Peduli Solutif Menyelamatkan Indonesia

Prolog



Awal tahun 2015 bangsa Indonesia dihadapkan pada badai besar baik itu di bidang ekonomi, maupun sosial-politik. Belum genap 100 tahun pemerintahan Jokowi-JK, publik sudah dibuat gerah dengan serangkaian masalah yang terjadi di bumi pertiwi, khususnya konflik politik dan hukum yang terjadi antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri. 

Konflik yang terjadi antara dua lembaga penegakan hukum tersebut membuat resah masyarakat Indonesia yang mengidamkan negara bersih dari korupsi. Konflik yang diduga bermula dari kepentingan politik di balik pengangkatan Budi Gunawan sebagai calon Kapolri dan diikuti dengan penangkapan Bambang Widjojanto serta pimpinan KPK lainnya, menyulut kegeraman rakyat terhadap Presiden Joko Widodo yang dinilai kurang tegas dalam menyelesaikan konflik ini. Rakyat pun juga menyesalkan keputusan Joko Widodo dalam mencalonkan Budi Gunawan sebagai kapolri mengingat Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK karena diduga memiliki "rekening gendut" serta dugaan adanya campur tangan partai dalam pencalonan Budi Gunawan. 

Konflik yang terjadi antara KPK dan Polri membuat rakyat menitik-beratkan permasalahan rumit ini pada seorang Joko Widodo selaku kepala negara dan kepala pemerintahan Republik Indonesia. Rakyat amat menyesalkan sikap presiden yang mengangkat seorang "koruptor" sebagai kapolri dan mengkhianati janjinya untuk memberantas segala praktek korupsi di negeri ini. Rakyat juga menyesalkan adanya campur tangan partai politik dan "kelembekkan" Jokowi yang membuatnya mudah "dimainkan" oleh partai pendukungnya. Puncaknya, rakyat geram akan penangkapan Bambang Widjojanto yang dinilai sebagai bentuk pelemahan KPK dan menanyakan dimana presiden Jokowi dalam menyelesaikan konflik yang digadang-gadang menjadi "Cicak vs Buaya" jilid 2.

Mengenang Ospek dan Korelasinya dengan Kasus

Konflik antara KPK dan Polri serta reaksi rakyat terhadap presiden Joko Widodo seakan membawa saya pada hari-hari di akhir bulan Agustus tahun 2014. Entah kenapa di dalam benak ini, saya menemukan korelasi antara apa yang saya alami pada masa tersebut dengan peristiwa yang terjadi saat ini. Tulisan ini pun menjadi catatan akan korelasi yang saya temukan tersebut.

Bulan Agustus 2014 merupakan masa dimana saya mengalami transisi kehidupan dari seorang pelajar SMA menjadi seorang mahasiswa. Menjadi seorang mahasiswa, terlebih mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menuntut saya untuk menjadi seseorang yang lebih dewasa lahir-batin, tahan banting, kritis, dan memegang teguh idealisme masa muda. Untuk mewujudkan karakter tersebut, kampus rutin mengadakan ospek atau orientasi selama 4 hari, dimana saya dan mahasiswa baru lainnya ditempa terus menerus, baik itu secara fisik maupun mental, kepribadian maupun intelektual oleh beragam kegiatan yang diselenggarakan baik oleh pihak fakultas maupun kemahasiswaan. 

Salah satu rangkaian ospek yang saya jalani dan berkaitan dengan kondisi Indonesia saat ini adalah Penerimaan Mahasiswa Hukum atau PMH yang diselenggarakan oleh kemahasiswaan. Acara PMH diselenggarakan untuk mengenalkan budaya mahasiswa Fakultas Hukum, berbeda dengan Pengenalan Sistem Akademik Fakultas (PSAF) yang lebih menekankan segi akademik. PMH FHUI  tahun 2014 mengusung nilai Peduli Solutif, dimana bagi saya dua kata tersebut hanyalah sekedar sebuah slogan yang diciptakan untuk memberikan kesan bahwa acara tersebut merupakan acara yang positif, edukatif, dan FH yang bebas perpeloncoan. 

