Ketika Tuhan "Kangen" dengan Anaknya...

Guna mengisi kebosanan pada saat libur yang panjang ini, ada suatu hal yang saya coba share ke kalian dan menurut saya hal ini menarik untuk dibagikan kepada publik dan dapat dijadikan refleksi bagi kita semua.

Apa yang akan saya ceritakan ini sebenarnya menyampaikan kembali salah satu refleksi yang pernah di share oleh kakak-kakak pembimbing rekoleksi pada saat di kelas 2 SMA dulu (lupa siapa cuman materinya sangat menarik). Begini kira-kira refleksinya.. (selamat membaca)

Bisa dikatakan ada 2 kondisi kenapa manusia berdoa kepada Tuhan. Satu karena memang kewajiban dari ajaran agama yang dianutnya, kedua karena ada kepentingan. Di antara kedua alasan tersebut, seorang anak manusia benar-benar menghayati apa yang "didoakannya" apabila ia berdoa dikarenakan alasan kepentingan. Ada sebuah kepentingan yang ingin dicapai oleh seseorang sehingga ia mengharapkan Tuhan mau membantunya meraih kepentingan tersebut. Hal ini tentu manusiawi mengingat manusia adalah mahluk yang tidak pernah puas, punya ambisi, dan "ada maunya". Kondisi dimana doa benar-benar diucapkan secara mendalam sampai ke hati tentu berbeda apabila seseorang berdoa atas dasar kewajiban. Tentu kita sering gelisah, tidak tenang, dan cenderung terburu-buru ingin menyelesaikan suatu doa atau ibadah yang sifatnya wajib. 

Doa dapat dipahami sebagai salah satu sarana berkomunikasi atau berinteraksi dengan Tuhan, demikianlah pandangan yang diterima secara umum oleh masyarakat apapun agamanya. Semakin sering kita berdoa semakin kita sering pula berinteraksi dengan Tuhan, begitu pula sebaliknya. 

Namun sifat "manusiawi" kita yang berdoa kalau ada "kepentingan" semakin menunjukan kalau kita hanya datang ke Tuhan kalau ada maunya saja. "Tuhan, saya gak pinter matematika sedangkan besok ujian, tolong bantu saya belajar dan ujian supaya saya tidak ngulang" atau "Tuhan, belakangan ini pacar saya sebel sama saya. Jagalah hubungan kami supaya tidak terjadi hal-hal yang saya tidak harapkan." atau "Tuhan belakngan ini ekonomi sulit, harga bahan baku naik dan bisnis yang saya kelola tidak menentuk. Tolong bisnis saya agar tidak merugi dan kalau bisa mendapat laba pada kondisi seperti ini." 

Pertanyaannya ialah, apakah ketika Tuhan "meluluskan" ujian matematika-mu, atau "menjaga" hubungan-mu langgeng, atau "mempertahankan" bisnis-mu, pernahkah atau sempatkah kita bersyukur atas kebaikannya ? Mengingat kita adalah manusia, kita cenderung tidak bersyukur. Buat apa bersyukur kalau apa yang kita inginkan sudah tercapai ? Kenyataannya kita malah mengharapkan yang lebih tinggi dari apa yang Tuhan telah berikan kepada kita. 

Konsekuensi dari sikap ini apa ? Tuhan pun jadi "baper" dan kepada kita. Tuhan sendiri dilanda dilema. Ia sudah baik tapi tetap aja kita cuekin atau bahasa kerennya dan realisnya adalah "jadi temen kalo ada perlunya doang" seperti yang marak dijumpai di lingkungan sekolah, kampus, dan kerja dewasa ini. 

Kalau Tuhan uda baper dan kangen berat sama kita, Tuhan pun jadi "iseng" kepada kita.. Apa yang kita harapkan kepada dia, bisa saja dia jadikan obat pelepas kangen. 

"Kalau kamu saya luluskan ujian matematika, nanti kamu tidak akan berdoa dan mengucapkan syukur atas kelulusanmu ke saya. Okelah kalau gitu saya akan buat nilai matematika kamu hancur dan terus ngulang supaya kamu tetap ngobrol dan berdoa ke saya minta nilai ujian yang bagus." 

"Hal yang sama juga akan saya lakukan ke kamu yang meminta hubunganmu langgeng dengan pacarmu. Oke saya akan buat pacar kamu makin sebel sama kamu dan akhirnya dia minta putus sama kamu. Dengan demikian kamu akan semakin galau dan makin susah move-on supaya kamu mau curhat sama saya dan kita punya waktu bersama."

