Penyalahgunaan Kebebasan Berpendapat: Suatu Kajian Mengenai Masyarakat Demokrasi di Indonesia
Untuk mengawali tahun 2016 sekaligus mengakhiri masa "vakum" gw ngeblog semenjak bulan September 2015 (Maaf ya, kesibukan yang sangat gila di semester tiga mulai dari kuliah sampai organisasi dan kepanitian), gw akan membagikan ke kalian para pembaca, salah satu esai kritis yang gw daftarkan di Olimpiade Ilmiah Mahasiswa (OIM) FHUI 2015.
Meskipun gak menang dan harus kalah dari atasan-atasan gw di bidang Literasi dan Penulisan (Litpen) Lembaga Kajian Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LK2 FHUI), tapi ya lumayan dapat pengalaman dan ilmu lagi dalam penulisan esai kritis.
Tulisan yang gw buat untuk OIM menjadi sarana untuk gw menuangkan segala unek-unek dan kemuakan gw akan penyalahgunaan kebebasan berpendapat pasca reformasi. Memang era reformasi memberikan kita kesempatan untuk menyuarakan pendapat yang sebebas-bebasnya, tetapi kebebasan tersebut kerap kali cenderung "kebablasan" dan hal tersebut terbukti dari banyaknya pendapat di masyarakat (terutama dituangkan di media sosial) yang mengarah pada disintegrasi bangsa. Gosip, celaan, hoax, fitnah, sampai pendapat yang berbau SARA merupakan bagian dari kebablasan menyuarakan pendapat tersebut.
Semuanya akan dibahas dalam esai ini. Gw ingatkan lagi, JANGAN PLAGIAT !
Selamat membaca :)
_________________________________________________________________________________
Penyalahgunaan Kebebasan
Berpendapat:
Suatu Kajian Mengenai Masyarakat Demokrasi di Indonesia
Pendahuluan
Runtuhnya pemerintahan orde baru serta
reformasi yang mengiringinya, membawa pembaharuan bagi segenap aspek kehidupan
bangsa Indonesia termasuk demokrasi. Pembaharuan itu terlihat nyata ketika
sekat-sekat pembatas masyarakat dalam berdemokrasi hilang berikut dirasakannya
kebebasan dalam menyampaikan pendapat. Kebebasan berpendapat juga semakin
tampak serta mudah dilakukan saat ini berkat kemajuan teknologi komunikasi dan
informasi (TIK). Namun, kebebasan tersebut kerap disalah-artikan sebagai
kebebasan yang sebebas-bebasnya untuk berbicara, sehingga penyalahgunaan dalam
kebebasan menyampaikan pendapat tidak dapat dihindari.
Kebebasan Menyampaikan Pendapat
Dalam Prespektif Hukum
Secara universal, kemerdekaan
menyampaikan pendapat dijamin dan dilindungi oleh Universal Decleration of
Human Rights (UDHR), yakni dalam Pasal 19 yang berbunyi “Everyone has the right to freedom of opinion and ex pression; this right
includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and
impart information and ideas through any media and regardless of frontiers.”[1]
Di Indonesia, hal ini merupakan
perwujudan dari sila keempat yang terdapat dalam Pancasila, yakni kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Secara normatif Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), menegaskan
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang.”[2]
Dalam Pasal 1 UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat
di Muka Umum,.definisi dari kemerdekaan menyampaikan pendapat ialah hak setiap
warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya
secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.”[3] UU Nomor 9 Tahun 1998
menyatakan kebebasan berpendapat adalah hak, sehingga dalam Pasal 25 UU Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), kebebasan berpendapat di muka
umum digolongkan sebagai hak atas kebebasan pribadi[4].
Jika dicermati, kebebasan menyampaikan
pendapat dalam konsep HAM barat seperti yang tertuang dalam UDHR dengan
kebebasan berpendapat dalam konsep HAM Indonesia dalam UUD 1945, UU Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan UU HAM, memiliki perbedaan. Perbedaan
tersebut terlihat dari ada-tidaknya batasan dalam berpendapat, dimana kebebasan
berpendapat dalam konsep HAM barat merupakan kebebasan yang sifatnya mutlak
sehingga menyampaikan pendapat yang sebebas-bebasnya sangat dimungkinkan,
sedangkan menurut konsep HAM Indonesia, kebebasan berpendapat harus sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Namun, pada kenyataannya, banyak sekali
dijumpai penyalahgunaan kebebasan menyampaikan pendapat di dalam masyarakat.
