selengkapnya bisa dilihat UU 25/1992 tentang Koperasi maupun mempelajarinya saat pelajaran ekonomi). Koperasi dengan semangat demokrasi ekonomi, kekeluargaan, musyawarah, dan gotong-royong merupakan ideologi ekonomi yang paling tepat bagi Indonesia ! Sayangnya koperasi yang seharusnya menjadi senjata ampuh dalam mendatangkan kesejahteraan kurang berkembang dan kalah bersaing dengan badan usaha lainnya. Selain karena sempat dibungkam oleh pemerintah karena dinilai berbau komunis pasca G-30S (pemikiran sosialisme) kurang bersaingnya koperasi tentunya juga disebabkan oleh masuknya paham liberalisme/kapitalisme berikut kecenderungan pelaku usaha untuk ikut di dalamnya. 

Masalah individualisme sebagai anak dari kapitalisme tidak hanya dikritisi oleh founding fathers berikut gagasannya mengenai koperasi. Masalah ini rupanya juga diangkat oleh Gereja Katolik (apabila kita menggunakan prespektif Gereja Katolik) melalui ajaran sosialnya. Tercatat Gereja sudah beberapa kali mengangkat isu kapitalisme dan kesejahteraan disamping isu-isu politik, global dan hak asasi manusia. Ajaran sosial Gereja yang pertama yakni Rerum Novarum (1891) lahir sebagai akibat keprihatinan Gereja atas dampak buruk revolusi industri (diyakini sebagai tonggak lahirnya kapitalisme). Rerum Novarum rupanya dipertegas oleh ajaran-ajaran sosial Gereja lainnya seperti Quadragesimo Anno (1931), Mater Et Magistra (1961), Populorum Progressio (1967), Octogesima Adveniens (1971), Laborem Excercens (1981), Sollicitudo Rei Socialis (1987) sampai Centesimus Annus (1991). Banyaknya ensiklik ajaran sosial Gereja tersebut menandakan bahwa permasalahan klasik dunia sudah ada semenjak terbitnya Rerum Novarum hanya saja wujudnya berbeda-beda seiring dengan perkembangan zaman. Kapitalisme merupakan salah satu masalah klasik dunia yang diakui oleh Gereja serta perlu dicari solusinya dalam mendatangkan kesejahteraan sosial. Untuk selengkapnya mengenai ajaran sosial Gereja, akan lebih baik apabila teman-teman mempelajarinya di kelas XI pada mata pelajaran agama katolik. 

Berkaitan dengan EAP, SMA Santa Theresia berhasil melahirkan "enterpreneur gila". Disebut gila karena orang ini rela meninggalkan kariernya sebagai buisness analyst di McKinsey (perusahaan konsultan manajemen ternama) demi mendirikan sebuah koperasi simpan pinjam di kawasan Cilincing bernama Koperasi Kasih Indonesia. Orang gila itu bernama Leonardo Kamilius, seorang socio preneur, Legenda hidup Theresia, dan menjadi panutan bagi alumni maupun siswa/i SMA Santa Theresia. Hanya orang gila saja yang berani membuat bisnis (terlebih bisnis sosial) yang penuh resiko kegagalan dan Leon-lah orang tersebut. Di samping bisnis sosialnya, kisah Leon selama bersekolah juga menjadi hal yang amat inspiratif untuk diceritakan (biasanya akan diceritakan oleh bapak/ibu guru ketika mengajar) 



Koperasi Kasih Indonesia dan Leonardo Kamilius (Baju Batik)
Gerakan Socio Preneur yang Meningkatkan Kesejahteraan Warga Miskin Cilincing
(Sumber: http://www.kasihindonesia.com/ dan http://www.fimela.com/lifestyle-relationship/leonardo-kamilius-hapus-kemiskinan-dengan-koperasi-kasih-indonesia-1207249-page1.html)

Berkaca pada koperasi dan sosok Leonardo Kamilius, saya mengharapkan adanya keinginan dari teman-teman kelas X untuk menjadi seorang socio preneur. Tidak harus murni berbasis sosial, selama bisnis yang teman-teman impikan menjamin kesejahteraan orang lain  sekalipun bisnis tersebut profit oriented, saya akan mendukung teman-teman 100%. Seorang Leon merupakan bukti bahwa tidak selamanya socio preneur tidak menjanjikan dan harapannya adalah agar makin banyak Leon-Leon lainnya di masa mendatang termasuk dari teman-teman kelas X yang sudah diberikan pemahaman mengenai EAP semenjak masuk SMA Santa Theresia.

