LELAH...

Akhirnya kembali lagi bisa nge-blog setelah sekian lama vakum gara-gara kesibukan yang super sibuk (sampai jarang pulang ke rumah ) di semester 6 ini... Cause it's liburan semester (sebelum nangis liat hasil semester 6 nanti), jadi ini saat yang tepat untuk nulis lagi..

Sesuai judulnya, tulisan ini gue maksudkan untuk mengungkapkan kelelahan yang gue alami akhir-akhir ini.. Jelas perjalanan di semester 6 dengan segala perkuliahan dan permootingan (re - simulasi sidang, mata kuliah praktek) membuat lelah secara fisik dan paling utama mental... Untuk urusan semester 6 ini akan gue bahas di tulisan tersendiri (especially untuk praktek pidana dan praktek perdata).. But honestly, bukan lelah itu yang akan gue bahas.. Lelah yang akan gue bahas dalam tulisan ini merupakan bentuk ekspresi gue terhadap kondisi bangsa belakangan ini (nah mulai serius omongannya), atau dengan kata lain gue lelah dengan kondisi bangsa ! So let's begin

Berawal dari Basuki dan Pilkadanya...

Kelelahan ini tidak hanya dialami oleh gue seorang tetapi juga hampir seluruh masyarakat Indonesia.. Benar kata pak Jokowi, energi kita terkuras habis karna kita saling bertengkar dan ribut bukannya kerja untuk suatu hal yang lebih produktif (entah kalian sadar ato enggak sih). Kita gak boleh mengesampingkan fakta bahwa keributan ini tidak terlepas dari kasus penodaan agama (bukan penistaan) yang menjerat Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dan kasus ini benar-benar kayak lingkaran setan... Disebut lingkaran setan ya karena kasus ini bener-bener multi-dimensional.. Nyangkut agama iya, politik (apalagi pilkada) iya, nyangkut isu SARA (apalagi), nyangkut masalah freedom of speech iya, nyangkut masalah pendidikan (terutama untuk para bigot) iya, nyangkut masalah hukum iya juga. Kalo boleh gue simpulkan ya kasus ini semulti-dimensional kayak kita pas krisis 1998 dan jangan heran kalo kekhawatiran dan ketakutan di tahun 1998 terulang lagi di tahun 2017. Tapi dari sekian banyaknya dimensi-dimensi tersebut, gue akan coba membahas dua isu yang paling dominan dari kasus ini yakni politik (which konsekuensinya ke "agama" kalo kita bahas konsep hablum minallah wa hablum minannas dalam ajaran islam) dan hukum (terkait soal vonisnya sendiri).

First of all, kasus ini gak bisa lepas dari Pilkada DKI... Politiknya daerah tapi rasa nasional dan karena kemunculan si Ahok inilah sh*t happened yakni isu SARA. Kalo kalian bicara SARA menurut gue sebagai orang ber-double minority sebenarnya bukanlah hal yang tabu.. SARA bukan hal yang tabu ! Dia bisa dipandang dari prespektif yang positif di mana dengan memahami SARA kita bisa memahami apa itu toleransi dan hidup di tengah masyarakat, akan tetapi kalo dipandang secara negatif maka ia bisa menjerumus pada disintegrasi. SARA itu ibarat pisau bermata dua dan kalo kita mencoba bersikap netral... " SARA itu penting bagi kita tidak hanya untuk mendefinisikan sesama manusia akan tetapi juga menentukan cara kita berperilaku terhadap sesama manusia" (sebagaimana yang gue kutip dari pak Yu Un Oppusunggu)... 

Sialannya ya jelas, karena politik dan kompetisi isu SARA ini kebanyakan dipandang dari prespektif negatif apalagi semenjak muncul kasus penodaan agama (yang sialannya juga diedit... yang lebih sialannya lagi banyak orang bodoh yang percaya).. Akhirnya isu ini makin kuat (terlebih dengan adanya demo berjilid2) dan Ahok harus kalah dari Pilkada..