Kesan tersebut bisa muncul dari benak saya, mengingat PMH FHUI (begitu juga dengan PSAF) selalu identik dengan komisi disiplin-komisi tugas (Komdis-Komgas), acara marah-marahan dan unjuk superioritas para senior, serta serangkaian tugas dan aturan main yang melelahkan secara lahir maupun batin. Kesan kurang baik yang muncul dalam diri saya pun juga muncul ketika nilai "Peduli Solutif" yang diusung cenderung "dipaksakan" oleh para senior, khususynya Komdis-Komgas. Setiap pagi (pada dua hari terakhir rangkaian ospek) kami selaku mahasiswa baru (MABA) selalu diteriaki oleh senior seperti "Mana temen-temen yang lain ?", "Kenapa yang dateng cuma segini ?"."Mana kepeduliannya, gak ada yang ingetin temen-temennya buat dateng pagi ?", "Egois kalian semua !" dan beragam marahan-marahan yang menyinggung "ketidak-pedulian mahasiswa baru." (meski sebenarnya dingetin pun MABA yang bersangkutan kalau tidak disiplin dan tidak ada niat untuk bangun pagi, tetap aja telat). Begitu pila setiap sore saat evaluasi tugas ketika kami dimarahi lagi oleh Komgas seperti "Kenapa tugasnya pada gak dibikin ?", "Kenapa kalian gak saling mengingatkna satu sama lain untuk ngerjain tugas ?", "Kalo gak sempet ngerjain tugas, gimana solusinya supaya tugasnya bisa kelar ?", dan sebagainya. (meski diingetin pun, kalau MABA yang bersangkutan malas dan tidak ada niat, pasti tugasnya tetap gak akan dibuat).

Peduli solutif yang cenderung dipaksakan di tengah kemustahilan itulah yang membuat saya menilai bahwa Peduli Solutif hanyalah sebuah "pepes kosong". Peduli solutif yang "dipaksakan" pun seakan hanyalah bentuk pencitraan para senior di mata dekanat.

Namun, melihat kondisi Indonesia saat ini yakni adanya badai konflik antara dua lembaga penegak hukum, serta reaksi rakyat yang hanya bisa menuntut dan menjelek-jelekan pemerintahan, barulah saya menyadari akan pentingnya nilai "Peduli Solutif" dalam mengatasi masalah-masalah Indonesia di awal tahun 2015 ini. 

Mari kita coba uraikan apa makna dibalik "Peduli Solutif" dan korelasinya terhadap masalah nasional saat ini.

Peduli

Peduli merupakan bentuk kepekaan dan empati yang muncul dalam diri kita ketika kita dihadapkan akan suatu masalah. 

Reaksi rakyat yang membela KPK dankeprihatinan terhadap konflik KPK dan Polri sebenernya disadar atau tidak, merupakan wujud dari kepedulian rakyat untuk negaranya. Rakyat tidak mau dua lembaga penegak hukum tersebut saling memperjuangkan ego masing-masing sehingga melupakan komitmen dalam pemberantasan korupsi yang merugikan rakyat dan negara. Konflik antara KPK dan Polri yang menghambat komitmen pemberantasan korupsi juga menjadi sinyal berbahaya bagi negara untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik dan sejahtera.

Namun, wujud kepedulian tersebut belumlah sempurna mengingat rakyat "meng-kambing hitamkan"" presiden Joko Widodo dalam konflik ini. Rakyat seakan menjadi sahabat yang  "munafik" bagi seorang Joko Widodo, dimana rakyat mengelu-elukan dan mau "bergaul" dengan seorang Jokowi ketika ia menciptakan kebijakan yang pro rakyat (hal inilah yang dialami Jokowi ketika menjadi Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta) tetapi rakyat menjauhi Jokowi ketika ia mengambil kebijakan yang kurang populer. 

Hal inilah yang membuat saya bingung terhadap rakyat atau masyarakat Indonesia. Bukankah seorang sahabat yang baik ada di saat susah maupun senang ? Hal ini pulalah yang dialami oleh Jokowi saaat ini. Seorang Joko Widodo merupakan presiden pilihan rakyat, yang berarti rakyat sudah memilih Jokowi berikut kelebihan dan kekurangannya. Joko Widodo jugalah seorang manusia biasa yang memiliki kelemahan dan rakyat haruslah menerima kenyataan ini.

