Belajar dari Jenderal Soedirman

Tulisan ini kupersembahkan untuk seluruh masyarakat Indonesia

Khususnya untuk:

1. Generasi muda dan orang-orang yang dimabuk hedonisme dan egoisme.
2. Penentang Pancasila dan UUD 1945, Kaum "agamis" garis keras nan radikal,
3. Kaum-kaum yang mengutamakan kepentingan kelompok di atas kepentingan bangsa dan negara.
4. Koruptor dan mafia, baik dari level mafia proyek sampai mafia absen di sekolah / kampus.
5. Orang-orang Indonesia yang memuja negara lain atas dasar pesimisme terhadap negeri sendiri.

Sebuah Lagu Penyentuh Hati

Jenderal Soedirman

Ciptaan : Alm. Franky Sahilatua
Dibawakan oleh: Deiril Masril ft Iwang Noorsaid


Dalam sakit di atas tandu
Tidur di gubuk, gubuk kecil
Gerilya dengan, bara di hati
Susuri desa dan kota-kota

Kelompok kecil, atur rencana
Lawan penjajah dan penindasan
Semangat juang, ia tirukan
Terdengar hingga seluruh negeri

Tentara, jiwa sudirman
Tentara, hati sudirman
Tentara, sikap sudirman

Dalam sakit... tetap berjuang


Sumber: Channel "bogemmentah" (youtube)
Dinyanyikan pada acara Mata Najwa "Belajar dari Jenderal Soedirman"

Demikianlah lagu "Jenderal Soedirman" karya alm. Franky Sahilatua. Lagu sederhana namun menggambarkan seluruh kisah perjuangan Jenderal Soedirman dalam memimpin gerilya ketika menghadapi Belanda pada agresi militer yang kedua.

Lagu ini pertama kali saya dengar ketika menyaksikan acara Mata Najwa dan kembali saya dengar untuk yang kedua kalinya pada akhir film "Jenderal Soedirman" karya sutradara Viva Westi. Lagu di akhir film tersebut seakan merangkum seluruh adegan-adegan film yang dimainkan secara luar biasa oleh Adipati Dolken selaku pemeran Jenderal Soedirman. 

Lagu diatas mengawali tulisan saya kali ini yang judulnya sama persis seperti episode yang dibawakan acara Mata Najwa tersebut.

Mengapa Soedirman ?

Keberadaan film-film sejarah yang mengisahkan perjuangan para pahlawan dalam meraih maupun memperjuangkan kemerdekaan merupakan suatu hal yang patut diapresiasi. Keberadaan film-film tersebut seakan menjadi sebuah oasis di tengah-tengah film-film nasional yang bergenre horor maupun drama. 

Satu hal yang spesial dari film sejarah (dan alasan saya menyuakai film sejerah) ialah pembuatannya yang benar-benar dikerjakan secara serius. Tuntutan ini tentu tidak terlepas dari sebuah kenyataan bahwa film sejarah harus based on the real fact. Penelitian sejarah sampai pendalaman karakter pun benar-benar dilakukan (Termasuk dalam film Jenderal Soedirman dimana dalam produksinya kru harus menelusuri kembali rute gerilya Soedirman dan Adipati Dolken harus mengikuti pelatihan "militer" selama delapan hari). Properti yang digunakan pun bukanlah sembarangan (Coba tonton trilogi merah putih. Perhatikan properti mulai dari senjata, kendaraan, sampai efek ledakan). Efeknya kalau menyimpang dari fakta pun mengundang resiko yang besar. Kontroversi film Soekarno sampai Soegija pernah saya perhatikan karena kedua film tersebut dinilai menyimpang dari sejarah yang ada. Kontroversi tidak hanya sebatas pada kedua film tersebut. Masih ada diingatan ini mengenai film Pengkhianatan G 30S-PKI yang kontroversial dan tentu kontroversi film sejarah-propaganda orde baru tersebut berlaku abadi. 

Kondisi ini berbanding terbalik dengan film horor atau drama yang dibuat secara receh, dibuat dengan modal seminim mungkin demi mendapat "balik modal" yang besar (tapi apresiasi tetap saya berikan karena masih ada film-film genre horor dan drama yang digarap secara serius). Tetapi hati ini miris melihat kecenderungan masyarakat yang lebih menggemari film "receh" ketimbang film-film sejarah yang digarap secara serius dan memiliki nilai-nilai nasionalisme. 