 Masalahnya gini, gue menghormati apapun hasil dari Pilkada DKI karena itulah pilihan "terbaik" untuk warga Jakarta.. Tapi yang membuat gue terkejut setelah melihat survei (gue lupa sumbernya mana, tapi kredibel dan bisa dicari sendiri.. jangan manja ah..) adalah faktor SARA berperan besar dibalik kekalahan Ahok... Secara tersirat ya sebagian besar dari 58% (not all of them yak) memilih Anies-Sandi karena faktor SARA bukan dari program yang dikampanyekan.. Bisa dikatakan, gue bersyukur karena 42% warga DKI masih menggunakan rasionya dalam memilih pilihannya (bisa dicek lagi survei di google perihal alasan dari dipilihnya Ahok oleh para pemilihnya... jangan manja ah).... 

Okelah gue gak mao maki kalian wahai majority from the 58% atas alasan kalian dalam memilih pilihan kalian (tunjukin mana makian gue). Gue menghormati ketaatan kalian pada ajaran agama maupun alasan primordial lainnya karna gue sadar adanya konsep hablum minallah wa hablum minannas itu.. Apalah gue yang dianggap "sekuler" ini (meski sekarang gue bangga jadi orang sekuler wkwkwk) karna agama gue... Sebenernya dari kekalahan ini sih gue pandang dari sisi positif aja.. At least pak Ahok punya waktu lebih banyak untuk ngumpul bareng keluarganya dan mungkin bisa ngebuka bisnis kayak jualan hape di glodok, jualan mie ayam di petak sembilan, ato usaha-usaha lain yang "melekat" dalam diri orang tionghoa. Mayan kan duitnya lebih banyak dari pada jadi gubernur yang kerjanya ngurusin hidup orang (mana gajinya juga gak diambil full lagi sama pak ahok sendiri)... 

Tapi sayangnya, mimpi sederhana untuk hidup bahagia dan tenang yang gue rekomendasikan ke pak Ahok ini harus tertunda selama 2 tahun.. karna apa... VONIS !

Kedua kita akan ngomongin soal vonisnya nih... Kalian yang masyarakat awam mungkin merasa "nyesek" dengan vonis tersebut, apalagi kami yang belajar hukum pastinya lebih sakit hati.. Seakan-akan gue belajar 3 tahun, asas pidana - hukum acara pidana, gak pulang ke rumah, ngegelandang di kampus sampai jam 4 pagi  kayak gak ada artinya atau percuma.. Orang sering bilang "realita beda dengan teori" tapi bukan berarti kita pasrah pada realita yang salah tersebut... Tetap aja, benar adalah benar, salah adalah salah dan jangan sekali-kali membenarkan suatu kesalahan di hadapan gue ! Semenjak masuk FHUI, ini adalah putusan kedua yang membuat gue pesimis dengan masa depan gue setelah lulus nantinya.. Pertama, uda jelas vonis Jessica dan Ahok adalah orang kedua yang menjadi korban dari trial by the mob padahal secara prinsip hukum pidana maupun hukum acara pidana yang berlaku "memihak" kepada mereka. Gue gak masalah dengan ultra petita yang dijatuhkan hakim karena secara hukum emang memungkinkan bagi hakim untuk menghukum lebih berat dari tuntutan jaksa.. Tapi yang gue permasalahkan adalah gimana caranya hakim yakin akan adanya suatu "penistaan agama" padahal jaksa sendiri gak yakin dan sekedar meyakini adanya "menciptakan permusuhan" (itupun juga ragu dengan tuntutan 1 tahun penjara, 2 tahun percobaan)..

Terlepas dari pandangan kalo ada intervensi pemerintah dalam diri jaksa untuk membebaskan Ahok (ya iyalah pasti ada intervensi, kan jaksa bawahannya pemerintah), tetep aja kan ada suatu bias perihal pandangan pengadilan terhadap perbuatan si Ahok ini. Gue yakin majelis hakim yang mulia lebih takut kaca mobilnya dipecahin, rumahnya dilemparin telor, facebooknya diteror oleh orang-orang yang ngotot pengen penjarain Ahok ketimbang takut untuk tidak berbuat adil. Trial by the mob jelas keliatan dan harus diakui isu SARA bermain di balik trial by the mob ini.

Korelasinya apa dong antara pilkada, preferensi politik, dan vonis Ahok ? Simple aja... Gue cuma berharap kita tetap berlaku adil...