Seorang rakyat Indonesia yang baik bukanlah rakyat yang egois, yang hanya peduli pada ego dan keuntungan dirinya sendiri (sayangnya, hal inilah yang justru dijumpai dari kebanyakan  rakyat Indonesia) tetapi ia juga harus peduli pada pemimpinnya. Untuk mewujudkan kepedulian tersebut, rakyat haruslah berempati pada presidennya dan membayangkan berada di posisi sang presiden saat ini. 

Cobalah bayangkan, anda adalah seorang Joko Widodo yang harus menghadapi konflik KPK dan Polri yang sangat rumit. Di satu sisi anda harus mendukung sesuatu yang benar dan adil secara hukum, sesuatu yang dapat memuaskan harapan rakyat saat ini. Tapi di sisi lain, anda tidak boleh kehilangan wibawa dan integritas anda dihadapan bawahan-bawahan anda. Anda harus bisa membuat mereka nyaman dan mau bekerja sama dengan anda dalam mewujudkan tujuan negara. Anda juga harus membuat bawahan anda menjadi pribadi-pribadi yang lebih baik, meskipun saat ini sulit untuk mewujudkannya, mengingat bawahan anda banyak memiliki masalah, mulai dari yang memiliki kepentingan politik, egois, sampai orang-orang korup yang pastinya sulit untuk diajak bekerja sama. Kalau anda mengambil salah satu jalan tersebut, anda akan kehilangan kepercayaan dari orang-orang yang berada di jalan yang satunya lagi. Anda akan dihujat dan dijauhi oleh mereka. Begitu pula sebaliknya. Untuk mengatasi dilema tersebut, anda pun dituntut untuk menciptakan jalan tengah, dimana kedua belah sisi yang saling bertentangan tersebut dapat saling menghormati satu sama lainnya dan keduanya mendapatkan manfaat positif yang sebesar-besarnya dari keputusan yang anda buat.

Saat ini, seorang Joko Widodo menuntut dirinya sendiri untuk menciptakan jalan tengah tersebut, sementara rakyat sudah "mengamuk" tak karuan dan oknum-oknum hukum maupun politik saling adu kekuatan untuk menjatuhkan satu sama lain. Stress ? Tentu saja dialami oleh Jokowi yang juga manusia biasa dan anda pun sebagai bagian dari masyarakat Indonesia dituntut untuk mau berempati dan peduli terhadap apa yang dirasakan oleh pemerintah anda saat ini. 

Dengan adanya sikap peduli dan empati, tentu sebuah inisiatif untuk menciptakan solusi atas permasalahan yang dihadapi akan muncul. 

Solutif

Peduli menghasilkan inisiatif dan inisiatif merupakan motivasi kuat untuk menciptakan solusi dalam memecahkan masalah yang ada. Namun, apakah masyarakat sudah memahami, menciptakan, dan melaksanakan solusi atas peristiwa politik yang terjadi saat ini ?

Mari kita mencoba untuk berkaca pada reaksi masyarakat Indonesia pada kasus KPK vs Polri.

Reaksi masyarakat yang umum dijumpai saat ini merupakan bentuk dari kritikan dan sindiran yang diutarakan terutama untuk presiden Joko Widodo. Seperti yang telah saya sebutkan diatas, presiden dijadikan kambing hitam atas kondisi yang dialami negara saat ini meskipun dibalik itu semua, presiden sedang pusing bukan main untuk mencari solusi pemecahan masalah ini. Solusi yang berusaha diciptakan presiden adalah solusi yang adil baik untuk KPK, Polri, maupun seluruh rakyat Indonesia dan diharapkan ketiganya mendapat manfaat yang positif dari solusi yang berusaha dicari. 

Sayangnya, masyarakat hanya bisa mengkritik dan meyindir pemerintah, tapi belum bisa turut membantu pemerintah dalam mencari solusi yang ada. Seperti apakah itu kritik dan sindiran-sindiran yang diutarakan oleh masyarakat terhadap pemerintahnya ?

