Jokowi-JK dan ASEAN Economic Community: Antara Tantangan, Solusi, dan Regulasinya
Halo temans :)
Setelah sekian lama gak nge-post dan hampir gak nge-post di bulan Februari yang super sibuk ini gara-gara mulai masuk kuliah, mata kuliahnya mulai berbau hukum (makanya kudu belajar serius) dan gara-gara MPKT-B dengan Scele tercinta (setiap minggu ada tugas), akhirnya gw memutuskan untuk mem-post esai kritis gw (bisa dibilang post yang satu ini sangat serius - tenang aja, gak ngebosenin kok)
Jadi, esai ini gw tulis ketika gw mengikuti lomba karya tulis, Bunga Rampai LK2. Lomba ini merupakan bagian dari proyek kerja Biro Literasi dan Penulisan (Litpen) LK2FHUI (Lembaga Kajian dan Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia). Pesertanya adalah mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Indonesia dari berbagai jenjang angkatan.
Bunga rampai LK2 tersebut dilaksanakan dalam rangka menyambut transisi pemerintahan dari SBY-Boediono menuju Jokowi-JK (lombanya sekitar bulan Oktober-November), dan dalam esai yang gw tulis, gw mencoba menarik korelasi antara pemerintahan baru dengan tantangan super besar yakni masyarakat ekonomi ASEAN atau ASEAN Economic Community yang berlaku pada tahun 2015 ini (meski belum begitu kelihatan pada saat post ini ditulis). Dicantumkan pula sejumlah tantangan dan tentunya solusinya apabila kita melihat dari segi hukum. Namun apakah solusi yang ditawarkan mampu menjawab tantangan AEC ? Bagaimana pula dengan efek yang ditimbulkan dari AEC ini ? Baik-kah ? Buruk-kah ? Semuanya ada di tulisan ini.
Puji Tuhan, gw bisa mendapat juara ke-2 di lomba ini dengan esai ini pula. Seneng banget bisa mendapatkan prestasi pertama di FH UI. Jadi, sebagai wujud syukur (cie elah), gw membagi esai ini kepada kalian para pembaca.. Mungkin kalian bisa melihat pandangan gw, ataupun pengen liat pula cara menulis esai bagaimana (meskipun esai gw gak sempurna).
Akhir kata, selamat membaca.... (Jangan plagiat, jangan memakai ide/tulisan gw tanpa izin dari gw, mengutiplah dengan cerdas)
Maaf pula apabila cara gw menyusun paragraf per paragrafnya kurang rapi (efek copy-paste dari word),
___________________________________________________________________________________
Setelah sekian lama gak nge-post dan hampir gak nge-post di bulan Februari yang super sibuk ini gara-gara mulai masuk kuliah, mata kuliahnya mulai berbau hukum (makanya kudu belajar serius) dan gara-gara MPKT-B dengan Scele tercinta (setiap minggu ada tugas), akhirnya gw memutuskan untuk mem-post esai kritis gw (bisa dibilang post yang satu ini sangat serius - tenang aja, gak ngebosenin kok)
Jadi, esai ini gw tulis ketika gw mengikuti lomba karya tulis, Bunga Rampai LK2. Lomba ini merupakan bagian dari proyek kerja Biro Literasi dan Penulisan (Litpen) LK2FHUI (Lembaga Kajian dan Keilmuan Fakultas Hukum Universitas Indonesia). Pesertanya adalah mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Indonesia dari berbagai jenjang angkatan.
Bunga rampai LK2 tersebut dilaksanakan dalam rangka menyambut transisi pemerintahan dari SBY-Boediono menuju Jokowi-JK (lombanya sekitar bulan Oktober-November), dan dalam esai yang gw tulis, gw mencoba menarik korelasi antara pemerintahan baru dengan tantangan super besar yakni masyarakat ekonomi ASEAN atau ASEAN Economic Community yang berlaku pada tahun 2015 ini (meski belum begitu kelihatan pada saat post ini ditulis). Dicantumkan pula sejumlah tantangan dan tentunya solusinya apabila kita melihat dari segi hukum. Namun apakah solusi yang ditawarkan mampu menjawab tantangan AEC ? Bagaimana pula dengan efek yang ditimbulkan dari AEC ini ? Baik-kah ? Buruk-kah ? Semuanya ada di tulisan ini.
Puji Tuhan, gw bisa mendapat juara ke-2 di lomba ini dengan esai ini pula. Seneng banget bisa mendapatkan prestasi pertama di FH UI. Jadi, sebagai wujud syukur (cie elah), gw membagi esai ini kepada kalian para pembaca.. Mungkin kalian bisa melihat pandangan gw, ataupun pengen liat pula cara menulis esai bagaimana (meskipun esai gw gak sempurna).
