Masa Depan yang Kepincut Film dan Buku

Mari kita bicara hal yang tidak serius kali ini...

Post ini sebenernya merupakan pengalaman pribadi gw saja dan gw berharap tulisan ini bisa membantu kalian para pembaca khususnya yang masih bersekolah apa pun tingkatannya dalam menentukan masa depan kalian (cie elah) 

Kenapa di tulisan ini ngomongin soal masa depan ? 

Terinspirasi dari acara Quo Vadis SMA Santa Theresia [Silahkan bisa di klik] yang pernah gw urus pada tahun 2015, gw menemukan masalah-masalah klasik yang selalu menghinggapi para pelajar terutama tingkat SMA perihal "mau kemana saya pergi" (Quo Vadis). Sebagai bagian dari panitia yang diharapkan oleh almamater untuk membantu teman-teman/adik-adik dalam menentukan jalan hidupnya, gw akui hal ini sangat sulit dan kami pun kadang kala tidak bisa terlalu banyak diharapkan (hahaha).. Pertama, tingkat kompleksitas masalah entah itu intervensi orang tua, belum mengenal diri sendiri, passion, dan serangkaian masalah lain. Kedua, kami panitia sadar bahwa kami "tidak berhak" mengintervensi kehidupan atau pilihan orang lain. Ibarat kata kami hanya memperlihatkan berbagai pilihan jalan dan terserah si yang bersangkutan mau memilih pergi ke jalan yang mana. Pada akhirnya kami berkesimpulan bahwa "You must find your own solution !" sama seperti apa yang kami alami dahulu. 

Acara Quo Vadis maupun tulisan mengenainya yang pernah gw post di blog ini sekitar bulan September 2015 hanya sekedar memberikan solusi ya yang bisa dibilang formal-pragmatis. Mereka menanyakan "kuliah itu gimana" kita kasih tau berdasarkan pengalaman kita. Mereka curhat ya kita dengar dan kalau gw pribadi memberikan solusi yang sifatnya "normatif-abstrak" karna gw tetap berpegangan pada prinsip/etika kalau kita tidak berhak mengintervensi kehidupan orang lain.

Pada tulisan ini mungkin gw mencoba menceritakan suatu "alternatif" bagi teman-teman yang masih bingung dalam menentukan masa depan entah itu soal pendidikan, karir, atau mungkin "kehidupan rumah tangga" (jauh amet). Solusi alternatif ini kesannya sepele, gak jelas, rada aneh, tapi solusi yang sepele dan bisa kita nikmati dalam kehidupan sehari-hari sebagai hiburan ini nyatanya dapat mempengaruhi kita dalam menentukan masa depan (menjawab "quo vadis ?" - setidaknya itu yang gw alami).... Solusi sepele tersebut adalah....

FILM dan BUKU !

Gimana ceritanya ?

Kepincut Masuk UI

Gw sendiri memiliki keinginan untuk masuk Universitas Indonesia (UI) semenjak kelas 1 SMA tapi ya gambaran itu sekedar kiasan mengingat kecilnya harapan untuk masuk UI (saingannya banyak brow) dan sentimen sosial (dari SD sampai SMA jadi "mayoritas" dan ketika kuliah jatuh menjadi "minoritas"- tau lah maksudnya apa). Keinginan tersebut makin kabur seiring dengan susahnya gw beradaptasi di sekolah baru berikut nilai-nilai mata pelajaran eksak yang hancur-hancuran. Saat itu hanya keinginan untuk "survive" di tahun pertama saja yang ada di kepala ini.