Faktor Penyebab
Penyalahgunaan Kebebasan Berpendapat berikut Akibatnya
Permasalahan diatas tentu tidak muncul
dengan sendirinya. Terdapat sejumlah penyebab mengapa penyalahgunaan kebebasan
berpendapat terjadi di masyarakat.
Sebab pertama terjadinya penyalahgunaan
kebebasan berpendapat adalah rendahnya pendidikan demokrasi. Rendahnya
pendidikan demokrasi merupakan implikasi dari perkembangan demokrasi yang
terjadi sangat cepat di Indonesia, dimana demokrasi yang benar-benar memberikan
kebebasan berpendapat muncul dalam waktu satu malam saja, yakni saat reformasi.
Terbelenggunya kebebasan berpendapat selama orde baru serta reformasi yang
menghapusnya, disikapi oleh masyarakat dengan euforia yang berlebihan tanpa
memperhatikan batasan-batasan yang ada. Perlu diingat bahwa demokrasi bukanlah
organisasi yang tumbuh secara alami, melainkan tumbuh dan berkembang sebagai
hasil usaha keras menggali ide-ide dengan penuh imaginasi[5] .
Pendidikan demokrasi yang baik lahir dari demokrasi yang berkembang secara
bertahap sesuai perkembangan zaman dan masyarakat, bukan dari demokrasi yang
lahir secara instan sebagaimana yang terjadi di Indonesia.
Kedua, adanya kepentingan dalam mencapai
suatu tujuan. Kerap kali, kebebasan berpendapat digunakan secara tidak
bijaksana oleh oknum tertentu yang ingin mencapai suatu tujuan dengan cara
menjatuhkan lawan atau pesaingnya, baik dengan mengadu domba maupun melalui
pernyataan langsung kepada lawannya. Ketiga, adanya sikap etnosentrisme, yakni
suatu sikap untuk menilai unsurunsur kebudayaan lain dengan mepergunakan
unsur-unsur kebudayaan sendiri. dalam diri masyarakat[6].
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk dimana sikap curiga dan
tidak suka antar kelompok masyarakat dengan latar belakang perbedaan SARA
(suku, ras, agama, dan antar golongan) maupun Non-SARA kerap muncul. Bila
dikaitkan dengan kebebasan berpendapat, sikap etnosentrisme dapat menyebabkan
penyalahgunaan pendapat dengan motif menjatuhkan kelompok masyarakat lain
dengan alasan latar belakang budaya yang berbeda. Penyebab permasalahan yang
terakhir adalah kemajuan TIK yang begitu pesat seperti yang terjadi saat ini.
Teori HAM modern menuntut hak atas informasi yang harus diberikan secara
terbuka dan merata kepada setiap warga negara dan dalam kesehariannya,
pemberian hak atas informasi menjelma jelas dalam kehadiran kebebasan pers[7] .
Akibatnya, masyarakat dibanjiri oleh informasi melalui pers maupun media
sosial. Namun, perlu disadari bahwa tidak semua informasi yang masuk merupakan
informasi yang sifatnya membangun tetapi ada pula informasi yang sifatnya
menyesatkan. Informasi yang buruk dan menyesatkan menjadikan kita masyarakat
yang gemar menyakiti dan menghancurkan diri sendiri (self-destructive) seperti
yang kita alami sekarang. Tak heran, akses informasi dan komunikasi yang
terbuka dijadikan alat untuk menyampaikan pendapat secara tak
bertanggung-jawab.
