Pelacuran sebagai Masalah Sosial
Post pertama di bulan April ini baru gw tulis setelah kelar UTS. Sebenarnya, gw mau post [FOTOGRAFI AMATIR] setelah gw hunting di .......... (nantikan postnya :D), tapi karena masih tahap seleksi dan editing foto, mungkin dalam waktu dekat akan gw post.
Jadi, untuk mengisi kekosongan blog ini di bulan April, gw akan mengupload sebuah esai yang gw tulis sebagai tugas pengganti UTS mata kuliah Hukum dan Masyarakat (nama kerennya H&M), dimana mata kuliah ini berusaha meliat fenomena hukum maupun penerapannya di masyarakat baik itu dari prespektif Antropologi, Sosiologi, maupun Ekonomi.
Esai yang gw tulis ini merupakan esai yang mengkaji hukum dalam prespektif sosiologis yakni bagaimana kah hukum berlaku di dalam penyelesaian masalah sosial seperti pelacuran yang mana merupakan suatu tindakan asusila. Akan dibedah pula penyebab, akibat, serta solusi untuk mengatasi pelacuran baik itu secara sosiologis maupun yuridis.
Selamat membaca, dan diingitkan lagi, jangan PLAGIAT !!
_________________________________________________________________________________
Pelacuran sebagai Masalah Sosial
(sumber gambat: http://www.suryaonline.co)
Penutupan lokalisasi Gang
Dolly di Surabaya
pada pertengahan tahun 2014 oleh wali kota Surabaya, Tri Rismaharini menjadi
perbincangan yang menghebohkan masyarakat pada waktu itu. Tindakan yang diambil
Risma dalam menutup lokalisasi terbesar di Asia Tenggara tersebut mendapat
apresiasi tidak hanya dari masyarakat Surabaya, tetapi juga masyarakat
Indonesia yang memandang praktek pelacuran atau hubungan seks di luar nikah sebagai
suatu hal yang tabu dan melanggar norma kesusilaan. Namun, keberhasilan Risma
dalam menutup Gang Dolly bukanlah suatu keberhasilan yang dicapai dengan mudah.
Risma beserta Pemerintah kota (Pemkot Surabaya) harus menghadapi pertentangan
dari warga Gang Dolly baik itu dari para pekerja seks komersil (PSK), mucikari,
sampai masyarakat sekitar yang menggantungkan hidupnya dari lokalisasi
tersebut. Berkaitan dengan kasus penutupan Gang Dolly oleh Tri Rismaharini
beserta jajarannya, terdapat beberapa hal menarik yang perlu ditelusuri lebih
lanjut lagi mengenai masalah pelacuran, khususnya pelacuran di Indonesia, baik
itu dari sisi penyebab, akibat, hingga solusi yang diperlukan untuk
menanggulangi masalah sosial tersebut melalui prespektif sosiologi dan hukum.
Pengertian Pelacuran
Menurut Soerjono Soekanto,
pelacuran dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan
diri kepada umum untuk melakukan perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapat
upah[1].
Dari pengertian yang dibuatnya, tampak dengan jelas bahwa Soerjono Soekanto
menggunakan prespektif motif dalam menjelaskan definisi pelacuran. Beliau
memandang pelacuran sebagai sebuah profesi yang bersifat ekonomis tanpa
memperhatikan apakah pelacuran merupakan sebuah problema sosial atau bukan[2]. Soerjono
Soekanto menambahkan, pelacuran menjadi suatu masalah sosial atau tidak
tergantung dari cara masyarakat memandang masalah tersebut sebagai tindakan
yang menyimpang ataupun bukan.
Berbeda dengan
Soerjono Soekanto, Drs. Muhammad Hawari mengatakan pelacuran adalah setiap
hubungan kelamin secara bebas antara pria dan wanita tanpa diikat suatu
perkawinan yang sah[3].
Dalam definisinya, Muh. Hawari menggunakan prespektif sosiologis dalam
memandang pelacuran yakni hubungan di luar perkawinan yang sah, sehingga
definisi ini bisa memastikan pelacuran sebagai suatu tindakan bertentangan
dengan norma kesusilaan masyarakat Indonesia. Namun perlu dicatat, dalam definisinya,
Muh. Hawari tidak melihat masalah motif
seperti yang dipaparkan oleh Soerjono Soekanto.