Setelah penjurusan dan menemukan jurusan yang pas gw akhirnya bisa fokus belajar dan keinginan untuk masuk UI itu seperti "nampak" lagi dan malah semakin jelas. Keinginan tersebut makin kuat ketika gw menonton sebuah film yakni... GIE (2005)






Itulah kali pertama gw mendapat gambaran mengenai mahasiswa UI di mana film tersebut mengingatkan kita akan tanggung jawab moral mahasiswa terhadap bangsa dan negara apalagi mahasiswa UI yang menyandang nama negara "Indonesia". Totalitas perjuangan dan amanat penderitaan rakyat (Ampera) yang diemban benar-benar kerasa ketika kita menjadi mahasiswa UI meski cara tiap mahasiswa dalam "memperjuangkan ampera" itu lain-lain (entah itu lewat demo, karya, dsb). Tapi bagi gw, nonton film Gie masih belum cukup mengingat film tersebut murni berbicara mengenai masalah "idealisme mahasiswa". Adegan kehidupan sehari-hari mahasiswa seperti saat belajar di kampus, mencari uang sampingan, atau kehidupan kost kurang ditonjolkan dalam film Gie. Film ini juga kurang menunjukkan tag-line mahasiswa UI yakni Buku, Pesta, dan Cinta. Pada akhirnya gw berusaha menemukan makna dari Buku, Pesta, dan Cinta tersebut dalam buku yang sempat booming di tahun 2012 yakni....  Chairul Tanjung Si Anak Singkon (2012)



Buku ini benar-benar inspiratif ! Kita dapat mengetahui bagaimana perjalanan hidup "si anak singkong" yang gak pernah ganti celana saat kuliah di FKG UI dulu sampai menjadi bos besar dari Trans Media, Carrefour, Bank Mega, dsb. Gw rasa kita bisa menemukan filosofi dari Buku, Pesta, dan Cinta dari buku terbitan Kompas Gramedia ini. Pertama, soal filosofi BUKU berarti merujuk pada pendidikan atau mencari ilmu di mana CT menyadari bahwa ia berasal dari keluarga miskin, orang tuanya mati-matian menyekolahkan anak-anaknya, dan ia tercambuk untuk belajar dengan serius untuk keluar dari jurang kemiskinan. Kedua, soal PESTA, berarti merujuk pada kegembiraan masa muda. CT menceritakan bagaimana ia berkarya selama menjadi mahasiswa entah itu buat proyek kemahaiswaan sampai jadi wirausaha di kampus. Ketiga, soal CINTA di mana CT menemukan kekasih yang menjadi pendamping hidupnya sampai akhir hayatnya nanti. 

Kiranya buku CT inilah yang benar-benar memberikan gambaran mengenai kehidupan kuliah di UI sekaligus memantapkan niat gw untuk kuliah di UI. Baik film GIE maupun buku CT merupakan hal yang mengatasi "kebutaan" gw atas UI.

Dengan tercapainya achievment belajar program S1 di UI plus Sarjana dari UI yang masih on progress, gw rasa I wanna achieve more. Keluarga selalu mengingatkan sugesti akan ketidak-lakuan ijazah S1 di dunia kerja saat ini. Gw sejalan dengan pandangan tersebut dan gak ada salahnya gw ingin melanjutkan S2 di FHUI juga dengan inciran utama gelar M.Kn. atau Magister Kenotariatan. Gile wisuda aja belom tapi ya ini adalah rencana jangka pendek yang moga-moga bisa tercapai paling lama 3-4 tahun lagi dari sekarang..Kenapa notariat ?
  1. Tidak terlepas dari kebingungan gw untuk berprofesi sebagai pengacara atau notaris. Karna masih bingung it's possible for M.Kn graduates to choose both selama belum mengucapkan sumpah advokat atau sumpah notaris.
  2. Ilmu pastinya untuk mendalami pengetahuan dari S1 terutama seputar masalah keperdataan-bisnis-agraria.
  3. Yang paling krusial, I'm still single... Berhubung mayoritas mahasiswa M.Kn. adalah perempuan dan denger-denger cantik... I've got a chance to end this status.. Sangat mungkin dapet "pendamping" yang dewasa, cantik, dan keinginan untuk kuliahnya kuat (Inget Tiara Pangestika) 


Kita lihat paling lama 3-4 tahun dari sekarang :)

Negeri Van Oranje

Sebelum berakhirnya tahun 2016, ada satu film yang akhirnya kesampean untuk gw tonton yakni Rudy Habibie (Habibie-Ainun 2)..

Garis besar ceritanya ya tentang kisah masa muda Presiden RI ke-3 B.J. Habibie yang kuliah di Aachen, Jerman. Kehidupan anak kost, konflik sosial, kisah cinta, dan ambisi untuk memajukan negeri tergambar secara pas di film ini. 