Akhir kata, selamat membaca.... (Jangan plagiat, jangan memakai ide/tulisan gw tanpa izin dari gw, mengutiplah dengan cerdas)
Maaf pula apabila cara gw menyusun paragraf per paragrafnya kurang rapi (efek copy-paste dari word),
___________________________________________________________________________________
Jokowi-JK
dan ASEAN Economic Community:
Antara Tantangan, Solusi, dan Regulasinya
Rabu, 20 Oktober 2014, menjadi hari bersejarah
bagi bangsa Indonesia. Pasangan Presiden dan Wakil Presiden pilihan rakyat,
Joko Widodo dan Jusuf Kalla resmi dilantik dan mengemban amanat yang diberikan
oleh rakyat. Kepercayaan dan harapan yang diberikan rakyat kepada pasangan
Jokowi-JK untuk memimpin bangsa selama lima tahun ke depan amatlah besar.
Namun, harapan rakyat kepada Jokowi-JK dalam membangun Indonesia yang lebih
baik turut diiringi oleh sejumlah tantangan berat yang harus dilalui, khususnya
tantangan terbesar bangsa Indonesia di tahun 2015, yakni keikutsertaan
Indonesia dalam ASEAN Economic Communiy
(AEC).
AEC merupakan
bentuk integrasi ekonomi yang diwujudkan oleh negaranegara anggota ASEAN demi
terciptanya suatu pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara. Pasar tunggal yang
dimaksud adalah suatu kondisi dimana hilangnya sekatsekat atau batasan-batasan
yang dapat menghambat mobilisasi komponen-komponen perekonomian antar sesama
negara, dalam hal ini negara-negara anggota ASEAN
AEC sebagai sebuah pasar tunggal
negara-negara ASEAN, akan memudahkan masuknya barang dan jasa, investasi,
aliran modal, dan tenaga kerja handal antar sesama negara anggota ASEAN,
termasuk Indonesia 1.
AEC seharusnya dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh Indonesia untuk
memperoleh pemasukan nasional dalam lingkup regional. AEC juga dapat dijadikan
ajang untuk memperkenalkan komoditas nasional dan kualitas tenaga kerja oleh
Indonesia.
Sayangnya, AEC
yang seharusnya memberikan manfaat besar bagi perekonomian Indonesia seakan
menjadi bumerang, ketika bangsa ini harus dihadapkan pada kenyataan
akan rendahnya kualitas pembangunan nasional dalam bebagai bidang.
Tertinggalnya kualitas pembangunan ekonomi nasional dapat dilihat dari berbagai
sisi antara lain, rendahnya kualitas industri nasional, lemahnya aliran modal
dalam negeri, kurangnya infrastruktur penunjang, sampai rendahnya kualitas
sumber daya manusia, menjadi potret dari betapa lemahnya dan tidak siapnya
modal pembangunan ekonomi nasional yang dimiliki Indonesia dalam menyambut AEC
Ketidaksiapan
Indonesia dalam menyambut AEC menimbulkan kekhawatiran yang besar akan dampak
negatif dari AEC bagi kehidupan bangsa, khususnya dalam sektor ekonomi.
Terdapat tiga
dampak negatif utama dari AEC terhadap perekonomian Indonesia yang akan
dibahas.
Dampak negatif
pertama adalah peningkatan impor. Peningkatan impor yang apabila tidak dapat
dibendung karena daya saing yang rendah dari produk-produk serupa buatan dalam
negeri, maka tidak mustahil pada suatu saat pasar domestik sepenuhnya akan
dikuasai oleh produk-produk dari luar negeri 2.
Dampak negatif
kedua adalah masuknya investasi asing yang tak terbendung, khususnya investasi
yang berasal dari negara-negara ASEAN, yang tidak diiringi oleh peningkatan
daya saing investasi dalam negeri. Jika daya saing investasi Indonesia rendah,
dalam arti iklim berinvestasi di dalam negeri tidak kondusif dibandingkan
di negara-negara lain, maka bukan saja
arus modal ke dalam negeri akan berkurang tetapi juga modal investasi domestik
akan lari dari Indonesia yang pada akhirnya membuat saldo neraca modal di dalam
neraca pembayaran Indonesia negatif. Pada gilirannya, kurangnya investasi juga
berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan produksi dalam negeri dan ekspor 3
Dampak negatif yang ketiga adalah
adanya membanjirnya tenaga kerja asing, khususnya tenaga ahli, untuk masuk dan
bekerja di Indonesia. Membanjirnya tenaga ahli dari luar Indonesia, dan kalau
kualitas SDM Indonesia tidak segera ditingkatkan untuk dapat menyaingi kualitas
SDM dari negara-negara lain, tidak mustahil pada suatu ketika pasar tenaga
kerja atau peluang kesempatan kerja di dalam negeri sepenuhnya dikuasai oleh
orang asing 4.