EAP: Seimbangnya Kesejahteraan Alam dan Manusia

Ketimbang entrepreneur konvensional, EAP secara jelas lebih banyak menawarkan manfaat baik itu bagi kesejahteraan alam maupun manusian. Suistainable Development haruslah diiringi dengan penerapan karakter-kompetensi manusia yang baik serta memberikan jaminan kesejahteraan bagi manusia lainnya. Proficiat kepada sekolah yang telah merumuskan konsep ini serta memberikan prespektif kepada anak didiknya terkait konsep kewirausahaan yang baru ini.

Leadership dan Saya

Melihat teman-teman kelas X serta menjadi bagian dari acara Leadership 2016 memberikan kesan tersendiri bagi saya. Leadership 2016 membuat saya teringat pada masa lalu yakni saat saya menjadi peserta Leadership 2011 dan duduk di kelas X. Serasa deja vu kira-kira.

Rasanya sangat berat menjalani hari-hari pertama sebagai siswa SMA Santa Theresia di tahun 2011 dulu. Datang dari SMP yang tidak bercorak uruslin-serviam, tidak lulus tes masuk dan mengisi "kekosongan" bangku yang ditinggalkan calon siswa/i lain, dan membuat masalah saat MOS merupakan pengalaman tersendiri bagi saya menjelang tersandangnya status siswa SMA Santa Theresia. Saat menjadi siswa SMA Santa Theresia, masalah adaptasi dan "siksaan" dari sekolah pun muncul seperti tugas, pekerjaan rumah, ujian, dan tata-tertib yang disiplinnya bukan main. Ulangan matematika yang hanya sekali diatas KKM, pelajaran kimia yang anjlok parah menjelang akhir tahun ajaran, les sampai 3x seminggu, ulangan fisika yang tidak pernah lulus KKM, termasuk pernah mendapatkan nilai 1 dari 100 saat ulangan pertama fisika (Pasti Bu Ardiana ingat kejadian ini :D) merupakan suatu ilustrasi yang pas dalam menggambarkan betapa buruknya nilai mata pelajaran eksak yang saya dapatkan di kelas X. Belum lagi masalah seperti sulitnya adaptasi dalam lingkungan pergaulan SMA Santa Theresia dan suasana X-4 yang sangat kompetitif berikut anak-anak jenius di dalamnya (mengingat saat kelulusan 2 tahun kemudian peraih nilai UN, nilai sempurna, dan Lulusan Terbaik banyak berasal dari X-4). Kalau dibilang sekolah menyiksa, ya inilah siksaannya. Namun siksaan inilah yang akhirnya membuat saya menjadi seorang "penyintas" selama di SMA maupun perjalanan saat ini di bangku kuliah. Siksaan ini jugalah yang membuat saya menemukan passion saya di bidang sosial-humaniora (berikut dipilihnya jurusan IPS) dan ilmu hukum seperti yang saya pelajari saat ini. Ketika saya lulus (berikut "pencapaiannya") dan masuk FHUI, membuat saya teringat akan kesulitan saya saat kelas X dahulu dan mensyukuri siksaan tersebut. Menjadi suatu keinginan bagi saya untuk berbagi pengalaman ini dan ikut acara alumni seperti Leadership atau Quo Vadis guna menjadikan adik-adik saya yang masih bersekolah di SMA Santa Theresia sebagai pribadi yang jauh lebih baik dari saya. 