Sebagai orang yang "baru" dalam menggemari film sejarah, saya sudah menyaksikan film "sejadul" Janur Kuning (1979) dan Nagabonar (1987) sampai yang terbaru Soekarno (2013). Saya juga pernah menyaksikan film sejarah se-fiksi Tri-logi Merah Putih (2009) dan setengah fiksi seperti Soegija (2012). Masih ada film lain seperti Guru Bangsa: Tjokroaminoto (2015), Sang Pencerah (2010), dan Sang Kiai (2013) yang belum sempat ditonton dan mengundang rasa penasaranku untuk melihat sejarah perjuangan bangsa dalam prespektif agama islam (Sekali lagi, prespektif agama islam dan tentunya islam yang nasionalis bukan radikal).

Diantara film-film sejarah yang pernah saya tonton, Jenderal Soedirman merupakan film yang istimewa dan lain dari pada yang lain bagi saya. 

Seorang Soedirman yang ditampilkan bukanlah seorang tentara yang kuat dan petarung handal sebagaimana trilogi merah putih menggambarkan sosok TNI dalam diri Amir, Dayan, Marius, dan Thomas. Soedirman juga bukanlah seorang pemikir seperti Soekarno maupun Tjokro. Soedirman juga bukanlah orang yang relegiusnya setingkat dengan Soegija, KH Hasyim Asyari (dalam Sang Kiai), maupun Ahmad Dahlan  (dalam Sang Pencerah). 

Soedirman digambarkan sebagai seseorang yang "sakit-sakitan" (terkena TBC dan hanya memiliki satu paru-paru), lemah, dan hidup serba kekurangan. Tetapi kondisi inilah yang menjadikan ia istimewa manakala ia memutuskan untuk berjuang, bergerilya, masuk hutan, naik-turun gunung, dan menumpang di gubuk-gubuk reot milik rakyat kecil. Kondisi serba kekurangan inilah yang menjadi latar belakang alm. Franky Sahilatua dalam menciptakan lagu Jenderal Soedirman. Di dalam acara Mata Najwa, Viva Westi menceritakan bahwa alm. Franky (ketika itu sedang sakit) terinspirasi dengan seorang sosok yang sakit-sakitan tetapi berjuang demi kemerdekaan negara dan lebih mencintai negara ini ketimbang dirinya sendiri. Sosok itu ialah Soedirman sendiri ! 

Apa yang diajarkan Soedirman ?



Trailer film Jenderal Soedirman. Sumber: Channel kvlt magz

(Dalam membahas bab ini, saya mengacu pada film Jenderal Soedirman dan acara Mata Najwa)

1. Kamu Tentara, Tugas Kamu di Medan Perang !

Terdapat sosok Tan Malaka dalam trailer dimana seorang Tan Malaka yang berhaluan "komunis" mengajak Soedirman untuk bekerja sama dalam "meng-kudeta" pemerintahan Soekarno-Hatta dan perundingan Linggarjati dan Renville menjadi alasannya. Penggambaran sosok Tan Malaka yang sebagai tokoh "berdarah dingin" (seperti Muso maupun Aidit) mengundang kontroversi mengingat Tan Malaka diberikan gelar pahlawan kemerdekaan nasional oleh Soekarno sendiri (berbeda dengan Muso maupun Aidit). Apa jawab Soedirman ? "Saya tentara dan tentara setia pada pemerintah" (kira-kira begitu). Upaya Tan Malaka gagal.

Adegan lain yang diperlihatkan ialah saat Belanda menyerang Jogja dan Soedriman mengajak Soekarno untuk bergerilya bersama. Soekarno mengungkapkan bahwa sidang kabinet memutuskan agar Soekarno tetap tinggal di Jogja (dengan resiko ditangkap dan faktanya Soekarno dan petinggi Republik lainnya ditangkap). Soekarno juga meminta Soedirman untuk tetap tinggal di Jogja dan ia menjanjikan Soedirman mendapatkan perawatan dari dokter Belanda. Sebelumnya, Soedirman menegaskan bahwa ia akan patuh pada pemerintah. Namun ketika tindakan pemerintah (dalam hal ini Soekarno) dirasa "membahayakan" bagi negara (menyerahkan diri pada Belanda - perintah Soekarno sendiri kepada Soedirman), Soedirman memutuskan untuk menolak instruksi pemerintah dan memilih bergerilya ke hutan demi negara. Mungkin selengkapnya dan agar lebih memahami makna penting dari adegan ini, bisa disaksikan:



Sumber: Channel Mata Najwa


Pelajaran pertama yang dapat kita tarik: Loyalitas bagi negara ! 