Faktor Penyebab Terjadinya Pelacuran
Berbicara mengenai
motif, tentu terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan terjadinya masalah
pelacuran. Faktor-faktor tersebut dapat digolongkan menjadi faktor internal
atau faktor yang berasal dari dalam diri seseorang dan faktor eksternal atau
faktor yang berasal dari luar diri seseorang.
Faktor internal yang
mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan melacur antara lain sifat malas,
kurangnya pendidikan, cacat, dan hypersexual.
Faktor sifat malas
tidak terlepa adanya keingingan untuk mendapat uang serta menjadi orang kaya
tanpa harus bekerja keras.
Faktor kurangnya
pendidikan tidak terlepas dari kenyataan bahwa sebagian besar pelaku prostitusi
(khususnya PSK) lahir dan dibesarkan dalam lingkungan yang miskin. Mereka pun
juga kebanyakan berasal dari orang tua yang berwatak lemah dan kurang terdidik
sehingga standard moral keluarga-keluarga mereka pada umumnya rendah dan cara
orang tua mereka memberikan pembentukan displin tidak bijaksana serta tidak
dapat dipertanggung jawabkan [4].
Seorang anak memandang orang tua sebagai role
model-nya dalam bertingkah laku,
sehingga seorang anak dapat memiliki watak yang lemah apabila ia meniru watak
orang tuanya yang juga lemah maupun dibesarkan dalam suasana pendidikan
karakter yang lemah.
Faktor kecacatan
dalam penyebab internal
munculnya pelacuran merupakan kecacatan dalam konteks cacat secara jiwa atau
psikologis. Cacat jiwa dalam diri seorang calon PSK muncul ketika ia mengalami
kekecewaan atau kepahitan hidup yang pernah dialaminya, utamanya kekecewaan
seksual baik di dalam maupun di luar perkawinan [5]. Akibatnya, melacur pun dianggap sebagai jalan keluar
atas kekecewaan tersebut.
Faktor internal terakhir yakni hypersexual didefinisikan sebagai kemauan atau hasrat
untuk berhubungan seks secara berlebihan. Gangguan psikologis maupun cacat jiwa
juga berpengaruh dalam faktor ini.
Seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, selain faktor internal, terdapat pula faktor eksternal yang
mendorong seseorang untuk melacur. Faktor eksternal tersebut meliputi ekonomi
yang lemah, keluarga yang tidak harmonis, adat-istiadat setempat, dan adanya
perdagangan seks.
Faktor ekonomi yang
lemah merupakan faktor yang mendorong munculnya rasa malas dan keinginan untuk
menjadi orang kaya atau keluar dari garis kemiskinan secara instan dan melacur
dianggap sebagai cara yang paling tepat untuk mewujudkannya.
Faktor keluarga yang
tidak harmonis juga turut berperan dalam menimbulkan rasa kecewa (sudah dijelaskan
sebelumnya) yang akhirnya membuat seseorang melacur.
Faktor adat-istiadat
juga turut membuat seseorang melacur dikarenakan adanya adat-istiadat yang
membenarkan atau membolehkan hubungan seks diluar perkawinan, adanya free sex atau pergaulan bebas [6].
Meskipun adat-istiadat merupakan salah satu faktor eksternal, adanya pembenaran
hubungan seks diluar perkawinan sulit ditemui di dalam masyarakat Indonesia mengingat
umumnya masyarakat Indonesia memandang hubungan seks diluar perkawinan sebagai
tindakan yang tercela dan tabu. Jikalau suatu masyarakat membenarkan keberadaan
pelacuran, bisa dikkatakan terdapat faktor ekonomi yang mendorong adat-istiadat
suatu masyarakat membenarkan tindakan tersebut, seperti yang terjadi di
lokaliasasi Dolly dimana masyarakat sekitar yang tidak terlibat kegiatan
prostitusi memanfaatkan keramaian kawasan “lampu merah” tersebut untuk membuka
usaha dan menolak penutupan lokalisasi.
Faktor eksternal yang terakhir yakni adanya
perdagangan seks, disebabkan oleh mudahnya akses berupa tempat pemukiman yang
mempertemukan para pelaku pelacuran, baik itu PSK, para tamu atau pelanggan
serta mucikari. Selain memudahkan transaksi uang, menjamurnya tempat-tempat
prostitusi atau rumah bordil dapat mengundang seseorang untuk turut terlibat
dalam kegiatan prostitusi tersebut baik sebagai PSK maupun pelanggan.