Kelas X-4 Tahun Ajaran 2011/2012
Nilai Eksak yang Hancur-Hancuran serta Suasana Kelas yang Sangat Kompetitif
(Sumber: Stephanie Villita)


Kelas XI IPS 3 Tahun Ajaran 2012/2013
Kumpulan Anak-Anak Heboh, Pecah, dan Beragam Dinamika
Nakal Sedikit Gak Masalah Lah Hahahaha
(Sumber: Data Yearbook)


Kelas XII IPS 1 Tahun Ajaran 2013/2014
Rumah Terakhir Sekaligus Penutup Perjalanan 3 Tahun.
(Sumber: Album Yearbook)



Saat Dilepas oleh Sekolah dan Puncak Perjalanan di SMA.
Melewati Proses dan Tempaan Keras Selama 3 Tahun Jauh Lebih Berharga
Ketimbang Barisan Angka dalam Ijazah
(Sumber: Album Yearbook)
Di samping berbagi dan membimbing peserta, Leadership rupanya juga menjadikan saya sebagai peserta "tidak resmi" dimana saya (dan teman-teman panitia lainnya) juga belajar mengenai apa itu iObserve, iRespect, dan iLead serta EAP. 

Bekerja bersama teman-teman panitia selama kira-kira 6 bulan memberikan kesan tersendiri. Bisa semakin akrab dengan teman-teman dari jenjang angkatan yang berbeda, mempererat tali silaturahmi dengan alumni 2014 maupun alumni lainnya, diskusi bersama, sampai saat seru-seruan sembari kerja saat acara inti. Keberhasilan Leadership 2016 ditentukan oleh semua unsur yang terlibat di dalamnya. BPH yang super hectic, acara yang seru sekaligus edukatif, fasilitator yang gak kalah serunya, anak perlengkapan yang total (sampai collapse), personil medis yang sigap, anak dokumentasi yang rela dimintain foto oleh kakak-kakak panitianya, komisi disiplin yang tegas (bukannya marah.. Bedakan antara tegas dan marah - sayangnya mahasiswa UI sekalipun masih tidak bisa membedakan yang mana marah dan yang mana tegas pada saat ospek kampus setiap tahunnya), dan terakhir untuk divisi mentor yang amat mengayomi anak-anak menteennya sekaligus menjadi "jembatan" antara peserta dan panitia. Terima kasih pula untuk bapak/ibu guru yang memberikan kepercayaan pada kami dalam membimbing teman-teman kelas X serta berbagai dukungan yang bapak/ibu guru berikan di dalamnya. Senang rasanya bisa kembali dan melayani almamater tercinta.


Segenap Panitia Leadership 2016
(Sumber: Gabrielle Wong)

Teruntuk teman-teman kelas X yang amat disayangi oleh panitia, harus diakui suatu kenyataan bahwa di dalam acara Leadership 2016, tidak hanya teman-teman yang belajar dari kami akan tetapi kami juga belajar dari teman-teman. Kami belajar untuk meng-observe kepribadian serta masalah yang teman-teman alami selama proses Leadership. Kami belajar untuk memberikan respect atas segala partisipasi yang teman-teman berikan selama mengikuti acara. Terakhir, kami belajar untuk menjadi leader dan panutan yang baik bagi teman-teman. Ketiga nilai dalam Leadership tersebut dialami oleh tiap panitia, terlebih lagi kami dari divisi mentor yang tampil sebagai orang tua asuh sekaligus sahabat terdekat teman-teman selama acara Leadership berlangsung atau mungkin ada "kontrak" seumur hidup antara teman-teman dan para mentor. Saya berpesan agar teman-teman kelas X selalu semangat dalam menjalani kehidupan SMA selama 3 tahun. Manfaatkanlah masa-masa yang sangat indah tersebut dengan belajar, berprestasi, mengembangkan talenta, serta bersahabat dengan sesama kalian (termasuk mencari pacar). Jaga pula kekompakkan dan totalitas angkatan kalian. Closing Leadership saya pandang sebagai wujud dari totalitas kalian sebagai satu angkatan akan tetapi totalitas tersebut harus dilanjutkan sampai kalian menjadi alumni nantinya. Masa SMA hanya berlangsung selama 3 tahun dalam hidup kalian jadi nikmatilah (secara positif tentunya) karena ketika kalian sudah lulus dan duduk di bangku kuliah (seperti penulis saat ini) terlebih saat kerja nantinya kalian akan kangen dengan masa-masa SMA. Mengikuti acara alumni seperti Leadership maupun Quo Vadis menjadi semacam obat penyembuh rasa kangen itu bagi saya maupun teman-teman lain meskipun hanya sementara. 

How to Survive ? Terdapat beberapa tips yang dapat saya berikan kepada teman-teman untuk survive secara akademis selama 3 tahun di SMA Santa Theresia... 