Solusi Dalam
Mengatasi Penyalahgunaan Kebebasan Berpendapat
Berkaca pada sebab serta akibat buruk
yang timbul dari penyalahgunaan kebebasan berpendapat, maka dibutuhkanlah
solusi yang tepat guna memecahkannya. Dilihat dari segi hukum yang berlaku,
negara ini memiliki sejumlah regulasi terkait pengaturan masalah kebebasan
berpendapat seperti UUD 45, UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum,
UU HAM, dan peraturan hukum lainnya. Namun peraturan-peraturan tersebut belum
berjalan efektif mengingat masih banyaknya kasus penyalahgunaan kebebasan
berpendapat. Dikarenakan kurang efektifnya pelaksanaan hukum, pendidikan pun
tampil sebagai satu-satu solusinya dalam mengatasi masalah penyimpangan
kebebasan berpendapat tersebut.
Terdapat tiga aspek pendidikan yang
perlu diterapkan untuk mencegah serta mengurangi dampak buruk dari
penyalahgunaan kebebasan berpendapat, yakni pendidikan demokrasi, pendidikan
politik, dan pendidikan Pancasila.
Pendidikan demokrasi merupakan salah
satu pendidikan yang berperan penting dalam pembinaan demokrasi bagi masyarkat.
Pendidikan demokrasi bertujuan mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis
dan bertindak demokratis[8].
Berpikir kritis berarti melihat suatu masalah dalam berbagai sudut pandang yang
berbeda, sehingga pemahaman akan masalah tersebut menjadi luas. Bertindak
demokratis berarti bertindak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi yang berlaku
dalam masyarakat demi mencapai kemanfaatan hidup bersama. Jika dikaitkan dengan
kebebasan berpendapat, maka kebebasan tersebut dapat dikatakan demokratis apabila
pendapat yang disuarakan sesuai dengan nilai-nilai demokrasi dalam masyarakat
serta mendatangkan kemanfaatan pula bagi masyarakat.
Pendidikan demokrasi memang berperan
penting bagi masyarakat untuk dapat menggunakan kebebasannya dalam berpendapat
secara benar. Namun perlu diingat bahwa kebebasan menyampaikan pendapat
tersebut tidak memiliki arti nyata apabila masyarakat tidak mengetahui hal-hal
apa yang akan mereka aspirasikan maupun suarakan. Dalam mengatasi masalah ini,
diperlukanlah aspek pendukung pendidikan demokrasi yakni pendidikan politik.
Dalam artian umum, pendidikan politik
ialah cara bagaimana suatu bangsa mentransfer budaya politiknya dari generasi
yang satu ke generasi kemudian. Yang dimaksud dengan budaya politik ialah
keseluruhan nilai, keyakinan empirik, dan lambang ekspresif yang menentukan
terciptanya situasi di tempat kegiatan poltik terselenggara[9] .
Nilai yang dimaksud adalah nilai-nilai bangsa yang terkandung dalam Pancasila
dan UUD 45. Keyakinan empirik berarti keyakian yang terbentuk dalam hati nurani
masyarakat sebagai akibat dari interaksi antara masyarakat dengan permasalahan
yang ada di sekitarnya. Lambang ekspresif adalah simbol-simbol nyata yang
mengandung nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat tersebut. Budaya politik
berperan bagi masyarakat guna memahami permasalahan yang ada di sekitarnya.
Bila permasalahan yang ditemukan bertentangan dengan tiga unsur dalam budaya
politik tersebut, maka masalah tersebut dapat didefinisikan sebagai masalah
politik. Masalah politik dalam konteks ini bukan hanya sebatas pada masalah di
dalam lingkungan birokrasi saja, tetapi juga masalah-masalah yang muncul dari
kebijakan yang dihasilkan oleh birokrasi tersebut kepada masyarakat. Dengan
mendefinisikan suatu masalah sebagai masalah politik, maka masyarakat dapat
menentukan perlu-tidaknya menyuarakan pendapatnya kepada stakeholder terkait.
Apakah pendidikan demokrasi dan politik
cukup untuk mengedukasi masyarakat agar dapat menggunakan kebebasan
berpendapatnya secara bijak ? Tentu saja tidak. Kemampuan memahami permasalahan
dengan pendidikan politik serta kemampuan menyuarakan pendapat yang diasah
dengan pendidikan demokrasi harus diiringi dengan pemberian pendidikan
Pancasila.