2. Kalau kalian mau pulang ke rumah, pulanglah. Saya akan tetap disini..



Sumber: https://timuran151.files.wordpress.com/2011/08/jendral-sudirman4.jpg



Gerilya sang jenderal bersama kelompok kecilnya merupakan adegan utama dalam film Jenderal Soedirman. Pada adegan inilah penonton diajak merasakan perjuangan Soedirman yang harus naik-turun gunung, keluar-masuk hutan, sampai tidur di gubuk demi menggalang kekuatan TNI dalam persiapan menjelang serangan umum  ke kota Jogja dan menghindari kejaran tentara Belanda pimpinan Jenderal Spoor. Gerilya yang dilakukan bukanlah gerilya sembarangan tetapi gerilya dijalani Soedirman dalam kondisi sakit, ditandu, dan minim amunisi serta perbekalan. 

Meski sakit-sakitan, Soedirman dan pasukannya bagaikan belut. Begitu licin dan sulit ditangkap oleh Belanda. Tentara Belanda boleh memiliki amunisi yang banyak, senjata canggih, kendaraan bermotor, sampai pesawat tempur P-51 Mustang yang merupakan pesawat tempur tercanggih jaman itu. Prajurit Belanda yang memburu mereka pun bukanlah prajurit sembarangan tetapi Korps Speciale Troepen (KST). KST dikenal sebagai prajurit elit dan yang terbaik diantara prajurit-prajurit Belanda yang berusaha menduduki kembali Indonesia. KST juga dikenal sebagai korps yang melahirkan penembak jitu (sniper) yang banyak memakan korban di pihak Indonesia dan prajurit ini juga terkenal akan kekejaman perang terutama terhadap warga sipil. Pembantaian Westerling di Sulawesi merupakan "produk" dari kekejaman KST. KST yang terkenal dengan baret merah inilah yang menginspirasi petinggi-petinggi TNI (terutama "veteran" perang kemerderkaan) dalam mendirikan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) dan menjadikannya tentara elit terbaik ketiga di dunia. Dalam gerilya Soedirman, KST dibuat "linglung" oleh prajurit Soedirman yang licin. Prajurit terbaik Belanda tidak mampu menangkap orang sakit dan berita ini sampai membuat seorang Jenderal Spoor depresi berat.  Sulit sekali menangkap orang sakit-sakitan ! demikian ucap Spoor.


Korps Speciale Troopen, prajurit elit Belanda
Sumber: http://images.memorix.nl/nda/thumb/620x620/be8a8acd-88da-4f72-0afc-8c6828ee771d.jpg


P-51 Mustang
Sumber: https://museumofaviation.files.wordpress.com/2010/11/0612005_1.jpg



Bukan perkara mudah bagi Soedirman dan pasukan kecilnya dalam main "kucing-kucingan" dengan Belanda. Medan yang berat, amunisi minim, perbekalan yang seadanya, sampai ancaman pengkhianatan merupakan resiko yang harus mereka tanggung. 

Ada suatu adegan yang menarik ketika Soedirman melihat kondisi prajuritnya yang serba kekurangan dan moral tempur mereka yang diujung tanduk. Soedirman mengatakan kepada prajuritnya demikian (kira-kira): "Kalau kalian sudah tidak kuat bergerilya (melihat kondisi yang kekurangan dan dikejar-kejar Belanda), kalian boleh pulang ke rumah, kampung, atau keluarga kalian. Saya tidak memasak kalian ikut bertempur bersama saya, tetapi saya akan tetap disini (bergerilya)"

Melihat tekad Soedirman yang begitu kuat padahal dirinya sendiri sedang sakit-sakitan, menyadarkan prajuritnya yang hampir putus asa. "Jenderal yang sakit-sakitan saja masih ingin bergerilya, kenapa kita mau menyerah ?" begitulah kira-kira yang dipikirkan prajurit Soedirman dan mereka memutuskan tinggal bersama sang jenderal. 

Kalau kalian menyaksikan adegan ini berikut gerilyanya, kalian akan mengetahui betapa sulitnya para pahlawan (diwakilkan Soedirman) dalam memberikan kita kemerdekaan. 

No words can't describe

3. Ayo Foto Saya dengan Dimas !

Tibalah pada akhir film (ini bukan spoiler karena ini fakta sejarah yang difilmkan) dimana Soekarno yang ditangkap kembali ke Jogjakarta. Soedirman pun dijemput dari gerilyanya dan menghadap Soekarno.