Pertama, disiplin dan patuhi aturan main yang dibuat oleh sekolah. 

Kedua, ikuti pelajaran dengan baik. Jangan malu bertanya maupun berdiskusi dengan bapak/ibu guru terkait dengan pelajaran (lebih baik salah di kelas daripada salah saat ujian)

Ketiga, ikuti perkembangan berita di media massa (yang kredibel tentunya). Ilmu tidak hanya didapat dari kelas tapi juga dari peristiwa di sekitar kita serta bagaimana mengaplikasikannya. 

Kempat, Jika teman-teman diberikan tugas atau PR, segera dikerjakan ! Sekolah pastinya memberikan waktu yang pantas bagi teman-teman untuk mengerjakan tugas dan wajar bila bapak/ibu guru menolak keterlambatan pengumpulan tugas dengan alasan tidak cukup waktu. 

Kelima, jika ada tugas kelompok yang menuntut pembagian tugas, jangan ragu untuk mengambil bagian tugas tersulit khususnya bagian analisa. Meski berat tapi disitulah kita belajar bagaimana penerapan suatu ilmu dalam pemecahan masalah.  

Keenam, Cicil pelajaran ! Metode ini sukses dalam membantu saya survive di sekolah dan berlanjut survive saat kuliah. Dengan mencicil kita dapat terhindar dari sistem kebut semalam. Tuhan memberikan kita waktu 24 jam, masa kita tidak mampu mengorbankan waktu paling lama 1 jam untuk mencicil ? Waktu bermain dan istirahat masih ada kok. 

Ketujuh, singkirkan gawaimu (gadget) sejauh mungkin. Penyakit utama siswa maupun mahasiswa saat belajar adalah bermain gadget. Upload foto buku, materi, dan catatan di snapchat, path, atau instagram dengan caption "Lagi belajar.. Pukul 2.30 Pagi" secara tidak disadari telah membuang waktu yang seharusnya digunakan untuk belajar. Akhirnya lebih banyak waktu yang terbuang untuk berkeluh kesah di media sosial perihal ujian ketimbang belajar untuk ujian itu sendiri. 

Kedelapan, kembangkan habitus membaca terutama dari literatur cetak. Bagi saya, habitus membaca amatlah krusial dalam menjalani kehidupan perkuliahan di UI dan hal tersebut ada baiknya sudah ditanamkan semenjak kalian duduk di bangku SMA. Bacalah (membaca bukan menghafal) materi pelajaran sebelum kelas dimulai sehingga "kepala" teman-teman tidak kosong saat mengikuti kelas serta suasana kelas yang dinamis dan kondusif dapat terwujud (membaca materi sebelum kelas diwajibkan oleh dosen-dosen FHUI dan harus diakui kebiasaan ini berjalan efektif). Ada baiknya apabila bapak/ibu guru memberikan rancangan/rencana studi kepada para murid agar mereka mengetahui "besok belajar apa saat kelas". Dalam pengerjaan tugas pun ada baiknya jika teman-teman menggunakan sumber literatur khususnya buku teks (tidak hanya buku pelajaran). Saya lebih merekomendasikan buku ketimbang internet karena materi dalam buku lebih terjamin validitasnya ketimbang materi dalam internet. Situs-situs seperti wikipedia, blogspot (termasuk blog ini), serta wordpress harus dihindari mengingat tulisan-tulisan dalam situs tersebut dapat dibuat oleh siapa saja dan validitasnya tidak terjamin.

Terakhir dan kesembilan, berdoa, bersahabat, dan bergaul karena setiap manusia memerlukan afeksi dan rasa kasih sayang.   

Tulisan yang saya persembahkan kepada teman-teman ini memang panjang, membuat malas untuk dibaca, serta agak sulit dipahami. Akan tetapi saya yakin seiring dengan pengetahuan yang akan teman-teman dapatkan entah itu di sekolah maupun saat kuliah nanti, teman-teman makin memahami segala apa yang saya sampaikan khususnya mengenai Observe, Respect, dan Lead, serta EAP. Pemahaman akan keduanya penting mengingat Observe, Respect, dan Lead merupakan upaya perwujudan Revolusi Mental bangsa kita dan EAP merupakan solusi dalam mencapai keseimbangan antara kesejahteraan alam maupun kesejahteraan manusia. Keduanya perlu dipahami dan dikritisi mengingat kedua hal tersebut merupakan jawaban atas berbagai permasalahan yang dihadapi oleh bangsa kita. Teman-teman patut bersyukur karena sekolah mengarahkan teman-teman untuk menjadi agen-agen yang mengatasi permasalahan tersebut.