As I said before, gue gak peduli preferensi politik kalian apa karna itu emang hak kalian.. Kalau kalian memilih karna agama kalian menghendaki kalian memilih pemimpin yang seiman, gue hormati itu.. Gue gak berhak untuk menjudge cara seseorang memeluk atau menafsirkan agamanya kayak gimana... Gue bukan seorang muslim tapi gue pernah 1 tahun mengenal islam secara formil di kelas dan 3 tahun terakhir ini gue ditempatkan di suatu ekosistem pendidikan yang benar-benar beragam sehingga dengan sendirinya gue mengenal islam lewat pergaulan dengan temen-temen gue. Atas dasar itu kenapa gue paham dan respect apapun pemikiran, ideologi, dan preferensi politik selama tidak bertentangan dengan Pancasila, NKRI, dan UUD 45. Tapi tolong banget, jangan karena kalian punya preferensi politik yang berseberangan, sikap primordial yang kuat, dan pandangan miring mengenai SARA tertentu membuat kalian menjadi orang yang TIDAK ADIL terhadap sesama kalian.. Inilah yang gue nilai menjadi penyebab dari keresahan kita akhir-akhir ini.. Ini ranah hukum brow bukan urusannya orang yang gila politik !

Okelah mungkin gue akan digampar sama senior, dosen, ato temen gue dari pernyataan tersebut. Secara gue mengenal ada istilah "politik hukum" selama gue kuliah which eksistensi hukum tidak terlepas dari adanya dinamika politik nasional. Masalahnya saat ini menurut gue, politik kita dinamikanya terlalu dinamis apalagi menjelang pemilu/pilkada. Tau lah tensinya gimana sampai kalian dapat melihat bagaimana seorang manusia rela melakukan apa saja demi mendapatkan kekuasaanya (bener2 homo homini lupus). Kecenderungan demikian pada akhirnya membuat dinamikan politik kita jadi kehilangan identitas atau dengan kata lain "labil" kayak ABG. Jangan heran kenapa gara2 kelabilan ini muncul keraguan akan relevansi nilai-nilai Pancasila padahal Pancasila itu adalah identitas negara kita yang sudah disusun oleh para founding fathers kita. Jangan heran juga paham2 radikal, primordial, dsb yang bawa2 SARA muncul dan tampil sebagai "alternatif" di tengah keraguan terhadap Pancasila tsb. Pertanyaan berikutnya, yakin dengan kondisi politik demikian akan tercipta suatu kondisi di mana hukum dapat menunjukkan nilai keadilan dan kebenaran yang hakiki ? (Yakk waktunya berfilsafat...)  Ketika suatu politik yang kotor (gue meyakini aksi intoleransi akhir2 ini bukan murni karna faktor primordial aja tapi politik lebih kuat) mempengaruhi suatu vonis yang tidak adil dan tidak semestinya, maka jangan heran outputnya juga akan kotor.. Yakin dengan Ahok dipenjara aksi2 intoleran dan ujaran kebencian akan reda ? Enggak brow... Aksi intoleran dan ujaran kebencian tersebut akan reda kalau negara ini hanya dikuasai oleh satu golongan masyarakat dan masyarakat yang diatur juga dari satu golongan tersebut... Golongan lain ? Mati digenosida ato eksodus ke luar negeri kayak pengungsi Suriah.

Dalam memandang masalah ini gue sudah menyebut kalau gue bersyukur belajar dan bergaul di FHUI.. Secara politik preferensi kita beda2, ideologi juga boleh beda2, agama juga boleh beda2, latar belakang apalagi... Tapi kalo bicara mengenai hukum, kita masih satu frekuensi dalam hal das sollen (apa yang seharusnya) dan das sein (apa faktanya) dari vonis Ahok ini. Intinya sih "percuma capek-capek belajar sampai gak pulang" kalo ujung-ujungnya cuma diinjek-injek sama orang politik. (kata Mantaro)

How To End This...

Gue sendiri menyebutkan bahwa isu SARA ini ditunggangi oleh politik dan politik sendiri ditunggangi oleh kepentingan. Gue akan setuju dengan konsep hablum minallah wa hablum minannas selama politik yang dimaksud diarahkan demi tercapainya kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan bagi masyarakat... Tapi jangan harap gue setuju kalo konsep hablum minallah wa hablum minannas ini ditunggangi hanya untuk memuaskan ambisi akan kekuasaan, korupsi, dan perbuatan apapun yang membawa kerugian. Karena kecenderungannya yang kedua yak mao gimana lagi... Makin banggalah gue menjadi orang yang sekuler dan silahkan aja kalo ngecap gue kafir juga gak apa-apa... (Quote dari gue: "Untuk apa beragama kalau tidak dapat mengasihi dan memberi cinta kepada orang lain" .. Mendingan jadi kafir tapi mengenal cinta bukan ?)

