Pelacuran sebagai Masalah Sosial

Post pertama di bulan April ini baru gw tulis setelah kelar UTS. Sebenarnya, gw mau post [FOTOGRAFI AMATIR] setelah gw hunting di .......... (nantikan postnya :D), tapi karena masih tahap seleksi dan editing foto, mungkin dalam waktu dekat akan gw post.

Jadi, untuk mengisi kekosongan blog ini di bulan April, gw akan mengupload sebuah esai yang gw tulis sebagai tugas pengganti UTS mata kuliah Hukum dan Masyarakat (nama kerennya H&M), dimana mata kuliah ini berusaha meliat fenomena hukum maupun penerapannya di masyarakat baik itu dari prespektif Antropologi, Sosiologi, maupun  Ekonomi.

Esai yang gw tulis ini merupakan esai yang mengkaji hukum dalam prespektif sosiologis yakni bagaimana kah hukum berlaku di dalam penyelesaian masalah sosial seperti pelacuran yang mana merupakan suatu tindakan asusila. Akan dibedah pula penyebab, akibat, serta solusi untuk mengatasi pelacuran baik itu secara sosiologis maupun yuridis.

Selamat membaca, dan diingitkan lagi, jangan PLAGIAT !! 
_________________________________________________________________________________

Pelacuran sebagai Masalah Sosial


(sumber gambat: http://www.suryaonline.co)


Penutupan lokalisasi Gang Dolly di Surabaya pada pertengahan tahun 2014 oleh wali kota Surabaya, Tri Rismaharini menjadi perbincangan yang menghebohkan masyarakat pada waktu itu. Tindakan yang diambil Risma dalam menutup lokalisasi terbesar di Asia Tenggara tersebut mendapat apresiasi tidak hanya dari masyarakat Surabaya, tetapi juga masyarakat Indonesia yang memandang praktek pelacuran atau hubungan seks di luar nikah sebagai suatu hal yang tabu dan melanggar norma kesusilaan. Namun, keberhasilan Risma dalam menutup Gang Dolly bukanlah suatu keberhasilan yang dicapai dengan mudah. Risma beserta Pemerintah kota (Pemkot Surabaya) harus menghadapi pertentangan dari warga Gang Dolly baik itu dari para pekerja seks komersil (PSK), mucikari, sampai masyarakat sekitar yang menggantungkan hidupnya dari lokalisasi tersebut. Berkaitan dengan kasus penutupan Gang Dolly oleh Tri Rismaharini beserta jajarannya, terdapat beberapa hal menarik yang perlu ditelusuri lebih lanjut lagi mengenai masalah pelacuran, khususnya pelacuran di Indonesia, baik itu dari sisi penyebab, akibat, hingga solusi yang diperlukan untuk menanggulangi masalah sosial tersebut melalui prespektif sosiologi dan hukum.

Pengertian Pelacuran

Menurut Soerjono Soekanto, pelacuran dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri kepada umum untuk melakukan perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapat upah[1]. Dari pengertian yang dibuatnya, tampak dengan jelas bahwa Soerjono Soekanto menggunakan prespektif motif dalam menjelaskan definisi pelacuran. Beliau memandang pelacuran sebagai sebuah profesi yang bersifat ekonomis tanpa memperhatikan apakah pelacuran merupakan sebuah problema sosial atau bukan[2]. Soerjono Soekanto menambahkan, pelacuran menjadi suatu masalah sosial atau tidak tergantung dari cara masyarakat memandang masalah tersebut sebagai tindakan yang menyimpang ataupun bukan.
Berbeda dengan Soerjono Soekanto, Drs. Muhammad Hawari mengatakan pelacuran adalah setiap hubungan kelamin secara bebas antara pria dan wanita tanpa diikat suatu perkawinan yang sah[3]. Dalam definisinya, Muh. Hawari menggunakan prespektif sosiologis dalam memandang pelacuran yakni hubungan di luar perkawinan yang sah, sehingga definisi ini bisa memastikan pelacuran sebagai suatu tindakan bertentangan dengan norma kesusilaan masyarakat Indonesia. Namun perlu dicatat, dalam definisinya, Muh. Hawari tidak melihat masalah motif seperti yang dipaparkan oleh Soerjono Soekanto.