Ketika menghadap Soekarno, Soedirman pun "menyerahkan" kembali kekuasaan militer yang ia pegang selama agresi militer Belanda kepada Soekarno selaku "penguasa sipil" (Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi angkatan bersenjata). Penyerahan ini ditandai dengan foto bersejarah yang menutup "perang mempertahankan kemerdekaan"


Sumber: http://citizenimages.kompas.com/blog/view/119054

Pelukan pertama dirasa "kurang dramatis" oleh Soekarno sehingga ia meminta di foto ulang dalam memeluk Soedirman. "Ayo foto saya dengan dimas !" demikian permintaan Soekarno pada fotografernya. Foto ini memiliki makna dimana hubungan militer dengan sipil yang sempat memanas ketika Soekarno "menyerahkan" dirinya pada Belanda (ingat ketika sidang kabinet memutuskan Soekarno ditangkap. Ingat juga ketika Soekarno menolak ajakan Soedirman untuk bergerilya dan meminta Soedirman untuk ditangkap dan dirawat Belanda), kembali "adem" setelah Soedirman pulan bergerilya (meski Soedirman masih marah saat itu). Foto ini juga menunjukan kepada dunia internasional bahwa tidak ada perpecahan antara sipil dan militer atau kudeta militer pada sipil.

Momen inilah yang saya maknai sebagai sikap "legowo" yang ditunjukan oleh founding father dari pihak sipil (Soekarno) maupun militer (Soedirman). Perseteruan di masa lalu dikesampingkan dengan kebutuhan negara yakni persatuan antara sipil dan militer. Sikap inilah yang diajarkan oleh kedua tokoh bangsa ini dan sepatutnya ditiru oleh kita yang hidup pada masa sekarang. 

Tidak-kah Hatimu Tersentuh ?


Rute gerilya Jenderal Soedirman.
Pertanyaannya: "Kalian sanggup ?"
Sumber: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgfT2XXmSGJVnMFeXQleZ_RkMx8CZBHW4v88pIh0I8T1dliMLOmV_Z963aM0yf2tqh6rBNLihNRxHNpKNB5CK-5ycEyHBcGkl8xHNpsiMEYcU79LAREtOpBJkh-k8o9Ts0GipcL0VsrjXo/s1600/peta+gerilya+soedirman.jpg


Sosok jenderal yang kurus, miskin, dan penyakitan merupakan keistimewaan, tetapi lebih mencintai negaranya ketimbang dirinya sendiri merupakan keistimewaan yang dimiliki film Jenderal Soedirman. Keistimewaan ini pernah saya rasakan ketika menonton film Soekarno dimana beliau merumuskan lima "point" dasar negara (dikenal sebagai Pancasila) ketika sidang BPUPKI. Keistimewaan juga pernah saya rasakan ketika Soegijapranata mengajarkan apa itu sebuah toleransi.

Tetapi perjuangan Soedriman memberikan bekas yang lebih menancap ketimbang pidato Bung Karno maupun quotes seorang Soegijapranata. Soedirman bukanlah orang yang hanya bisa bicara tentang apa itu arti sebuah kemerdekaan, kebangsaan, maupun perjuangan, tetapi ia adalah seseorang yang langsung mempraktekan nilai-nilai tersebut. Tentu mayoritas orang lebih mampu memahami suatu tindakan/praktek ketimbang teori. 

Pada awal tulisan ini, saya sempat menyebutkan kepada siapa sajakah tulisan ini dibuat dan khususnya dibuat.

Kepada masyarakat, jelaslah kita perlu meneruskan perjuangan Soedirman dalam kehidupan kita sehari-hari maupun bidang pekerjaan kita masing-masing. Pesan Soedirman pun amatlah luas dan dapat ditangkap dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Lain halnya dengan mereka yang masih terbelenggu egoisme.

Mengapa egoisme saya tempatkan di awal persembahan "khusus" ? Karena egoisme merupakan akar dari berbagai masalah sosial yang diderita oleh manusia-manusia Indonesia ! Jelaslah egoisme melahirkan kepentingan-kepentingan pribadi. Egoisme melahirkan korupsi. Egoisme melahirkan kebanggaan semu. Egoisme juga melahirkan radikalisme, dan sebagainya. 