Pendidikan Pancasila bertujuan untuk
mengarahkan perhatian pada moral yang diharapkan terwujud dalam kehidupan
sehari-hari, yaitu perilaku yang memancarkan iman dan taqwa terhadap Tuhan Yang
Maha Esa dalam masyarakat yang terdiri atas berbagai golongan agama,
kebudayaan, dan beraneka ragam kepentingan, perilaku yang mendukung kerakyatan
yang mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan perorangan dan
golongan sehingga perbedaan pemikiran, diarahkan pada perilaku yang mendukung
upaya terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia[10].
Definisi tersebut menjelaskan bahwa pendidikan Pancasila berperan dalam
mengarahkan masyarakat untuk berpikir dan bertingkah laku sesuai dengan
nilai-nilai Pancasila sebagaimana tertuang di dalam kelima silanya. Dikaitkan
dengan kebebasan dalam berpendapat, maka kebebasan tersebut haruslah digunakan
sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, yakni nilai ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Kebebasan berpendapat yang sesuai dengan
nilai-nilai Pancasila tentu dapat menghindari terjadinya penyalahgunaan
kebebasan tersebut.
Penutup
Sebagai kesimpulan, penyalahgunaan
kebebasan dalam berpendapat muncul sebagai akibat dari pertumbuhan demokrasi di
Indonesia yang instan berikut kurangnya kualitas pendidikan masyarakat dalam
menyikapinya. Akibat dari permasalahan ini pun jelas, pemerosotan etika
demokrasi serta disintegrasi bangsa, sehingga mengatasainya tidak cukup dengan
peraturan hukum saja, tetapi juga diperlukan pemberian pendidikan kepada
masyarakat, yakni pendidikan demokrasi, pendidikan politk, dan pendidikan
Pancasila. Untuk itulah dibutuhkan kerja sama antara pemerintah dan masyarakat
dalam menyelenggarakan ketiga aspek pendidikan tersebut serta mewujudkan
masyarakat demokrasi yang mampu menggunakan kebebasannya dalam berpendapat
secara bertanggungjawab.
[1]“The Universal Decleration of Human Rights,” diakses 16 April 2015, www.un.org/en/documents/udhr/index.shtml#a29
[2]H.R. Abdussalam, Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (Jakarta: Restu Agung, 2006),
hlm.1
[3]“ Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat di Muka Umum,” diakses 22 April 2015,
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_9_98.htm
[4]“Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia,” diakses 22
April 2015,
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_39_99.htm
[5]Zamroni, Pendidikan Untuk Demokrasi (Yogyakarta: BIGRAF Publishing, 2001), hlm.15-16
[6]Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: CV Rajawali, 1986), hlm.111
[7]Arief T. Surowidjojo, Hukum,Demokrasi & Etika: Lentera Menuju Perubahan (Jakarta: Masyarakat Transparansi Indonesia, 2003), hlm.148
[8]Zamroni, Op.Cit., hlm.17
[9]M.Panggabean, “Pendidikan Politik dan Kaderisasi Bangsa,” dalam Pendidikan Politik Bangsa,(ed).
Madiri Thamrin Sianipar. (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), hlm. 58
[10]Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: PARADIGMA, 2004), hlm.15
_________________________________________________________________________________
Daftar Referensi
Abdussalam, H.K. 2006. Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Jakarta: Restu Agung.
Kaelan. 2004. Pendidikan Pancasila,
Yogyakarta: Paradigma.
Panggabean, M. 1984. "Pendidikan Politik
dan Kaderisasi Bangsa". di dalam Madiri Thmarin Sianipar (ed.), Pendidikan
Politik Bangsa. Jakarta: Sinar Harapan.
Soekanto, Soerjono. 1986. Sosiologi
Suatu Pengatar, Jakarta: CV Rajawali.
Surowidjojo, Arief T. 2003. Hukum,
Demokrasi & Etika, Jakarta: Masyarakat Transparans Indonesia.
Zamroni. 2001. Pendidikan Untuk Demokrasi,
Yogyakarta: BIGRAF Publishing.
hukum.unsrat.ac.id. “Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat
di Muka Umum.” diakses 22 April 2015 http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_9_98.htm
_______________ “Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.” diakses 22 April 2015
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_39_99.htm
un.org.“The Universal Decleration of
Human Rights.” diakses 16 April 2015
www.un.org/en/documents/udhr/index.shtml#a29
Komentar
Posting Komentar