Faktor Penyebab Terjadinya Pelacuran

Berbicara mengenai motif, tentu terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan terjadinya masalah pelacuran. Faktor-faktor tersebut dapat digolongkan menjadi faktor internal atau faktor yang berasal dari dalam diri seseorang dan faktor eksternal atau faktor yang berasal dari luar diri seseorang.
Faktor internal yang mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan melacur antara lain sifat malas, kurangnya pendidikan, cacat, dan hypersexual.
Faktor sifat malas tidak terlepa adanya keingingan untuk mendapat uang serta menjadi orang kaya tanpa harus bekerja keras.
Faktor kurangnya pendidikan tidak terlepas dari kenyataan bahwa sebagian besar pelaku prostitusi (khususnya PSK) lahir dan dibesarkan dalam lingkungan yang miskin. Mereka pun juga kebanyakan berasal dari orang tua yang berwatak lemah dan kurang terdidik sehingga standard moral keluarga-keluarga mereka pada umumnya rendah dan cara orang tua mereka memberikan pembentukan displin tidak bijaksana serta tidak dapat dipertanggung jawabkan [4]. Seorang anak memandang orang tua sebagai role model-nya dalam bertingkah laku, sehingga seorang anak dapat memiliki watak yang lemah apabila ia meniru watak orang tuanya yang juga lemah maupun dibesarkan dalam suasana pendidikan karakter yang lemah.
Faktor kecacatan dalam penyebab internal munculnya pelacuran merupakan kecacatan dalam konteks cacat secara jiwa atau psikologis. Cacat jiwa dalam diri seorang calon PSK muncul ketika ia mengalami kekecewaan atau kepahitan hidup yang pernah dialaminya, utamanya kekecewaan seksual baik di dalam maupun di luar perkawinan [5]. Akibatnya, melacur pun dianggap sebagai jalan keluar atas kekecewaan tersebut.
 Faktor internal terakhir yakni hypersexual  didefinisikan sebagai kemauan atau hasrat untuk berhubungan seks secara berlebihan. Gangguan psikologis maupun cacat jiwa juga berpengaruh dalam faktor ini.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, selain faktor internal, terdapat pula faktor eksternal yang mendorong seseorang untuk melacur. Faktor eksternal tersebut meliputi ekonomi yang lemah, keluarga yang tidak harmonis, adat-istiadat setempat, dan adanya perdagangan seks.
Faktor ekonomi yang lemah merupakan faktor yang mendorong munculnya rasa malas dan keinginan untuk menjadi orang kaya atau keluar dari garis kemiskinan secara instan dan melacur dianggap sebagai cara yang paling tepat untuk mewujudkannya.
Faktor keluarga yang tidak harmonis juga turut berperan dalam menimbulkan rasa kecewa (sudah dijelaskan sebelumnya) yang akhirnya membuat seseorang melacur.
Faktor adat-istiadat juga turut membuat seseorang melacur dikarenakan adanya adat-istiadat yang membenarkan atau membolehkan hubungan seks diluar perkawinan, adanya free sex atau pergaulan bebas [6]. Meskipun adat-istiadat merupakan salah satu faktor eksternal, adanya pembenaran hubungan seks diluar perkawinan sulit ditemui di dalam masyarakat Indonesia mengingat umumnya masyarakat Indonesia memandang hubungan seks diluar perkawinan sebagai tindakan yang tercela dan tabu. Jikalau suatu masyarakat membenarkan keberadaan pelacuran, bisa dikkatakan terdapat faktor ekonomi yang mendorong adat-istiadat suatu masyarakat membenarkan tindakan tersebut, seperti yang terjadi di lokaliasasi Dolly dimana masyarakat sekitar yang tidak terlibat kegiatan prostitusi memanfaatkan keramaian kawasan “lampu merah” tersebut untuk membuka usaha dan menolak penutupan lokalisasi.
 Faktor eksternal yang terakhir yakni adanya perdagangan seks, disebabkan oleh mudahnya akses berupa tempat pemukiman yang mempertemukan para pelaku pelacuran, baik itu PSK, para tamu atau pelanggan serta mucikari. Selain memudahkan transaksi uang, menjamurnya tempat-tempat prostitusi atau rumah bordil dapat mengundang seseorang untuk turut terlibat dalam kegiatan prostitusi tersebut baik sebagai PSK maupun pelanggan.