Pernah saya iseng-iseng bertanya kepada teman-teman saya sewaktu SMA. "Kalau lu diberi dua pilihan, mati untuk negara atau mati untuk cinta (pacar/kekasih), lu pilih yang mana ?". Jawabannya, singkat, pasti, padat, dan jelas, Cinta ! Sebenarnya tidak salah juga pilihan yang diutarakan oleh kawan-kawan saya, mengingat pilihan tersebut di latar belakangi suatu kondisi dimana mereka (mungkin kami lebih tepatnya) tidak merasakan kehadiran "negara" dalam diri kami. Kawan-kawan SMA saya dan saya sendiri sebagi golongan minoritas (terlebih double minority, etnis minoritas dan penganut agama minoritas) merupakan orang-orang yang bisa dibilang paling merasakan ketidak hadiran negara terutama dalam hal keamanan dan perlindungan hukum. Masih jelas dalam ingatan sebagian orang-orang tua golongan kami yang pada tahun 1965-1966 kocar-kacir takut dituduh komunis (sampai mengubah "tiga nama" menjadi nama Jawa-Melayu). Masalah dalam hal kewarganegaraan yang berujung pada pelayanan administrasi juga pernah menghantui generasi tua golongan kami. Puncaknya pada tahun 1998 dimana kami "dikambing hitamkan" sebagai biang kerok krisis moneter. Saya masih ingat cerita orang tua saya dimana mereka menjemur sajadah di depan rumah dan "berpura-pura" menjadi "pribumi muslim" guna menghindari amuk massa. Maka wajarlah ketika kami kamu muda merasa "buat apa" memberikan sesuatu untuk negara, toh negara tidak bisa memberikan sesuatu kepada kami. Saya pun sempat berpikir demikian terutama saat isu-isu "sensitif" ini kembali muncul ke permukaan. 

Pandangan itu mulai berubah manakala saya kuliah di FHUI, suatu kampus yang multikultural (benar-benar representasi Indonesia) dan memakai nama negara. Pernah pada saat mengikuti kelas Ilmu Negara (semester 1), Bpk Ari Wahyudi Hertanto S.H., M.H. selaku pengajar, pernah bertanya kepada kami. "Apakah kalian merasakan kehadiran negara di dekat kalian ?" Pertanyaan ini tidak terlepas dari pandangan sempit kami bahwa negara sebatas Istana Negara, Gedung MPR/DPR, dan kantor-kanto kementerian di pusat ibu kota. Sejenak kelas hening dan tidak ada satu pun mahasiswa yang berani menjawab pertanyaan bang didit (demikian beliau disapa). Bang Didit pun akhirnya berkata: "Ingat, anda kuliah dimana ? Ada nama negara disitu ! Lihat jaket kuning yang anda punya ? Ada nama negara disitu ! Lihat bank tempat anda membayar uang kuliah ? Ada nama negara juga !". Bisa disimpulkan kalau negara sebenarnya sudah hadir dalam setiap kehidupan kita, tetapi jangkauannya saya akui kurang luas. Apakah dengan menimba pendidikan di suatu universitas yang menggunakan nama negara sudah menjamin kalau negara juga hadir pada saat kita butuh keamanan ? Belum tentu ! Bagaimana cara kita menjamin kehadiran negara ? Kontribusilah jawabannya..

Seorang J.F. Kennedy pernah berkata: "Jangana tanya apa yang negara berikan kepadamu, tetapi tanyalah apa yang kamu bisa berikan kepada negaramu". 


Kalau mau angka pengangguran turun, bantulah negara dengan cara menjadi wirausahawan dan membuka lapangan kerja, bukannya menjadi pencari kerja yang menambah angka pengangguran. Kalau mau jalanan tidak macet, gunakanlah transportasi publik yang sudah diusahakan oleh negara, bukannya menggunakan kendaraan pribadi yang notabene menambah kemacetan. Kalau mau bebas banjir, bantulah negara dengan cara menjaga kebersihan sungai dan tahu diri kalau bantaran sungai bukanlah tempat yang ideal untuk mendirikan rumah. Kalau mau rasa aman, jagalah relasi dan perkuat tali silaturahmu dengan sesama, bukannya mengobarkan rasa benci atas dasar perbedaan. Soedirman pernah mengalami suatu kondisi dimana negara (terutama pemerintah) meninggalkan dirinya. Ibaratnya ia adalah satu-satunya orang yang masih melawan penindasan di tanah Jawa manakala pemerintah memutuskan untuk "menyerah". Soedirman memang tidak seberuntung kita dimana negara masih hadir dalam kehidupan kita meski kurang maksimal, tetapi kontribusi yang ia berikan pada negara (meski ditinggal negara)  menunjukan bahwa negara masih hadir dalam memperjuangkan penderitaan rakyat kala itu. Dengan kontribusi, kamu membantu negara hadir dalam menjamah rakyat. Jangan malu juga menunjukan kontribusi dengan alasan riya. Toh dengan menunjukan kontribusi, kita sudah menjadi "cahaya" yang menginspirasi orang lain untuk memberikan kontribusinya kepada negara walaupun kecil. 