Kenapa politik ditunggangi kepentingan ? Jawabannya ya sifat alamiah manusia, egoisme ! Dan karna keegoisan itulah kita menjadi serigala bagi sesama kita... Jangan heran kenapa Ahok disenangi dan dipuja oleh pendukungnya.. Kerjanya dia itu biasa aja gak ada yang istimewa, tapi dibalik kerjanya tersimpan suatu "kepedulian" bukannya "ego"..

I believed that orang-orang yang seradikal FPI pun sebenernya bisa diajak untuk bersikap toleran.. Buktinya dia orang bisa main sama Hary Tanoe yang notabene "cina-kafir"... Ya selama kepentingannya terpenuhi orang radikal bisa dijinakin.. Ibaratnya mengubah macan jadi kucing. Kalo di kelas filsafat hukum kita kenal namanya metode hermeneutika di mana kita melakukan pendekatan guna memahami kepntingan seseorang. Ibarat seorang anak kecil yang merengek, sang orang tua berusaha mendekati si anak dan bertanya "nak, kamu maunya apa ?".. Pendekatan seperti inilah yang seharusnya bisa dilakukan oleh seorang Ahok kalau dia mau menang Pilkada bahkan jauh-jauh hari dia lakukan saat Pilkada tahun 2012 (kan panas2nya mulai dari tahun segitu).. Perlu diingat bahwa hermeneutika ini gak murni bertujuan untuk memenuhi keinginan salah satu pihak akan tetapi lebih ke "mengetahui" keinginan dari pihak yang bersangkutan.. Perihal dipenuhi atau tidak ya keputusan itu kan bisa diambil setelah kita mengetahui apa kepentingan dari orang yang bersangkutan. Resikonya pasti besar karna akan memunculkan persepsi negatif dan gengsi juga bermain. Tapi kalo pun gue boleh berpendapat hermeneutika ini penting untuk memutus rantai egoisme dengan penyelesaian masalah secara elegan.

Gue pun menekankan pada pentingnya kita memutus rantai egoisme.. Berhubung gue belakangan ini uda sempet nonton Naruto, gue pun berkenalan dengan istilah "siklus kebencian" terutama saat adegan Naruto ceramah di depan Nagato dan Obito di mana Naruto ingin tampil sebagai orang yang memutus siklus kebencian tersebut (for more details, nonton sendiri yak).

Relevan aja dengan kondisi kita saat ini, ya kita terjebak di tengah-tengah siklus kebencian tersebut dan siklus kebencian ini juga gak terlepas dari egoisme kita. Siklus kebencian yang membuat kita bersikap sinis terhadap sesama dan ada keinginan untuk menghabisi sesama. Soal SARA ya sekedar dijadikan sebagai dasar pembenar atas nafsu tersebut. Apalagi sejak kasus Ahok, alasan SARA pun makin diagung-agungkan. Gue berani bertaruh, sikap "rasis" di dunia ini akan lenyap kalau umat manusia punah.. (sumpah saking segitu pesimisnya gue akan suatu utopia)..

Atas dasar pertimbangan ini (rantai egoisme - siklus kebencian) ya mau gak mau kita perlu punya pikiran yang terbuka.. Kita perlu berinteraksi secara langsung dan mengenal orang lain. Kalau begini kita dituntut untuk punya pandangan bahwa dunia ini "bukan punya gue seorang"..

Hal yang sama pernah gue alami yang dari kecil sampai SMA hidup di lingkungan sosial yang homogen.. Muncullah pemikiran ala kaum Nazi di mana gue merasa sebagai "ras" yang "superior" di bandingkan orang lain.. But it changed ketika gue kuliah dan gue ditempatkan di suatu lingkungan yang sangat heterogen.. Memang awalnya sulit tapi di situlah prosesnya muncul. Ketika gue harus berhadapan dan bergaul dengan orang-orang yang memiliki latar belakang berbeda, saling tukar pemikiran, ngobrol, dsb.. Maka dari itulah mengapa gue merasa aman di kampus sekalipun kampus gue heterogen, gue minoritas, dan kondisi belakangan ini sangat meresahkan. Ideologi boleh beda, agama boleh beda, sikap primordial boleh ada, tapi respect dan pertemanan tetap perlu dijaga. Gue yakin temen-temen gue yang lain juga dituntut untuk terbuka manakala mereka berada dalam kondisi yang demikian... Sepengamatan gue dan selama gue menjalaninya, gak ada yang merasa superior karena dirinya mayoritas atau bersikap eksklusif dan playing victim karena minoritas. Overall untuk masyarakat Indonesia, belajarlah dari FHUI !