Akibat dari Pelacuran

 Suatu penyebab pasti menghasilkan akibat, begitu pula dengan faktor-faktor penyebab pelacuran. Akibat daripada pelacuran dapat terjadi pada diri si pelaku maupun masyarakat yang tinggal di sekitar tempat dimana masalah terjadi.
Akibat dari pelacuran bagi diri si pelaku (bukan hanya PSK saja tetapi juga si tamu) pada umumnya berupa akibat biologis atau akibat terhadap tubuh para pelaku. Akibat biologis terebut antara lain penyakit kelamin dan kulit terutama syphilis dan gonorrhoe (kencing nanah) yang disebabkan oleh penularan virus maupun bakteri saat berhubungan seksual sampai virus HIV yang menyebabkan AIDS atau pelemahan sistem imun tubuh, serta disfungsi seksual (tidak berfungsinya organ seksual) misalnya impotensi, anorgasme, nymfomania, satyriasis, dan ejakulasi premature[7].
Berbeda dengan akibat pelacuran bagi diri si pelaku sendiri yang memiliki dampak biologis, akibat pelacuran bagi masyarkat yang tinggal di sekitar masalah sosial tersebut cenderung bersifat sosiologis, yakni rusaknya rumah tangga, demoralisasi masyarakat hingga munculnya korelasi dengan kriminalitas dan narkotika[8].
Rusaknya rumah tangga terjadi akibat ketiadaan sikap setia antara seorang suami dan istri dalam menjalankan rumah tangga sekaligus membina keluarganya. Adanya kegiatan prostitusi seakan menggoda suami maupun istri untuk memenuhi atau memuaskan keinginan seksual mereka tanpa memperhatikan keberadaan pasangan mereka serta anak-anak mereka. Rasa curiga dan saling tidak percaya pun muncul dalam rumah tangga yang telah dibina.
Selain rusaknya rumah tangga, terdapat pula akibat sosiologis lainnya yakni demoralisasi. Menurut kamus besar bahasa indonesia (KBBI), demoralisasi adalah kemerosotan akhlak atau kemerosotan moral, khususnya di kalangan remaja[9]. Ditekankannya kalangan remaja dalam KBBI sebagai “korban” dari demoralisasi mengandung makna yang logis mengingat usia remaja merupakan usia pengenalan jati diri sehingga mencari-cari atau keinginan untuk mengenal hal-hal yang tidak bermoral bisa muncul termasuk dan bahkan mencoba melakukan tindakan asusila seperti hubungan seks di luar nikah. Namun, akibat demoralisasi dari adanya masalah pelacuran tidak hanya terjadi di kalangan remaja saja tetapi juga bagi masyarakat di segala usia. Adanya rasa diuntungkan oleh keberadaan kawasan-kawasan prostitusi (seperti yang terjadi di Dolly maupun lokalisasi lain) seakan membuat masyarakat sekitar tidak peduli dan bahkan membenarkan adanya suatu tindakan yang melanggar kaidah kesusilaan terjadi. Disadari atau tidak, sikap tidak acuh dan cenderung membenarkan seperti yang terjadi pada masyarakat terhadap masalah sosial yang ada di sekitarnya, terlebih lagi masalah pelacuran yang melanggar kaidah kesusilaan merupakan bentuk dari demoralisasi. Demoralisasi dalam masalah pelacuran terjadi manakala masyarakat mengesampingkan batas-batas moral yang diterapkannya sendiri (termasuk kesusilaan) dan lebih memprioritaskan kepada keuntungan pribadi.
Akibat sosiologis terakhir dari pelacuran adalah akibat dalam bentuk kriminalitas dan narkotika, dimana keduanya memiliki korelasi dengan masalah pelacuran. Dr. A.S. Alam, dalam bukunya yang berjudul Pelacuran dan Pemerasan: Studi Sosiologis tentang Eksploitasi Manusia oleh Manusia, mengatakan bahwa tindak pemerasan merupakan bentuk kriminalitas yang paling dekat dan sering terjadi di dalam masalah pelacuran. Pemerasan yang terjadi di dalam pelacuran dapat dilakukan oleh PSK sendiri, mucikari dan “penguasa” setempat. Pemerasan yang dilakukan oleh PSK berupa kerja sama antara PSK dengan orang yang disebut oleh A.S. Alam sebagai “bandit”. Di dalam melakukan kegiatannya, bandit tersebut akan selalu bekerja sama dengan seorang atau lebih PSK. Setelah tamu seorang PSK membuka pakaiannya, tiba-tiba bandit itu akan muncul dan mengaku bahwa PSK yang ada dalam kamar tersebut adalah istrinya (bisa pula suaminya jika PSK yang bersangkutan adalah pria). Biasanya tamu yang menghadapi hal demikian tidak mempunya pilihan lain kecuali menyerahkan sejumlah uang yang diminta oleh bandit tersebut[10]. Selain dari pihak PSK, pemerasan juga kerap dilakukan oleh mucikari terhadap pekerjanya terutama berkaitan dengan kewajiban untuk menyerahkan uang hasil pekerjaannya dalam jumlah tertentu. Tak hanya PSK dan tamunya saja yang dapat menjadi korban pemerasan, mucikari juga dapat menjadi korban pemerasan dari pihak-pihak yang mengatas-namakan dirinya sebagai “penguasa” setempat baik itu secara resmi (aparatur atau pejabat pemerintahan) maupun yang tidak resmi (preman, pelaku pungutan liar, dsb). Pemerasan yang dilakukan oleh penguasa setempat membuat mucikari harus menyetorkan sejumlah uang kepada mereka apabila tidak mau bisnis prostitusi yang mereka kelola ditutup.
Akibat negatif yang ditumbulkan dari pelacuran baik secara biologis yang dialami oleh para pelaku maupun akibat sosiologis yang dirasakan oleh masyarakat menuntut diciptakannya solusi-solusi yang ampuh untuk mengurangi dan kalau bisa menghilangkan pelacuran itu sendiri. Solusi atas masalah pelacuran merupakan bagian dari pengendalian sosial yang dilakukan baik oleh masyarakat maupun pemerintah sehingga dalam mengkaji pengendalian sosial atas masalah pelacuran perlu dilihat dari sudut pandangan sosiologis maupun yuridis.