Pertama marilah kita berbicara soal mengkritik. Ketika kita melakukan suatu hal, kita kerap meminta kritik dan saran untuk menjadikan diri kita sendiri, maupun hal yang kita lakukan menjadi lebih baik lagi di kemudian hari. Contohnya saja, sebuah presentasi, maupun karya tulis yang kerap meminta kritik dan saran. Kritik berarti upaya penilaian atau peng-evaluasian. Kritik cenderung dibuat untuk mencari kesalahan atau kelemahan dari objek yang dikritiknya. Kecenderungan kritik dalam mencari-cari kelemahan objek kritikannya, tidak terlepas dari sifat manusia yang suka mencari dan menonjolkan kelemahan orang lain ketimbang kelebihannya (harus diakui pula hal ini manusiawi). Berbeda dengan kritik, saran adalah upaya untuk menawarkan pendapat dan solusi yang membangun dan membuat objek kritikan menjadi lebih baik lagi. 

Bila melihat korelasi antara kritik dan saran pada reaksi masyarakat Indonesia terhadap peristiwa bangsa saat ini, tentu masyarakat cenderung mengutamakan kritikan daripada saran, dan bahkan melenyapkan "tuntutan" pada diri sendiri untuk memberi saran terhadap pemerintah. Tentu amat teramat disayangkan, ketika demokrasi yang memudahkan seseorang untuk memberikan saran, masukan, atau solusi kurang dimanfaatkan dengan baik. Demokrasi yang sudah berkembang sejak reformasi pun dimanfaatkan untuk memberikan kritikan-kritikan yang cenderung berkembang menjadi sindirian atau menjelek-jelekan atau pun membongkar aib seseorang tetapi tidak dipakai untuk memberikan solusi. 

Ironis ? Tentu saja. Masyarakat aktif dalam berdemokrasi ? Iya, namun kurang sempurna. Demokrasi yang kurang sempurna ini kadang membuat orang pesimis akan kebaikan dari demokrasi karena demokrasi membuka kesempatan kepada seseorang untuk menjelek-jelekan orang lain (hal ini pula yang melahirkan gerakan yang menuntut pembentukan negara agama maupun "khilafah". Siapakah mereka ? Mungkin anda sudah tahu) 

Reaksi masyarakat yang cenderung mengkritik dan menyindir dalam konflik KPK vs Polri menunjukkan budaya apatis-pasif masyarakat dalam mencari solusi dan keinginan untuk membantu Jokowi beserta pemerintahannya dalam menyelesaikan masalah tersebut. Maka tak heran, orang-orang  semacam Jonru, Farhat Abbas dan antek-anteknya menjamur dimana-mana sebagai hasil dari budaya apatis mencari solusi. Bisa dibilang, mereka adalah orang-orang yang peduli terhadap kondisi negara ini, namun kepedulian tersebut dimanifestaikan dengan cara yang kurang tepat. Mereka pun menjadi kaum pengkritik yang hanya bisa melebih-lebihkan kejelekan dan kelemahan dari pak presiden tapi tidak memiliki solusi dalam memecahkan masalah bersama ini. Terkadang, dalam mengomentari suatu hal atau peristiwa, mereka mengutip ayat-ayat kitab suci tertentu, menafsirkannya menurut ego dan keyakinan mereka, serta menganggap tafsiran mereka berlaku secara universal bagi semua orang (layaknya kaum farisi dan ahli taurat di zaman Isa almasih atau Yesus Kristus). Lagi-lagi saya katakan, presiden kita memiliki kelemahan karena ia hanya manusia bisa dan karena kelemahan yang dimiliki presiden itulah kita harus bersama-sama mendukung serta siap menawarkan solusi yang membangun. Rakyat dan pemimpin haruslah menjadi partner satu sama lain dan saling bekerja sama untuk memecahkan masalah bersama.

Saat ini, bangsa ini membutuhkan orang-orang yang bisa aktif diajak bekerja sama, tidak hanya sekedar memberi kritik dan tuntutan saja tetapi juga bisa memberikan solusi atas permasalahan yang ada. Janganlah menjadi kaum-kaum yang mencoba menyelesaikan masalah tanpa solusi layaknya Indonesia Lawak Club. Mungkin mereka-mereka, kaum pengkritik merupakan orang-orang yang cocok mengisi acara tersebut (mungkin ?)