Theresian 2019 - Peserta Leadership 2016
(Sumber: Gabrielle Wong)


Peserta, Panitia, Guru
(Sumber: Gabrielle Wong)

Spesial untuk teman-teman kelompok 1: DKI Jakarta, terima kasih banyak atas segala kebersamaan kita selama Leadership 2016. Untuk Widya, Cherry, Nadine, Qiya, Edrick, Jason, Becca, Stephen, Elbert, Evelyin, dan Dixon, saya sebagai mentor kalian mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas berbagai pelajaran yang telah kalian berikan kepada saya. Seperti yang telah saya sebut sebelumnya, bersama kalian saya belajar untuk mengobservasi kalian sebagai pribadi maupun kelompok, me-respect kalian atas partisipasi aktif dalam acara Leadership, serta menjadi seorang panutan bagi kalian. Ketiga hal tersebut merupakan sebuah tantangan yang memberikan pengalaman sendiri bagi saya entah itu selama acara Leadership maupun esensinya dalam kehidupan saya. Entah ada "kontrak" seumur hidup atau tidak, saya berharap kelompok ini tidak hanya eksis selama acara Leadership saja tetapi terus ada sampai kalian menjadi alumni kelak. Saya juga berharap agar kita bisa menjaga tali silaturahmi (terutama dengan sarana grup Line) dan saya akan sangat terbuka kepada kalian apabila ada satu dua hal yang ingin disampaikan, didiskusikan, maupun dicurhatkan. 


Kelompok 1: DKI Jakarta.
(Dari Kiri-Kanan) Qiya, Cherry, Widya, Evelyn, Saya, Becca, Nadine, Edrick, 
Kenneth (Digendong Edrick), Jason, Elbert, Dixon (Stephen : Absen)
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Akhir kata, saya memohon maaf apabila saya masih memiliki banyak kekurangan dan kelemahan baik selama acara Leadership entah itu sebagai pribadi, teman, alumni, mentor, maupun panitia. Saya juga memohon maaf apabila tulisan ini masih jauh dari kata sempurna dan ada satu dua kata yang tak berkenan di hati-hati teman-teman pembaca semua serta mungkin dapat menimbulkan pro-kontra. Maaf pula apabila tulisan ini amat panjang dan tampaknya penulis keasyikan menulis dan terlalu hanyut dalam tulisannya. Kiranya agar nilai-nilai observe, respect, dan lead serta EAP yang kami tanamkan selama 2 hari dapat teman-teman kelas X aplikasikan selama 3 tahun di SMA Santa Theresia maupun seumur hidup teman-teman dalam karya maupun perbuatan. Saya pribadi maupun teman-teman panitia lainnya ingin melihat teman-teman di tahun 2019 dimana teman-teman akan lulus dan menjadi alumni SMA Santa Theresia. Di tahun 2019 itulah kita semua akan melihat apakah nilai-nilai yang ditanamkan dalam Leadership menghasilkan buah yang baik atau tidak dan buah tersebut tak lain dan tak bukan adalah pencapaian teman-teman selama 3 tahun di SMA maupun seterusnya ketika teman-teman berkarya sebagai alumni.

Semoga kita dapat berjumpa lagi di lain kesempatan, entah itu saat Edu Fair, Quo Vadis (2 tahun lagi - semoga saya sudah menjadi sarjana :D), maupun acara-acara alumni lainnya :)

iObserve, iRespect, iLead !

- Alfian Anditya -

Alumni SMA Santa Theresia angkatan 2014
Fakultas Hukum Universitas Indonesia angkatan 2014
dan
Pejuang gelar S.H. 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Novena Tiga Salam Maria: Mukjizat Bunda Maria Menyertai Kita !! (Gw saksi hidupnya brow !!)

Panduan Menulis Esai Untuk Mahasiswa Baru

[BEDAH LAGU]: Chrisye - Kisah Kasih di Sekolah (2002)