Akibat dari Pelacuran
Suatu
penyebab pasti menghasilkan akibat, begitu pula dengan faktor-faktor penyebab pelacuran.
Akibat daripada pelacuran dapat terjadi pada diri si pelaku maupun masyarakat
yang tinggal di sekitar tempat dimana masalah terjadi.
Akibat dari pelacuran
bagi diri si pelaku (bukan hanya PSK saja tetapi juga si tamu) pada umumnya
berupa akibat biologis atau akibat terhadap tubuh para pelaku. Akibat biologis
terebut antara lain penyakit kelamin dan kulit terutama syphilis dan gonorrhoe
(kencing nanah) yang disebabkan oleh penularan virus maupun bakteri saat
berhubungan seksual sampai virus HIV yang menyebabkan AIDS atau pelemahan
sistem imun tubuh, serta disfungsi seksual (tidak berfungsinya organ seksual)
misalnya impotensi, anorgasme, nymfomania, satyriasis,
dan ejakulasi premature[7].
Berbeda dengan akibat
pelacuran bagi diri si pelaku sendiri yang memiliki dampak biologis, akibat
pelacuran bagi masyarkat yang tinggal di sekitar masalah sosial tersebut cenderung
bersifat sosiologis, yakni rusaknya rumah tangga, demoralisasi masyarakat
hingga munculnya korelasi dengan kriminalitas dan narkotika[8].
Rusaknya rumah tangga
terjadi akibat ketiadaan sikap
setia antara seorang suami dan istri dalam menjalankan rumah tangga sekaligus
membina keluarganya. Adanya kegiatan prostitusi seakan menggoda suami maupun
istri untuk memenuhi atau memuaskan keinginan seksual mereka tanpa
memperhatikan keberadaan pasangan mereka serta anak-anak mereka. Rasa curiga
dan saling tidak percaya pun muncul dalam rumah tangga yang telah dibina.
Selain rusaknya rumah
tangga, terdapat pula akibat sosiologis lainnya yakni demoralisasi. Menurut
kamus besar bahasa indonesia (KBBI), demoralisasi adalah kemerosotan akhlak
atau kemerosotan moral, khususnya di kalangan remaja[9].
Ditekankannya kalangan remaja dalam KBBI sebagai “korban” dari demoralisasi
mengandung makna yang logis mengingat usia remaja merupakan usia pengenalan jati diri sehingga mencari-cari
atau keinginan untuk mengenal hal-hal yang tidak bermoral bisa muncul termasuk dan
bahkan mencoba
melakukan tindakan asusila seperti hubungan seks di luar nikah. Namun, akibat
demoralisasi dari adanya masalah pelacuran tidak hanya terjadi di kalangan
remaja saja tetapi juga bagi masyarakat di segala usia. Adanya rasa diuntungkan
oleh keberadaan kawasan-kawasan prostitusi (seperti yang terjadi di Dolly
maupun lokalisasi lain) seakan membuat masyarakat sekitar tidak peduli dan bahkan
membenarkan adanya suatu tindakan yang melanggar kaidah kesusilaan terjadi.
Disadari atau tidak, sikap tidak acuh dan cenderung membenarkan
seperti yang terjadi
pada masyarakat terhadap masalah sosial yang ada di sekitarnya, terlebih lagi
masalah pelacuran yang melanggar kaidah kesusilaan merupakan bentuk dari
demoralisasi. Demoralisasi dalam masalah pelacuran terjadi manakala masyarakat
mengesampingkan batas-batas moral yang diterapkannya sendiri (termasuk
kesusilaan) dan lebih memprioritaskan kepada keuntungan pribadi.
Akibat sosiologis
terakhir dari pelacuran adalah akibat dalam bentuk kriminalitas dan narkotika,
dimana keduanya memiliki korelasi dengan masalah pelacuran.