Pengalaman berkutat dengan egoisme yang saya ceritakan barulah egoisme dalam skala mikro dan pasti ada dalam kehidupan sehari-hari dan dilakukan oleh saya, anda, dan kalian semua (karena kita manusia dan egois itu manusiawi). Tapi jika sikap ini dibiarkan, masalah yang mikro lingkupnya dapat berubah menjadi makro dan hal seperti ini terlihat jelas dalam "dagelan" politik di gedung hijau senayan. Lihat saja bagaimana fraksi-fraksi partai politik saling sengkat-menyengkat dalam memperjuangkan kepentingan kelompok masing-masing ketimbang kepentingan rakyat. Masih ingat ketika Soedirman menolak ajakan Tan Malaka untuk menentang pemerintah ? Begitulah seharusnya seorang politisi menolak kepentingan kelompok dan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. Tapi, kita perlu menyadari bahwa kepentingan kelompok tersebut terkadang "dibalut" dengan kedok kepentingan bangsa dan negara. Disinilah sikap kritis kita diperlukan, bukannya asal memakan "mentah-mentah" dan memperjuangkan kepentingan itu. 

Masih berbicara soal kepentingan, kita dituntut untuk selalu ingat bahwa kasus-kasus korupsi yang tidak pernah habis di negeri kita merupakan produk dari suatu kepentingan pribadi. Sulit sekali rasanya memutus "lingkaran setan" dimana egoisme melahirkan kepentingan pribadi dan kepentingan pribadi melahirkan perilaku korup. Seperti yang sudah saya sebutkan di awal, korupsi tidak melulu soal proyek di tingkat pemerintahan maupun konglomerat, tetapi korupsi juga lahir dari perilaku sehari-hari yang malah terkesan sepele. 

Seorang senior di kampus pernah menulis di timeline jejaring sosial line miliknya yang bunyinya demikian: "Jangan teriak-teriak lawan korupsi di jalan, tapi masih titip absen kalo di kelas !". Pernyataannya menunjukan suatu ironi yang dapat dijumpai sehari-hari di kampus perjuangan UI. Absensi merupakan salah satu komponen penilaian sehingga praktek titip absen pun tidak terhindarkan (terlebih dengan sikap dosen yang kerap kali tak acuh dengan perkembangan mahasiswanya). Mafia absen uda ada, mafia ujian apalagi (silahkan tafsir sendiri apa itu mafia ujian). Pantaslah dahulu waktu saya SMA, sekolah membuat suatu "hukum" bahwa barangsiapa yang mencontek baik saat ulangan harian, ujian tengah semester, ujian akhir semester, ujian sekolah, dan ujian nasional, "dipidana" dengan hukuman minimal dan maksimal, dikeluarkan dari sekolah. Korupsi memang harus dicegah dan ditumpas semenjak dini kalau mau negara ini terus eksis.

Masih ingat perjuangan Soedirman yang bergerilya padahal dirinya sakit-sakitan ? Perjuangan itu ia lakukan supaya negeri ini bebas dari penindasan dan anak-cucunya kelak tidak merasakan penderitaan seperti yang pernah generasinya rasakan. Perilaku korup jelas-jelas memupuskan impian Soedirman. Toh sekarang, "anak-anaknya" saling tusuk-menusuk, saling menyingkirkan, dan membuat sesamanya menderita dikarenakan korupsi.

Setelah membahas soal egoisme, kepentingan ,korupsi, masih ada satu hal yang isunya sedang panas baru-baru ini (sebenarnya isu lama, dibiarkan dan tidak tercegah, dan ketika "meledak" baru diambil tindakan), yakni radikalisme dan terorisme.

Teror bom Thamrin pada tanggal 14 Januari 2016, terjadi di kawasan Sarinah. Ironisnya, "Soedirman" yang berdiri gagah di jalan protokol semberi memberi hormat "dipaksa" menyaksikan tindakan keji yang dibuat "atas nama" agama tersebut. Kalau sering menyaksikan media massa, sudah jelas, kelompok Islamic State atau ISIS menyatakan BERTANGGUNG JAWAB atas serangan tersebut dan Bahrun Naim sebagai dalangnya. Oh ya, berbicara soal teror Thamrin, saya sangat menentang mereka-mereka yang mengatakan kalau serangan tersebut sebagai skenario. Entah apapun bentuk konspirasinya, entah membenarkan atau tidak membenarkan serangan tersebut, saya "masa bodoh". Tapi yang harus diingat ialah serangan tersebut memakan korban jiwa baik sipil maupun aparat dan ISIS menyatakan bertanggung jawab atas serangan tersebut. Mungkin mereka yang mengatakan serangan tersebut skenario, "tidak merasakan" bagaimana rasanya kehilangan orang-orang tercinta sebagai akibat dari "skenario" tersebut. Masih mau bilang skenario ? Ada korban tewas disana bung !