Solusi dalam Mengatasi Pelacuran

  Secara garis besar, solusi dalam mengatasi masalah pelacuran dapat dibagi ke dalam tiga tahap yakni secara preventif, represif, dan rehabilitatif. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, diperlukan sudut pandang secara sosiologis maupun yuridis dalam mengkaji dan menentukan tahap manakah yang digunakan dalam memecahkan masalah pelacuran. Setiap tahapan baik itu preventif, represif, maupun rehabilitatif tentu dapat ditinjau secara sosilogis dan yuridis, maupun hanya sosiologis atau yuridis saja.
Tahap pertama dalam mengatasi pelacuran adalah tahap preventif yakni tahap pencegahan sebelum terjadinya pelacuran dan umumnya tahap ini dapat ditinjau secara sosiologis. Pencegahan ditujukan kepada masyarakat yang tinggal baik di dalam maupun di sekitar daerah dimana masalah pelacuran tersebut terjadi, terlebih lagi kepada generasi muda yang rawan menjadi korban maupun pelaku dari tindakan asusila tersebut. Upaya preventif yang dilakukan berupa penekanan pada kegiatan-kegiatan penanaman keyakinan berke-Tuhanan yang Maha Esa, pengamalan ajaran agama sesuai dengan agama yang dianutnya, penanaman rasa kemanusiaan yang adil dan beradap serta pengamalannya, dan pelaksanaan pendidikan budi pekerti atau etika sosial. Dengan kata lain, semua anggota masyarakat harus melaksanakan dan mengamalkan Pancasila secara murni dan konsekuen[11]. Penanaman nilai keagaman diperlukan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa pelacuran merupakan tindakan yang dilarang oleh agama mengingat di dalam agama, pelacuran disamakan dengan zinah yakni hubungan laki-laki dan perempuan diluar perkawinan. Penanaman nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradap diperlukan untuk menanamkan pemahaman bahwa pelacuran merupakan suatu tindakan yang memperlakukan manusia secara semena-mena, mengeksploitasi kemerdekaan manusia terlebih lagi sampai ada tindakan pemerasan. Pelacuran merupakan tindakan yang mengesampingkan martabat manusia demi keuntungan pribadi. Terakhir, penanaman nilai budi pekerti dan etika diperlukan untuk menambahkan kesadaran dalam diri masyarakat akan pentingnya eksistensi dari nilai-nilai kesusilaan. Masalah pelacuran merupakan akibat sekaligus penyebab demoralisasi kesusilaan itu sendiri semakin luas, sehingga untuk mencegah terjadinya sekaligus meluasnya demoralisasi kesusilaan, penanaman nilai-nilai kesusilaan dibutuhkan.
Tahap kedua, yakni tahap  represif, merupakan serangkaian tindakan yang diambil ketika suatu masalah telah terjadi dan bertujuan untuk mengatasi masalah tersebut agar dampak yang dihasilkan tidak membawa kerugian (baik besar atau kecil) bagi masyarkat, termasuk masalah pelacuran ini. Dalam mengkaji penindakan masalah pelacuran, kita perlu melihat terlebih dahulu peraturan hukum yang mengatur tindak pelacuran sebagaimana yang tertulis dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
KUHP menyatakan tindak pidana kesusilaan sebagai kejahatan dan diatur  dalam pasal 281-303. Bila diperhatikan pasal demi pasal dari KUHP, tidak ada satu yang mengatur secara khusus mengenai wanita pelacur[12]. Ketiadaan aturan mengenai PSK (terutama PSK wanita) terkadang menyulitkan aparatur penegak hukum sehingga penafsiran dan penggunaan aturan daerah menjadi diperlukan. Tak hanya PSK saja yang ketentuannya tidak diatur secara khusus di dalam KUHP, tetapi juga tamu atau pelanggan sehingga dalam penindakannya pun juga