Dr. A.S. Alam, dalam bukunya yang berjudul Pelacuran
dan Pemerasan: Studi Sosiologis tentang Eksploitasi Manusia oleh Manusia,
mengatakan bahwa tindak pemerasan merupakan bentuk kriminalitas yang paling
dekat dan sering terjadi di dalam masalah pelacuran. Pemerasan yang terjadi di
dalam pelacuran dapat dilakukan oleh PSK sendiri, mucikari dan “penguasa”
setempat. Pemerasan yang dilakukan oleh PSK berupa kerja sama antara PSK dengan
orang yang disebut oleh A.S. Alam sebagai “bandit”. Di dalam melakukan
kegiatannya, bandit tersebut akan selalu bekerja sama dengan seorang atau lebih
PSK. Setelah tamu seorang PSK membuka pakaiannya, tiba-tiba bandit itu akan
muncul dan mengaku bahwa PSK yang ada dalam kamar tersebut adalah istrinya
(bisa pula suaminya jika PSK yang bersangkutan adalah pria). Biasanya tamu yang
menghadapi hal demikian tidak mempunya pilihan lain kecuali menyerahkan
sejumlah uang yang diminta oleh bandit tersebut[10]. Selain
dari pihak PSK, pemerasan juga kerap dilakukan oleh mucikari terhadap
pekerjanya terutama berkaitan dengan kewajiban untuk menyerahkan uang hasil
pekerjaannya dalam jumlah tertentu. Tak hanya PSK dan tamunya saja yang dapat
menjadi korban pemerasan, mucikari juga dapat menjadi korban pemerasan dari
pihak-pihak yang mengatas-namakan dirinya sebagai “penguasa” setempat baik itu
secara resmi (aparatur atau pejabat pemerintahan) maupun yang tidak resmi
(preman, pelaku pungutan liar, dsb). Pemerasan yang dilakukan oleh penguasa
setempat membuat mucikari harus menyetorkan sejumlah uang kepada mereka apabila
tidak mau bisnis prostitusi yang mereka kelola ditutup.
Akibat negatif yang ditumbulkan dari pelacuran baik secara biologis yang
dialami oleh para pelaku maupun akibat sosiologis yang dirasakan oleh
masyarakat menuntut diciptakannya solusi-solusi yang ampuh untuk mengurangi dan
kalau bisa menghilangkan pelacuran itu sendiri. Solusi atas masalah pelacuran
merupakan bagian dari pengendalian sosial yang dilakukan baik oleh masyarakat
maupun pemerintah sehingga dalam mengkaji pengendalian sosial atas masalah
pelacuran perlu dilihat dari sudut pandangan sosiologis maupun yuridis.
Solusi dalam Mengatasi Pelacuran
Secara garis besar, solusi dalam mengatasi
masalah pelacuran dapat dibagi ke dalam tiga tahap yakni secara preventif,
represif, dan rehabilitatif. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, diperlukan
sudut pandang secara sosiologis maupun yuridis dalam mengkaji dan menentukan
tahap manakah yang digunakan dalam memecahkan masalah pelacuran. Setiap tahapan
baik itu preventif, represif, maupun rehabilitatif tentu dapat ditinjau secara
sosilogis dan yuridis, maupun hanya sosiologis atau yuridis saja.
Tahap pertama dalam mengatasi pelacuran adalah tahap preventif yakni
tahap pencegahan sebelum terjadinya pelacuran dan umumnya tahap ini dapat
ditinjau secara sosiologis. Pencegahan ditujukan kepada masyarakat yang tinggal
baik di dalam maupun di sekitar daerah dimana masalah pelacuran tersebut
terjadi, terlebih lagi kepada generasi muda yang rawan menjadi korban maupun
pelaku dari tindakan asusila tersebut. Upaya preventif yang dilakukan berupa
penekanan pada kegiatan-kegiatan penanaman keyakinan berke-Tuhanan yang Maha
Esa, pengamalan ajaran agama sesuai dengan agama yang dianutnya, penanaman rasa
kemanusiaan yang adil dan beradap serta pengamalannya, dan pelaksanaan
pendidikan budi pekerti atau etika sosial. Dengan kata lain, semua anggota
masyarakat harus melaksanakan dan mengamalkan Pancasila secara murni dan
konsekuen[11].
Penanaman nilai keagaman diperlukan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa pelacuran
merupakan tindakan yang dilarang oleh agama mengingat di dalam agama, pelacuran
disamakan dengan zinah yakni hubungan laki-laki dan perempuan diluar
perkawinan. Penanaman nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradap diperlukan
untuk menanamkan pemahaman bahwa pelacuran merupakan suatu tindakan yang
memperlakukan manusia secara semena-mena, mengeksploitasi kemerdekaan manusia
terlebih lagi sampai ada tindakan pemerasan. Pelacuran merupakan tindakan yang
mengesampingkan martabat manusia demi keuntungan pribadi. Terakhir, penanaman
nilai budi pekerti dan etika diperlukan untuk menambahkan kesadaran dalam diri
masyarakat akan pentingnya eksistensi dari nilai-nilai kesusilaan. Masalah
pelacuran merupakan akibat sekaligus penyebab demoralisasi kesusilaan itu
sendiri semakin luas, sehingga untuk mencegah terjadinya sekaligus meluasnya demoralisasi
kesusilaan, penanaman nilai-nilai kesusilaan dibutuhkan.