Kesimpulan dari nilai solutif ini adalah kebebasan berpendapat (termasuk mengkritik) kita yang merupakan buah dari demokrasi akan menjadi sempurna apabila diiringi oleh solusi. Namun, perlu dicermati lagi bahwa kritikan yang dimaksud adalah kritikan yang membangun, bukannya kritikan yang cenderung merendahkan aib seseorang. Begitu pula dengan solusi, dimana solusi tersebut tidaklah harus menyelesaikan masalah sampai tuntas (meskipun solusi semacam ini lebih diharapkan), namun dengan menyumbangkan masukan yang kontributif, masukan yang mampu membuat seseorang atau sesuatu menjadi lebih baik lagi, serta mengurangi beban dari masalah, hal-hal tersebut juga termasuk sebuah solusi.

Penutup

Menulis pada post ini menuntut saya untuk menciptakan solusi atas studi kasus yang telah dibahas. Tentu saja akan sedikit miris apabila saya sudah panjang-lebar menulis mengenai peduli solutif namun tidak mampu memberikan sedikit pun solusi atas masalah yang dihadapi oleh bapak presiden beserta segenap rakyat Indonesia. Tidak etis pula saya tidak bisa mencontohkan sikap sesuai dengan apa yang saya utarakan diatas.

Berkaitan dengan solusi, saya akan mencoba membeberkan solusi menurut pandangan saya pribadi. Jadi, dalam melihat kasus antara KPK dan Polri, kita harus mengetahui penyebab, akibat, dan solusi.. Namun, kita pun juga harus memprioritaskan kepastian dari ketiga unsur tersebut, jangan terlalu cepat dalam menduga maupun berspekulasi, apalagi sampai berkonspirasi yang bukan-bukan. Fakta merupakan hal yang utama dalam menyelidiki suatu masalah.

Berikut uraiannya (garis besarnya)

1. Penyebab:
     
Penangkapan Bambang Widjojanto oleh Bareskrim (Polri) secara represif

2. Akibat:

BW ditahan oleh polisi, diperiksa, dan ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan mengatur kesaksian palsu dalam sengketa pilkada Kotawaringin Barat (padahal kasusnya sudah diselesaikan di tingkat kasasi), muncul dugaan adanya kesengajaan yang dilakukan Polri untuk melemahkan KPK dengan menangka pimpinan KPK serta menggunakan kasus lama (seperti cicak vs buaya sebelumnya), muncul konspirasi mulai dari keterkaitan dengan pengangkatan Budi Gunawan sebagai calon kapolri serta usaha untuk "menghilangkan" berkas-berkas, barang bukti, maupun penyelidikan KPK dalam tubuh Polri. Rakyat geram dan menyatakan dukungannya pada Polri. Rakyat meminta presiden Jokowi tegas dalam mendamaikan kedua belah pihak, namun ada yang mengkambing-hitamkan Jokowi atas kasus ini (pengangkatan Budi Gunawan sebagai calon kapolri)

3. Solusi:

Presiden memberikan pernyataan normatif agar kedua pihak bisa saling menyelesaikan masalah secara baik-baik. Presiden juga membentuk tim independen  yang terdiri atas:


  1. Oegroseno 
  2. Jimly Asshiddiqie 
  3. Tumpak Hatorangan Panggabean
  4. Bambang Widodo Umar
  5. Hikmahanto Juwana
  6. Erry Riyana Hardjapamekas
  7. Ahmad Syafii Maarif
Tim ini dibentuk untuk memberikan masukan kepada Presiden dalam menyelesaikan kasus KPK vs Polri..

Menurut pandangan saya, langkah yang diambil presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan konflik merupakan salah satu solusi yang bisa diterima oleh berbagai kalangan yang menginginkan penyelesaian konflik ini. Dalam membentuk tim independen, presiden menunjukkan kepada publik bahwa ia ada dan setia dalam mengawal serta berusaha untuk mendamaikan perseteruan antara KPK dan Polri. 

Bila melihat komposisi dari tim independen ini, tampaknya jelas bahwa Jokowi tidak menginginkan tim indipenden yang ia bentuk memihak pada salah satu pihak tertentu. Komposisinya bisa dibilang seimbang, dimana Oegroseno dan Bambang Widodo Umar adalah orang-orang yang pernah merasakan berkecimpung di institusi kepolisian dan tentu mereka bisa dibilang paham seluk-beluk kepolisian dan permasalahannya. Lalu ada Erry R.H. dan Tumpak H.Panggabean yang berasal dari institusi KPK. Selain dari kepolisian dan KPK, presiden Jokowi juga mengundang Ahmad Syafii Maarif yang merupakan orang Muhammadiyah, serta Jimly dan Hikmahanto yang merupakan ahli hukum serta guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 

Dalam kasus ini, saya sependapat dengan solusi dari presiden Jokowi, dimana kasus penangkapan BW lebih diprioritaskan ketimbang konspirasi dari kasus Budi Gunawan. Dalam kasus penangkapan BW, saya cenderung memihak kepada KPK, namun bukan dengan alasan membela pemberantasan korupsi sebagai yang utama. 