sama seperti menindak PSK. Kesulitan tidak hanya soal diatur atau tidaknya suatu masalah, tetapi kesulitan dalam mengenakan hukum pada pelaku prostitusi juga dikarenakan prostitusi dipandang sebagai pelanggaran terhadap norma sosial yang laten sifatnya, bukannya dipandang sebagai suatu kejahatan (pengecualian untuk mucikari dan tindakan eksploitasi manusia) Meski tidak mengatur PSK dan tamu, ternyata KUHP menetapkan aturan mengenai mucikari seperti yang terdapat dalam pasal 296 (mengatur penyediaan tempat untuk berbuat cabul) dan pasal 506 (mengatur makelar cabul)
Adanya kesulitan dalam menetapkan hukuman bagi pelaku tindak pelacuran (terutama pengenaan hukuman yang kurang adil) dan adanya pelimpahan kewenagan bagi pemerintah daerah dalam mengurus pelacuran (pelacuran dipandang sebagai masalah daerah), maka kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah dalam menanggulangi pelacuran berupa razia terhadap pelacur-pelacur; tindakan pengawasan, pengaturan, dan pencegahan penyakit; dan kebijakan lokalisasi[13]. Ketiga tindakan tersebut saling terikat satu sama lain. Lokalisasi dimaksudkan untuk menempatkan para PSK beserta mucikari di satu lokasi atau wilayah yang sama, sehingga memudahkan pemerintah dalam mengawasi kegiatan prostitusi. Pengawasan dimaksudkan untuk mencegah terjadinya infeksi atau penularan penyakit kelamin baik di dalam maupun di luar lokalisasi. Pengawasan juga berguna dalam proses rehabilitasi para pelaku tindakan pelacuran agar mereka tergerak untuk tidak berbuat cabul serta dapat kembali ke masyarakat. Razia yang dilakukan pemerintah selain bertujuan untuk memberantas PSK liar di luar lokalisasi juga bertujuan untuk mencegah penyebaran penyakit kelamin dan demoralisasi di masyarkat.
Namun, tindakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam  menanggulangi pelacuran belum efektif mengingat kemauan untuk berhenti melakukan tindakan asusila tersebut datang dari pelaku prostitusi baik itu dari para PSK, tamu, maupun mucikari. Lokalisasi yang awalnya dimaksudkan sebagai tempat pembinaan dan pengawasan tidak tercapai ketika para pelaku prostitusi enggan untuk dibina dan pandangan lokalisasi sebagai “lumbung uang” masih ada, khususnya bagi PSK dan mucikari. Berbeda dengan PSK dan mucikari, pandangan bahwa lokalisasi merupakan tempat pemenuhan keinginan seks bagi para tamu juga mempengaruhi berjalannya bisnis prostitusi tanpa mempedulikan masalah pembinaan dan pengawasan pelaku prostitusi. 
 Dalam mengatasi pandangan para pelaku prostitusi terhadap lokalisasi beserta kebijakan pemerintah lain yang mengiringinya, maka dibutuhkanlah tindakan rehabilitatif yang dapat didefinisikan sebagai tindakan mengembalikan keadaan dan kedudukan orang yang terlibat dalam pelacuran sebagai individu yang baik dan berpribadi, ,mengembalikan mereka kepada situasi dimana mereka dapat berfikir sehat, bermental kuat, bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat,  serta mengembalikan daya fungsi mereka baik sebagai anggota keluarga maupun warga masyarkat[14]. Umumnya, rehabilitasi dilakukan dengan cara penanaman nilai-nilai dalam masyarakat; peningkatan kesadaran mental, sikap, dan tingkah laku; pemberian keterampilan yang berdaya-guna ekonomis, penyaluran untuk dikembalikan ke masyarkat baik itu dengan cara mencari pekerjaan atau melalui perkawinan; pengawasan setelah mereka disalurkan ke dalam masyarkat; serta evaluasi atas hasil rehabilitasi tersebut.