Setelah menonton film ini..... mmmmmmm

" Terima kasih Eyang Habibie, Terima kasih mas Hanung, karena kalian berhasil memincut saya untuk "kepo-in" kuliah di luar negeri..."

Tapi ya ambisi jangan cuma sekedar ambisi karena ia akan menghilang tertelan sang waktu. Jadi pertanyaan 5W + 1H harus muncul dan terjawab..


WHO ?


Saya adalah seorang mahasiswa Fakultas Hukum UI, yang belajar hukum, berlatar belakang pendidikan hukum, akan menjadi sarjana hukum, dan mungkin magister notariat. Berdasarkan track record tersebut 99% kemungkinan saya akan berkutat di dunia profesi hukum mengingat saya tidak mau kuliah saya sia-sia dan ilmu yang saya dapat harus saya terapkan saat berkarir nanti (kuliah itu capek makanya kita perlu mengapresiasi diri sendiri :D )


WHAT + WHY ?


Apa ilmu hukum yang dipelajari sudah cukup ? Kan profesi hukum itu termasuk aman, saingannya dikit.. Gak perlu kan saingan sama orang-orang se-ASEAN atau orang bule.. Toh hukum tiap negara beda-beda.. Ilmu hukum itu bukan seperti ilmu kedokteran atau teknik atau ekonomi yang sifatnya universal berlaku di semua negara. Cukup lah belajar hukum di Indonesia... Pertanyaannya apa iya ?

Gimana kalo ada kontrak dengan orang bule ? Investasi asing ? Ekspor-Impor ? Perkawinan lintas negara ? PMH lintas negara ? Perusahaan multi-nasional ? Pengangkutan ? Free Market ? Peristiwa-peristiwa tersebut memberikan 3 opsi... Bisa jadi potensi untuk kemajuan Indonesia atau justru menjadikan Indonesia di-eksploitasi oleh asing which mean kita lebih banyak ruginya ketimbang untungnya atau terakhir dan yang paling main aman, win win solution. 

Pertanyaan berikutnya, masih yakin ilmu hukum nasional plus prespektif nasional aja cukup untuk menghadapi masalah-masalah tersebut ? Inilah latar belakang yang mungkin bisa gw sampaikan kalau ngelamar beasiswa andaikata motivasi tersebut bukan lagi sekedar wacana. 


WHERE ?


Ini opini pribadi aja dan terinspirasi dari dosen-dosen FHUI + alumni-alumni FHUI... Kalau mau berprespektif internasional ketika kita berhadapan dengan gejala-gejala yang sifatnya internasional ya kita harus menjadi bagian dari internasionalisasi tersebut. Caranya ? Belajar di luar negeri...

Tapi kan sistem hukum di tiap negara berbeda-beda... Ngapain jauh-jauh belajar ke luar negeri ?

Ya berbeda tapi sistem hukum Indonesia sebagian besar diadaptasi dari hukum barat khususnya hukum Belanda (pengecualian untuk hukum adat yang pure Indonesia). Nah makanya gw gak pernah bosen-bosennya bilang ini ke junior-junior gw kalau mau belajar hukum ke luar negeri tapi ilmunya bisa diterapkan di Indonesia ya Belanda-lah pilihannya. Kebanyakan dosen-dosen di FHUI mengambil master atau Ph.D. di Belanda begitu pula para alumni. Belanda adalah tempat yang paling pas untuk belajar hukum dan menemukan prespektif internasional tersebut.. Kalau mau kuliah hukum di AS atau Inggris boleh-boleh aja cuman tradisi maupun sistem hukumnya berbeda jauh dengan Indonesia. Bakal ada kesulitan dalam menerapkan ilmu hukum dari sana untuk Indonesia. 

Di Belanda banyak sekolah hukum yang bagus-bagus. Sebagian besar masuk Top 100 law school versi QS World University Ranking. Memang sih kalah dengan AS dan Inggris di mana sekolah hukum macam Harvard, Oxford, Cambridge, dll ada di Top 3-5, tapi ya kembali gw ingatkan kenapa Belanda karna alasan praktis bukan sekedar gengsi. 