Tahap kedua, yakni tahap represif,
merupakan serangkaian tindakan yang diambil ketika suatu masalah telah terjadi
dan bertujuan untuk mengatasi masalah tersebut agar dampak yang dihasilkan
tidak membawa kerugian (baik besar atau kecil) bagi masyarkat, termasuk masalah
pelacuran ini. Dalam mengkaji penindakan masalah pelacuran, kita perlu melihat
terlebih dahulu peraturan hukum yang mengatur tindak pelacuran sebagaimana yang
tertulis dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
KUHP menyatakan tindak pidana kesusilaan sebagai kejahatan dan
diatur dalam pasal 281-303. Bila
diperhatikan pasal demi pasal dari KUHP, tidak ada satu yang mengatur secara
khusus mengenai wanita pelacur[12]. Ketiadaan
aturan mengenai PSK (terutama PSK wanita) terkadang menyulitkan aparatur
penegak hukum sehingga penafsiran dan penggunaan aturan daerah menjadi
diperlukan. Tak hanya PSK saja yang ketentuannya tidak diatur secara khusus di
dalam KUHP, tetapi juga tamu atau pelanggan sehingga dalam penindakannya pun
juga sama seperti menindak PSK. Kesulitan tidak hanya soal diatur atau tidaknya
suatu masalah, tetapi kesulitan dalam mengenakan hukum pada pelaku prostitusi
juga dikarenakan prostitusi dipandang sebagai pelanggaran terhadap norma sosial
yang laten sifatnya, bukannya dipandang sebagai suatu kejahatan (pengecualian
untuk mucikari dan tindakan eksploitasi manusia) Meski tidak mengatur PSK dan
tamu, ternyata KUHP menetapkan aturan mengenai mucikari seperti yang terdapat
dalam pasal 296 (mengatur penyediaan tempat untuk berbuat cabul) dan pasal 506
(mengatur makelar cabul)
Adanya kesulitan dalam menetapkan hukuman bagi pelaku tindak pelacuran
(terutama pengenaan hukuman yang kurang adil) dan adanya pelimpahan kewenagan
bagi pemerintah daerah dalam mengurus pelacuran (pelacuran dipandang sebagai
masalah daerah), maka kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah dalam menanggulangi
pelacuran berupa razia terhadap pelacur-pelacur; tindakan pengawasan,
pengaturan, dan pencegahan penyakit; dan kebijakan lokalisasi[13].
Ketiga tindakan tersebut saling terikat satu sama lain. Lokalisasi dimaksudkan
untuk menempatkan para PSK beserta mucikari di satu lokasi atau wilayah yang
sama, sehingga memudahkan pemerintah dalam mengawasi kegiatan prostitusi.
Pengawasan dimaksudkan untuk mencegah terjadinya infeksi atau penularan penyakit
kelamin baik di dalam maupun di luar lokalisasi. Pengawasan juga berguna dalam
proses rehabilitasi para pelaku tindakan pelacuran agar mereka tergerak untuk
tidak berbuat cabul serta dapat kembali ke masyarakat. Razia yang dilakukan
pemerintah selain bertujuan untuk memberantas PSK liar di luar lokalisasi juga
bertujuan untuk mencegah penyebaran penyakit kelamin dan demoralisasi di
masyarkat.
Namun, tindakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam menanggulangi pelacuran belum efektif
mengingat kemauan untuk berhenti melakukan tindakan asusila tersebut datang
dari pelaku prostitusi baik itu dari para PSK, tamu, maupun mucikari.
Lokalisasi yang awalnya dimaksudkan sebagai tempat pembinaan dan pengawasan
tidak tercapai ketika para pelaku prostitusi enggan untuk dibina dan pandangan
lokalisasi sebagai “lumbung uang” masih ada, khususnya bagi PSK dan mucikari.
Berbeda dengan PSK dan mucikari, pandangan bahwa lokalisasi merupakan tempat
pemenuhan keinginan seks bagi para tamu juga mempengaruhi berjalannya bisnis
prostitusi tanpa mempedulikan masalah pembinaan dan pengawasan pelaku
prostitusi.