Saya memutuskan membela KPK dalam kasus ini dikarenakan sikap represif yang ditunjukan oleh kepolisian dalam menangkap BW, dimana BW ditangkap layaknya seorang kriminal. Sangat disayangkan sekali kepolisian tidak menggunakan cara-cara yang lebih kooperatif untuk memeriksa BW. Polri boleh menggunakan wewenangnya dalam mengumpulkan keterangan melalui pemeriksaan BW, namun cara represif dan paksaan yang digunakan merupakan suatu tindakan yang amat disayangkan. Dengan menangkap paksa BW, meledaklah kegeraman rakyat. Akibatnya, dugaan, spekulasi, maupun konspirasi muncul di kalangan rakyat yang menilai penangkapan BW merupakan bentuk pelemahan KPK serta menyangkut-pautkannya dengan kasus Budi Gunawan. Belum lagi, polri juga menerima pengaduan dan menangkap sejumlah pimpinan KPK dalam mengumpulkan keterangan. 

Akibat penangkapan sejumlah pimpinan KPK pun jelas menghambat kinerja KPK dalam menyelesaikan kasus korupsi, terutama yang berkaitan dengan Budi Gunawan.

Sebenarnya, solusi yang tepat untuk masalah ini adalah membiarkan KPK mengusut tuntas kasus korupsi yang melibatkan Budi Gunawan. Setelah menyelesaikan tugasnya (mungkin termasuk pengangkatan Kapolri oleh Presiden), barulah Polri melakukan pemeriksaan terhadap KPK, namun dengan catatan melakukannya secara bertahap. Kondisi saat ini menunjukkan bahwa pemeriksaan dan penangkapan beberapa petinggi KPK dilakukan secara langsung. Tentu hal tersebut mengagetkan dan langsung menghambat kinerja. 

Namun, solusi yang mungkin seharusnya dilakukan (dan mungkin paling efektif), tidak dapat berlaku lagi, mengingat nasi telah menjadi bubur. Kini, solusi yang dimiliki adalah kinerja dari tim independen sendiri. Tim independen merupakan orang-orang yang profesional di bidangnya dan tentu memiliki "tujuh kepala" dan "tujuh solusi" dalam menyelesaikan kasus Polri vs KPK. Diharapkan pula, media tidak mengganggu kinerja dari tim independen maupun presiden Joko Widodo. Begitu pula, dengan masyarakat agar tidak terburu-buru mengambil spekulasi. Ada baiknya, masyarakat berkaca pada fakta yang ada saat ini dan masyarakat pun perlu mengetahui bahwa spekulasi akan semakin memperkeruh keadaan. 


Demikian pendapat, saran, dan solusi yang saya paparkan. Saya pun menyadari bahwa apa yang saya paparkan jauh dari kata sempurna, namun hal tersebutlah yang saya bisa kontribusikan sebagai warga negara dalam hal kasus ini. Saya pun berharap agar solusi yang dibuat oleh pak presiden benar-benar bisa dilaksanakan dengan baik. Entah apa rencana dan pemikiran pak Jokowi, kita hanya bisa

  1. Mendukung apabila solusi yang ditawarkan baik serta memiliki manfaat yang lebih banyak ketimbang kerugian.
  2. Mengingatkan apabila solusi yang ditawarkan kurang baik serta memiliki manfaat yang lebih sedikit ketimbang kerugian. Namun, jangan lupa pula untuk memberikan masukan-masukan kepada beliau.
Mohon maaf apabila ada salah kata maupun penulisan dalam post ini.
Terima kasih :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Novena Tiga Salam Maria: Mukjizat Bunda Maria Menyertai Kita !! (Gw saksi hidupnya brow !!)

Panduan Menulis Esai Untuk Mahasiswa Baru

[BEDAH LAGU]: Chrisye - Kisah Kasih di Sekolah (2002)