Research yang gw lakukan selama liburan ini memotivasi gw untuk memilih Leiden Univrsity sebagai target utama untuk meraih gelar LL.M. (setara S2/Master) disusul Maastricht University, Erasmus University Rotterdam, University of Groningen, Vrije Universiteit Amsterdam,  dan Utrecht University (Skala Prioritas). Tapi tetap paling mantap Leiden, sisanya yang sekedar back up plan.

Kenapa Leiden University ? Rank 24 versi QS Worl Univeristy Ranking, salah satu universitas terlebih Fakultas Hukum tertua di Eropa, serta banyak melahirkan alumni-alumni yang top dari seluruh dunia termasuk Indonesia (terlebih tokoh hukum-politik dan bapak bangsa). Leiden juga kota yang pas untuk mahasiswa (30% populasinya mahasiswa), gak terlalu ramai dan tata kotanya asri. Pas untuk menimba ilmu. Bandingkan dengan Amsterdam dan Rotterdam yang kesannya "amoral" seiring dengan tingginya tingkat kriminalitas, penghisap ganja, dan kawasan "lampu merah". Kalau Maastricht mungkin gak beda jauh dari Leiden, begitu pula dengan Utrecht. 





Selain kualitas pendidikan, kegunaan praktis, dan lingkungan, ada pula kok beberapa mahasiswa Indonesia yang bisa tembus universitas top di Belanda tersebut selama program studinya kelas internasional (Advanced Master Program) dengan bahasa inggris saat perkuliahannya (jadi gak perlu takut kalau gak bisa bahasa Belanda). Meski sulit dan kecil untuk bisa belajar di Belanda tapi seenggaknya ada peluang atau kemungkinan... Kan ada toh orang Indonesia belajar di Belanda..


WHEN ?


Karna gw mengincar beasiswa (mengingat mahalnya biaya pendidikan dan biaya hidup), jadi gw menggunakan patokan dari LPDP di mana LPDP memberikan beasiswa bagi WNI dengan usia maksimal 35 tahun. Usia 35 tahun gw maknai sebagai usia maksimal gw untuk menimba ilmu dan sebelum berusia 35 tahun ya gw harus memampukan diri untuk belajar lagi entah mau atau tidak mau.

Tapi berdasarkan pengalamn research dan stalking yang gw lakukan terhadap para pengacara dari law firm - law firm ternama di Jakarta, mereka ambil gelar master sekitar 3-5 tahun pasca lulus S1 dan masuk kerja. Intinya dan sebaiknya harus punya pengalaman kerja profesional dahulu mengingat pengalaman kerja dijadikan komponen penilian baik saat melamar ke kampus yang bersangkutan maupun beasiswa (apalagi LPDP). Toh seluruh pengcara-pengacara tersebut berangkat ke Belanda dengan beasiswa (kebanyakan LPDP).


HOW ?


Persiapan serta tes kemampuan bahasa Inggirs (TOEFL, IELTS), pengalaman magang, dan IPK pendidikan sebelumnya bisa dilakukan sekarang. Dalam jangka pendek berikutnya harus memiliki pengalaman kerja atau sekolah lagi tapi di dalam negeri juga gak apa-apa. Dalam jangka panjang harus siap-siap membuat motivation letter, dan berbagai bentuk berkas-berkas yang diminta saat mengapply pendidikan di kampus yang bersangkutan atau melamar beasiswa.

Kenapa gw sangat mengandalkan beasiswa ? 