Dalam mengatasi pandangan para
pelaku prostitusi terhadap lokalisasi beserta kebijakan pemerintah lain yang
mengiringinya, maka dibutuhkanlah tindakan rehabilitatif yang dapat
didefinisikan sebagai tindakan mengembalikan keadaan dan kedudukan orang yang
terlibat dalam pelacuran sebagai individu yang baik dan berpribadi,
,mengembalikan mereka kepada situasi dimana mereka dapat berfikir sehat,
bermental kuat, bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan norma yang berlaku
dalam masyarakat, serta mengembalikan
daya fungsi mereka baik sebagai anggota keluarga maupun warga masyarkat[14].
Umumnya, rehabilitasi dilakukan dengan cara penanaman nilai-nilai dalam
masyarakat; peningkatan kesadaran mental, sikap, dan tingkah laku; pemberian
keterampilan yang berdaya-guna ekonomis, penyaluran untuk dikembalikan ke
masyarkat baik itu dengan cara mencari pekerjaan atau melalui perkawinan;
pengawasan setelah mereka disalurkan ke dalam masyarkat; serta evaluasi atas
hasil rehabilitasi tersebut.
Kesimpulan
Sebagai penutup dari tulisan ini, dapat disimpulkan bahwa pelacuran
merupakan suatu masalah sosial yang terjadi ketika nilai-nilai dalam
masyarakat, khususnya nilai kesusilaan, tergeser oleh kepentingan yang bersifat
ekonomis. Pergeseran tersebut terjadi ketika seorang individu atau masyarakat
tidak menyadari dan tidak peduli akan nilai-nilai kehidupan yang telah
disepakati bersama. Pelacuran yang terjadi karena hal dasar seperti itu serta
lebih mementingkan keuntungan ekonomis memiliki akibat yang berdampak buruk
bagi pelaku maupun massyarkat di sekitarnya apabila terus dibiarkan. Untuk
mengatasinya, diperlukan pengendalian sosial baik yang bersifat sosiologis
maupun yuridis agar dampak dari pelacuran tidak semakin merugikan kehidupan
masyarkat.
[1] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: CV
Rajawali, 1986), hlm. 358-359
[2] Ibid, hlm. 359
[3] Drs. Muhammad Hawari, Pola Penanggulangan Pelacuran
(Yogyakarta: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan
Sosial, 1986) hlm. 2
[4] Dr. A.S. Alam, Pelacuran dan Pemerasan: Studi Sosiologis
tentang Eksploitasi Manusia oleh Manusia (Bandung: Alumni, 1984) hlm.39-40
[5] Ibid, hlm.40
[6] Drs. Muhammad Hawari, Op.cit.,
hlm.12
[7] Mutia Irna Jayanthi dan Ikram, Dampak Keberadaan Prostitusi Bagi Masyarakat
(Studi Pada Cafe-Cafe di Daerah Panjang Kota Bandar Lampung), Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik Universitas Lampung,
hlm. 4 diakses 12 April 2015 http://pshi.fisip.unila.ac.id/jurnal/files/journals/5/articles/220/submission/original/220-642-1- SM.pdf
[8] Loc.cit.
[10]
Dr. A.S. Alam, Op.cit., hlm.82-83
Sumber Referensi
1. Alam, A.S.. Pelacuran
dan Pemeresan: Studi Sosiologis tentang Eksploitasi Manusia oleh Manusia. Bandung:
Alumni, 1984.
2. Hawari, Muhammad. Pola Penanggulangan Pelacuran. Yogyakarta:
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial, 1986.
3. Jayanthi, Mutia Irna dan Ikram. Dampak Keberadaan Prostitusi Bagi Masyarakat (Studi Pada Café-Café di
Daerah Panjang Kota Bandar Lampung).. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Lampung, diakses 12 April 2015. http://pshi.fisip.unila.ac.id/jurnal/files/journals/5/articles/220/submission/original/220-642-1-SM.pdf
4. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Demoralisasi, diakses 12 April 2015. http://kbbi.web.id/demoralisasi
5. Soekanto,
Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta:
CV. Rajawali, 1986.
a fun job and thank you for the information
BalasHapusEssen Ikan Lele Aroma Pisang
https://staminaperkasa.com/
BalasHapusWA : 082221100300