Patung Jenderal Soedirman, menghadap langsung ke Jalan M.H. Thamrin
tempat ia "menyaksikan" peristiwa teror berdarah pemecah negara
Sumber: http://www.jpnn.com/picture/normal/20150717_104839/104839_861833_jakarta_sepi_2.jpg


Dengan hadirnya kisah Jenderal Soedirman yang difilmkan, saya sangat berharap para "penjual" agama, pendukung Negara Khilafah Indonesia, pendukung ISIS, dan mereka-mereka yang ingin menentang Pancasila dan UUD 45 dengan alasan nasionalisme tidak ada dalilnya, haram hormat bendera merah-putih, Pancasila thogut, dsb untuk menonton film ini. Saksikanlah orang penyakitan matian-matian memperjuangkan negara ini. Sekali lagi, orang yang sakit-sakitan memperjuangkan supaya kalian-kalian bisa hidup sebagai orang merdeka nan bebas. Sungguh tidak pantas kalau kalian menghancurkan impian yang ia perjuangkan meski sakit keras. Toh impiannya bukan untuk dirinya sendiri tetapi negara ini dan seluruh rakyatnya.

Apakah agama islam yang dibawa kelompok ISIS mendukung kekerasan dan pembunuhan ? (Sebelumnya, sebagai seorang non-muslim, saya tidak mengharapkan kalian langsung percaya dengan apa yang saya ucapkan. Saya hanya mengenal islam dari pergaulan, buku, dan kuliah hukum islam). Kalau kita melihat di Al-Quran dan As-Sunnah, memang ada perintah menghabisi "orang kafir" dan ayat atau hadist ini juga selalu dikutip dan digaungkan oleh kelompok ekstrimis. Tapi ya pesan saya belajar agama jangan setengah-setengah ya, cuma ngutip secuil ayat atau hadist saja supaya bisa masuk surga dengan 72 bidadari. 

Dosen-dosen hukum islam berkali-kali mengungkapkan bahwa lahirnya kelompok ekstrimis, radikal, ISIS, dsb terjadi karena adanya "Salah paham" terhadap ajaran islam. Kenapa bisa salah paham ? Ya karena memahami ajaran islam mereka lakukan secara setengah-setengah. Ajaran islam tidak hanya sebatas membunuh orang kafir atau yang beda kepercayaan, tetapi islam itu luas dan perlu dilihat melalui lebih dari satu sudut pandang. Kalau di ajaran di Al-Quran tidak jelas atau terlalu luas, pahamilah As-Sunnah. Kalau masih tidak jelas juga, pakailah "otakmu/ndas-mu" (bahasa kasarnya-maaf) atau Ra'yu. Masalahnya "otak" kaum radikal bisa dibilang "cetek", ujung-ujungnya susah juga memahami islam sebagai agama damai. Lihat juga asbabun nuzul suatu ajaran supaya tidak salah paham. Pahami juga secara mendalam siapa yang dimaksud kafir dalam islam, apakah mereka yang mempercayai Tuhan yang sama atau kaum quraisy yang menyembah berhala. Baca juga buku-buku garis lurus, terutama basicnya "Hukum Islam karangan Moh. Daud Ali" dan baca juga buku "Muhammad karya Karen Amstrong" guna mengetahui apakah kepala orang nasrani dan yahudi halal untuk "dipotong" dan bagaimana pandangan Muhammad terhadap dua kaum ini. 

Soedirman pasti menangis kalau apa yang ia perjuangkan berusaha "dipecahkan" oleh kelompok radikal agama dan kalau mau menghargai apa yang orang penyakitan ini perjuangkan, pelajarilah agama secara benar. Baik dan buruknya suatu agama bukanlah ditentukan oleh Tuhannya atau kitabnya atau ajarannya, tetapi ditentukan oleh "otak" umatnya dan caranya memahami suatu agama. 

Terakhir, nilai-nilai Soedirman perlu dipelajari oleh mereka yang kebarat-baratan, atau kejepang-jepangan, atau keturki-turkian, atau kearab-araban, dsb. Intinya bagi mereka yang merasa "malu" menjadi Indonesia dan memuja (bukan mengagumi) negara lain karena berbagai kelebihannya. 