"Begitu juga dengan kamu yang meminta kelancaran bisnis. Saya akan sulitkan kondisi perekonomian, saya akan buat harga bahan baku susah ditekan, sehingga bisnis-mu terhambat dan kamu akan tetap mengadakan rapat perusahaan dengan saya di waktu doamu."

Demikian yang Tuhan ungkapkan ketika di iseng kepada kita..

Sampai di situ dulu refleksi yang saya coba sampaikan kembali semenjak terakhir saya dengar tiga tahun yang lalu. Terdapat tiga pelajaran utama dari refleksi tersebut.

1. Mintalah PROSES, bukan HASIL !

Manusiawi memang kalau kita berdoa untuk mengharapkan hasil atau terkabulnya suatu keinginan. Pemikiran kita yang serba instan sebenarnya menunjukan betapa manusiawinya kita dimana pada prinsipnya manusia selalu mengharapkan hasil yang sebesar-besarnya dengan perngorbanan yang sekecil-kecilnya. Namun di satu sisi kita dituntut untuk berpikir rasional di tengah peradaban yang instan ini dimana tidak ada hasil tanpa suatu proses yang harus dilalui atau bahasa kerennya "No Victory Without Sacrifice !".

Tuhan sendiri akan merestui apa yang keinginan kita apabila ada proses dalam mencapainya dan proses tersebut tentu berkenan padanya. Kalau mau nilai ujian bagus, tentu prosesnya belajar dengan keras. Kalau mau usaha sukses, tentu harus bekerja dengan giat, dsb. Tentu proses tersebut haruslah "halal". Memang untuk mencapai kesuksesan harus ada kerja keras, tetapi kalau kerjanya seperti berjualan narkotika buat apa ?

Pada intinya, lebih baik kita memohon kelancaran akan berjalannya suatu proses dan memohon pula agar proses tersebut berkenan di mata Tuhan. Mohonlah kepada Tuhan untuk melancarkan kegiatan belajar maupun berjualan demi mencapai hasil ujian yang baik dan kesuksesan usaha, dst.

2. Jangan EGOIS !

"Aku, Aku, dan Aku !" demikianlah yang selalu kita harapkan pada Tuhan. Kita hanya memikirkan kepentingan diri kita sendiri dan lupa kalau kita hidup di tengah-tengah orang lain. Lebih parahnya lagi kita pernah mengharapkan orang lain jatuh demi tercapainya keinginan pribadi. 

Tentu Tuhan prihatin dengan sikap ini, terlebih lagi sampai menjatuhkan orang lain yang pastinya tidak direstui oleh Tuhan sendiri.

Perilaku ala preman yang gemar memalak orang sangat tidak relevan dalam setiap doa yang kita ucapkan. Jika dalam doa kita adalah seorang preman, maka yang menjadi korban palakan kita tidak lain dan tidak bukan adalah Tuhan itu sendiri.

Pertanyaannya adalah, apakah Tuhan pantas kita palak ?

3. Syukur

Katakanlah jika Tuhan mengabulkan apa yang kita minta kepadanya, lalu dan tentunya kita bahagia atas apa yang Tuhan berikan kepada kita. Selanjutnya apa ?

Sebagai manusia kerap kali kita larut dalam euforia kebahagian tersebut. Rasa bahagia membuat kita buta terhadap suatu "sebab" atau "alasan" mengapa kita memperoleh kebahagiaan tersebut. "Sebab" atau "alasan tersebut adalah Tuhan sendiri sebagai yang "Maha Pemberi" dan "Maha Pemurah". Ibarat kata habis manis sepah dibuang, demikianlah kita memperlakukan Tuhan yang sebenarnya sangat bermurah hati pada kita. Euforia membuat kita lupa bersyukur atas kemurah-hatian Tuhan yang mau mendengarkan "curhatan" anaknya.

Akibat kebutaan ini tentu saja seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, Tuhan pun jadi baper. Sikap murah hatinya ia pendam dan sikap isengnya muncul. Tuhan akan terus "iseng" dengan tidak menggubris permohonan kita sampai kita belajar dan sadar akan kebutaan kita.

Demikianlah refleksi kali ini. Sebagai penutup saya ingin menyampaikan bahwa disamping "kemanusiawian" kita, tempat bagi Tuhan tetap harus kita sediakan dalam keseharian kita. Kita pun dituntut mampu mengharmoniskan sifat manusiawi kita dengan Tuhan,

Selamat beraktivitas :) 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Novena Tiga Salam Maria: Mukjizat Bunda Maria Menyertai Kita !! (Gw saksi hidupnya brow !!)

Panduan Menulis Esai Untuk Mahasiswa Baru

[BEDAH LAGU]: Chrisye - Kisah Kasih di Sekolah (2002)