Lalu gimana halnya menghadapi orang-orang yang memilih untuk jadi radikal tapi gak ada latar belakang kepentingan atau ekonomi ? Ya jujur aja, kalo gini kan masalahnya uda ideologi and trust me orang akan memperjuangkan mati-matian ideologi yang diyakininya. Kalo soal ideologi ini karna uda mengakar kuat ya pesimis aja sih untuk mengubah haluan cara pandang seseorang. Beda halnya kalo radikalisme atau intoleranisme itu dilatar-belakangi oleh faktor kepentingan. How to solve it ? Ya gak ada solusinya karna percuma.. 

Meski gak ada solusi tapi bukan berarti kita membiarkan.. Okelah orang boleh memiliki suatu pandangan yang sebegitu mengerikannya bagi kemanusiaan dan mustahil untuk dihilangkan akan tetapi kita masih memiliki kesempatan untuk menyelamatkan generasi muda agar tidak jatuh ke lubang hitam yang sama... Jujur aja sih gue sangat prihatin ketika ada sekelompok anak kecil nyanyi lagu "bunuh ahok" yang sempat viral akhir-akhir ini.. Kalo masih kecil mungkin masih bisa diselamatkan tapi kalo uda remaja menjelang dewasa, honestly we have lost another generation. Gue sih gak pengen anak-cucu gue mengalami hal seperti yang gue alami yakni hidup di mana orang saling membenci karna hal-hal yang sebenarnya bersifat kodrati atau gak rasional seperti SARA. Kalau benci karna urusan bisnis, warisan, dan hal-hal lain yang masih bisa dihitung dengan akal sehat ya it's oke meski tetap aja gak baik. Lah ini ? Sampai ada satu titik di mana bokap gue bilang ke anak-anaknya "kalau kalian mampu, kalian tinggal di luar negeri jadi ekspatriat.. Gak ada harapan tinggal di Indonesia.." My reaction ? Wow, saking segitu hopelessnya bokap gue terhadap negara kita dan gue percaya gak cuma bokap gue aja yang memiliki pemikiran sama. Ya siapa tau di "tempat baru" gue bisa membesarkan anak-cucu gue, menjadikan mereka anak-anak yang sehat, pintar, dan masa kecilnya bahagia tanpa perlu menyaksikan atau mengalami suasana kebencian.

Closing Statement

Masih ingat klaim gue bahwa demokrasi kita lebih baik dari pada Amerika Serikat ? (Cek: Untuk Amerika Serikat: Belajarlah Demokrasi dari Indonesia !!) Technically ya kita lebih baik karena kita memiliki sistem one man one vote yang sangat mengakomodir hak pilih kita. Tapi secara karakter, mental, dan sikap, gue harus menarik kata-kata itu. Ketika Amerika Serikat menampilkan sosok Donald Trump yang rasis, sexual abuse, berikut seperangkat ide gila yang membuatnya diserang habis-habisan, begitu pula dengan sosok Hillary Clinton dengan skandalnya, maka Indonesia sesungguhnya memiliki lebih banyak Trump maupun Clinton yakni masyarakatnya.. Harus diakui demokrasi yang segitu luasnya tidak diiringi dengan sikap tindak yang demokratis dari masyarakat sendiri. Mengapa ujaran kebencian, teror, dan ancaman sangat mudah dijumpai saat ini ? Ya itulah wajah dari demokrasi kita di mana negeri ini pasti mengalami krisis kebangsaan setiap kali kita merayakan "demokrasi"...

Tampaknya gue terlalu lelah...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Novena Tiga Salam Maria: Mukjizat Bunda Maria Menyertai Kita !! (Gw saksi hidupnya brow !!)

Panduan Menulis Esai Untuk Mahasiswa Baru

[BEDAH LAGU]: Chrisye - Kisah Kasih di Sekolah (2002)