Kagum terhadap suatu bangsa atau negara tertentu sah-sah saja. Saya kagum dengan Singapura yang kecil tapi bisa menjadi negara yang mampu memanusiakan warganya. Saya kagum dengan Jepang, suatu negara yang minim sumber daya dan hancur lebur pasca perang dunia kedua, tapi mampu bangkit menjadi kekuatan ekonomi Asia. Saya kagum dengan kemampuan Amerika dan Rusia yang menjadi pelopor penjelajahan luar angkasa. Saya kagum pada budaya Turki yang merepresentasikan akultarsi Eropa dan Timur Tengah.

Sementara, apa yang bisa dikagumi dari Indonesia ? Korupsi ? Politik yang carut-marut ? Manusia yang egois ? 

Kagum atas suatu bangsa atau peradaban boleh tetapi jangan sampai kekaguman itu mengubah identitas dan jati diri kita sebagai orang Indonesia. Pernah ada seorang teman yang mengomentari sebuah postingan yang dikeluarkan oleh semacam "grup pecinta anime Jepang" di Facebook, dimana grup itu mengubah lagu Indonesia Raya maupun Sumpah Pemuda dengan cara memasukan istilah-istilah anime/otaku/jepang lainnya yang saya sendiri tidak tahu apa itu artinya (entah apa nama grupnya, tapi saya ingat pasti ada postingan itu). Teman saya yang juga mahasiswa FHUI berkomentar kira-kira begini: "Tahukah kalian kalau mengubah atau mengganti lagu kebangsaan bisa dikenakan pidana dan aturannya terdapat dalam ...... (lupa)".

Kelebihan yang dimiliki negara lain boleh kita kagumi tetapi jangan lupa juga kita belajar dari kelebihan yang mereka punya untuk selanjutnya diterapkan di Indonesia dan memberikan manfaat bagi Indonesia. Kita bisa belajar dari Singapura perihal tata kota. Kita bisa belajar dari Amerika perihal inovasi. Kita juga bisa belajar dari Jepang bagaimana mereka bisa memajukan diri tetapi tidak lupa akan tradisi dan identitas mereka. Sejelek-jeleknya Indonesia bukan berarti kita boleh menghinanya dan memuja negara lain. Kejelekan Indonesia adalah tantangan bagi kita sebagai anak Indonesia untuk membuatnya menjadi negara yang lebih baik dan humanis. Dahulu Jepang juga merupakan negara yang jelek. Kalah perang, ekonomi hancur, di bom atom, toh warga dan pemerintahnya sama-sama bahu-membahu untuk membangung kembali negara mereka yang "jelek" itu dan bagus seperti saat ini. 

Lalu apa korelasi Soedirman terhadap kondisi "orang-orang" ini ? Soedirman pernah di kecewakan oleh "negara" ketika ia diminta "menyerahkan" diri. Kecewanya Soedirman sama seperti ketika kalian memandang negara ini serba jelek dan banyak masalah. Tapi apakah karena Soedirman kecewa ia mengambil sikap "masa bodoh" terhadap negara ? Justru sebaliknya, ia memilih jalan gerilya dan "hidup susah" demi negara meskipun harus "melawan" perintah Presiden. Bagaimana dengan kalian ? Masih mau memuja negara orang dan menggangap diri sebagai bangsa dari negara orang ataukah memilih untuk melihat kelebihan negara orang dan menjadikannya inspirasi untuk membangun Indonesia ? 

Penutup

(Mengutup Catatan Najwa : episode Belajar dari Jenderal Soedirman)

Pemimpin seperti Jenderal Soedirman
tak akan pernah meninggalkan barisan

Ia bersedia menderita
karena rakyar juga merasakan nestapa

Daripada menyerah dan diasingkan,
ia memilih gerilya di dusun dan pegunungan

Tidur di gubuk yang sama dengan pasukannya,
makan dengan menu serupa dengan rakyatnya

Soedirman menunggal dengan rakyat,
ia tak berjarak dengan yang melarat

Karena memimpin adalah juga menderita,
bukan bermewah-mewah dengan harta

Dengan itulah ia memperjuangkan kemerdekaan,
dengan mempertaruhkan semua kemungkinan

Generasi berikutnya yang harus melanjutkan
agar pengorbanan generasi Soedirman tidak disia-siakan

Karena kemerdekaan yang gagal diisi,
hanya akan menjadi narasi yang penuh basa-basi..

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Novena Tiga Salam Maria: Mukjizat Bunda Maria Menyertai Kita !! (Gw saksi hidupnya brow !!)

Panduan Menulis Esai Untuk Mahasiswa Baru

[BEDAH LAGU]: Chrisye - Kisah Kasih di Sekolah (2002)