Rata-rata biaya kuliah master di Belanda itu 15.000 Euro (untuk satu tahun dan studi master di Belanda umumnya satu tahun)... Belum biaya hidup sekitar 1000 Euro / bulannya (x 12). Silahkan dikali Rp. 14.500. Gaji associates law firm di tahun-tahun awalnya gw yakini belum cukup. Sangat mahal mengingat orang tua gw gak akan seproduktif saat ini dan di masa depan gw-lah yang harus produktif dalam mencari uang (Beda banget lah ketimbang pendidikan S1 yang masih dibiayai orang tua),

Beasiswa yang gw prioritaskan untuk di-apply adalah LPDP dan StuNed.. Keduanya sama-sama khusus untuk mahasiswa Indonesia jadi saingannya ya cuma sesama mahasiswa Indonesia (bandingkan dengan beasiswa yang diberikan langsung oleh kampus ybs). Biaya pendidikan sampai biaya hidup ditanggung oleh mereka, terutama LPDP yang kadang dananya bisa kelebihan (sampai-sampai bisa ditabung jadi modal usaha saat pulang ke Indonesia). Both of them memiliki plus-minusnya masing-masing. Kalo LPDP (ditanggung Kemenkeu-Negara) dananya banyak dan gak ada kuota (dapet/enggaknya beasiswa based on your ability) tapi ya untuk mendapatkannya gak mudah karna seleksinya ketat (ada wawancara dengan 3 orang penguji setingkat profesor sampai psikotes - which is my weakness). Kalo StuNed (ditanggung Kedubes Belanda kalo gak salah) memang cara mendapatkannya sekedar seleksi admnistrasi/berkas aja, uang yang ditanggung pun cukup, tapi ya ada kuota (jadi harus bersaing dengan pelamar lain). Kiranya dua beasiswa tersebut merupakan rekomendasi dari gw.  





Ya kembali gw ucapkan selamat kepada Rudy Habibie yang berhasil membuat gw kepincut ambil master di luar negeri dan menghabiskan waktu liburan gw untuk ngekepoin informasi-informasi terkait sembari ngurus masalah permagangan. Rasa kepincut ini gw luapkan dengan menonton sebuah film lain dengan judul.... Negeri Van Oranje




Kalau Rudy Habibie berscene di Jerman maka film ini benar-benar mengambil negeri Belanda sebagai latar dari cerita. Kisah persahabatan antara lima orang sahabat yang masing-masing berkuliah di kota Leiden, Utrecht, Den Haag, Wageningen, dan Rotterdam menjadi cerita utama dalam film ini. Film ini memang pas banget menggambarkan seperti apa negeri Belanda itu dan memang film ini benar-benar komersil.. Disebut komersil karna film ini berhasil menjual keindahan Belanda sebagai destinasi bagi orang Indonesia untuk berwisata kesana. Bangunan-bangungan tua, hamparan kebun tulip, kota pelabuhan, dan kanal-kanal cantik pastinya ngejual.

Namun sayangnya film ini seakan kurang "komersil" dalam memasarkan pendidikan di Belanda. Adegan Negeri Van Oranje yang berfokus pada persahabatan-kisah cinta yang terlahir dari acara "jalan-jalan" para tokoh kurang menampilkan peran para tokoh sebagai "mahasiswa". Kemahasiswaan yang ditonjolkan ya sebatas adegan perpustakaan yang kurang dari 1 menit (numpang lewat) dan wisuda sang pemeran utama di Leiden University. Bandingkan dengan film Rudy Habibie yang lebih komersil dalam menampilkan adegan kuliah dan kampus di mana kita diberi gambaran mengenai bagaimana kuliah di Eropa, seaktif apa kelasnya, bagaimana cara masuknya, sistem pendidikan, dan kehidupan anak kost di sana. Kelima tokoh di film Negeri Van Oranje seakan terlihat seperti mahasiswa Summer School Program ketimbang mahasiswa S2 karna lebih banyak adengan jalan-jalannya ketimbang belajarnya.. Tapi ya tetap saja film ini perlu diapresiasi karna tidak mudah shooting di Belanda dan mendapat scene-scene yang super bagus :) 

Berkaca pada kekurangan film Rudy Habibie maupun Negeri Van Oranje, kenapa kita gak nonton keduanya saja ? 

Penutup

Sederhana saja... 

" Movies Can Open Your Mind and Bring a Whole New Perspectives !"

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Novena Tiga Salam Maria: Mukjizat Bunda Maria Menyertai Kita !! (Gw saksi hidupnya brow !!)

Panduan Menulis Esai Untuk Mahasiswa Baru

[BEDAH LAGU]: Chrisye - Kisah Kasih di Sekolah (2002)