Kesimpulan

Sebagai penutup dari tulisan ini, dapat disimpulkan bahwa pelacuran merupakan suatu masalah sosial yang terjadi ketika nilai-nilai dalam masyarakat, khususnya nilai kesusilaan, tergeser oleh kepentingan yang bersifat ekonomis. Pergeseran tersebut terjadi ketika seorang individu atau masyarakat tidak menyadari dan tidak peduli akan nilai-nilai kehidupan yang telah disepakati bersama. Pelacuran yang terjadi karena hal dasar seperti itu serta lebih mementingkan keuntungan ekonomis memiliki akibat yang berdampak buruk bagi pelaku maupun massyarkat di sekitarnya apabila terus dibiarkan. Untuk mengatasinya, diperlukan pengendalian sosial baik yang bersifat sosiologis maupun yuridis agar dampak dari pelacuran tidak semakin merugikan kehidupan masyarkat.


[1] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: CV Rajawali, 1986), hlm. 358-359

[2] Ibid, hlm. 359

[3] Drs. Muhammad Hawari, Pola Penanggulangan Pelacuran (Yogyakarta: Balai Besar                           Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial, 1986) hlm. 2

[4] Dr. A.S. Alam, Pelacuran dan Pemerasan: Studi Sosiologis tentang Eksploitasi Manusia oleh             Manusia (Bandung: Alumni, 1984) hlm.39-40

[5] Ibid, hlm.40

[6] Drs. Muhammad Hawari, Op.cit., hlm.12

[7] Mutia Irna Jayanthi dan Ikram, Dampak Keberadaan Prostitusi Bagi Masyarakat (Studi Pada            Cafe-Cafe di Daerah Panjang Kota Bandar Lampung), Fakultas Ilmu Sosial dan Politik                      Universitas  Lampung, hlm. 4 diakses 12 April 2015                                                                                http://pshi.fisip.unila.ac.id/jurnal/files/journals/5/articles/220/submission/original/220-642-1-              SM.pdf

[8] Loc.cit.

[9] Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses 12 April 2015.
          http://kbbi.web.id/demoralisasi

[10] Dr. A.S. Alam, Op.cit., hlm.82-83

[11] Drs. Muhammad Hawari, Op. Cit., hlm. 20

[12] Dr. A.S. Alam, Op.Cit., hlm. 66

[13] Ibid, hlm.82

[14] Drs. Muhammad Hawari, Op.Cit., hlm.24-25 

Sumber Referensi

1.     Alam, A.S.. Pelacuran dan Pemeresan: Studi Sosiologis tentang Eksploitasi Manusia oleh Manusia. Bandung: Alumni, 1984.

2.     Hawari, Muhammad. Pola Penanggulangan Pelacuran. Yogyakarta: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial, 1986.

3.      Jayanthi, Mutia Irna dan Ikram. Dampak Keberadaan Prostitusi Bagi Masyarakat (Studi Pada Café-Café di Daerah Panjang Kota Bandar Lampung).. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Lampung, diakses 12 April 2015. http://pshi.fisip.unila.ac.id/jurnal/files/journals/5/articles/220/submission/original/220-642-1-SM.pdf

4.     Kamus Besar Bahasa Indonesia. Demoralisasi, diakses 12 April 2015. http://kbbi.web.id/demoralisasi

5.      Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: CV. Rajawali, 1986.


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Novena Tiga Salam Maria: Mukjizat Bunda Maria Menyertai Kita !! (Gw saksi hidupnya brow !!)

Panduan Menulis Esai Untuk Mahasiswa Baru

[BEDAH LAGU]: Chrisye - Kisah Kasih di Sekolah (2002)