Mengingat betapa besarnya dampak
dari AEC bagi Indonesia, pemerintahan baru Jokowi-JK diharapkan dapat
menciptakan solusi-solusi yang tepat dan cermat untuk mencegah dan mengurangi
dampak buruk dari AEC terhadap Indonesia.
Namun, solusi yang diciptakan
oleh pemerintahan Jokowi-JK haruslah diiringi dengan pemberdayaan dan
perlindungan hukum yang kuat. Hal tersebut diperlukan untuk mewujudkan
efektivitas dari solusi-solusi yang diambil, karena dibalik manfaat yang
diberikan oleh suatu solusi, haruslah terdapat perlindungan hukum yang dapat
menjamin keberlangsungan dari solusi tersebut dalam mewujudkan tujuannya.
Tantangan pemerintahan Jokowi-JK dalam menciptakan solusi untuk menghadapi AEC
juga diiringi pula oleh tantangan dalam mewujudkan perlindungan dan jaminan hukum yang memberikan kemanfaatan
bagi perealisasian solusi-solusi tersebut.
Berkenaan dengan tiga dampak
negatif dari AEC yang berpotensi mengancam kelangsungan perekonomian nasional,
terdapat pula tiga solusi yang mungkin dapat diambil, dijalankan, dan dititik
beratkan oleh pemerintahan Jokowi-JK di masingmasing bidang, apabila dilihat
dari kajian hukum dan regulasi yang sudah ada.
Pertama, solusi dari dampak
impor. AEC menutup kemungkinan Indonesia untuk membatasi masuknya barang impor
ke dalam negeri. Satu-satunya jalan yang harus diambil secara serius oleh
pemerintahan Jokowi-JK adalah peningkatan kualitas dan daya saing produk dalam
negeri terhadap produk dari luar negeri.
Namun, fakta menunjukan bahwa
daya saing produk Indonesia relatif rendah dibandingkan dengan produk luar
negeri. Daya saing yang rendah disebabkan oleh tingginya biaya ekspor serta
rendahnya kualitas infrastruktur sebagai penunjang industri.
Sebenarnya, pemerintahan
terdahulu telah menciptakan solusi dalam mengatasi masalah ini, yakni dengan
diciptakannya UU No.3 Tahun 2014 tentang Perindustrian (UU Perindustrian) yangdicanangkan sebagai salah satu strategi memperkuat pembangunan nasional di
bidang ekonomi 5.Singkatnya, UU No.3 Tahun 2014 tentang
Perindustrian memuat tugas pemerintah dalam menyediakan dukungan yang mampu
menunjang kegiatan industri. Dalam UU ini disebutkan pula adanya komitmen
pemerintah dalam peningkatan dan pengadaan produk dalam negeri.
UU No.3 Tahun 2014 yang dirasa
mampu mendukung kegiatan perindustrian sebagai solusi dalam meningkatakan daya
saing nasional, ternyata memiliki tantangan yang harus dihadapi oleh
pemerintahan Jokowi-JK sebagai ‘pewaris’ dari peraturan ini.
Berkaitan
dengan penggunaan produk dalam negeri seperti yang diatur dalam pasal 86 UU No.3
Tahun 2014. Apabila Pemerintah mewajibkan penggunaan produk dalam negeri,
apakah Pemerintah juga menjamin ketersediaan produk dalam negeri, apakah
Pemerintah juga menjamin ketersediaan produk dalam negeri sesuai dengan
spesifikasi yang dikehendaki oleh pengguna nantinya ? Apabila tidak, bagaimana
efektivitas pelaksanaan pasal tersebut ? 6
Tentu tersedia atau tidaknya produk dalam negeri dapat diwujudkan apabila
pemerintah dapat memberikan berbagai penunjangan dan dukungan terhadap
pembentukan dan keberlangsungan industri itu sendiri.
Tantangan berikutnya dari UU No.3
Tahun 2014 adalah munculnya potensi benturan kepentingan. Potensi munculnya
benturan kepentingan terdapat pada pembentukan Komite Industri Nasional serta
perangkatnya yang diatur dalam pasal 113 dan 114. Pasal 113 dalam UU No.3 Tahun
2014 memungkinkan pakar-pakar dari berbagai bidang industri untuk duduk dalam
Komite Industri Nasional, sementara pasal 114 menjadikan Kementerian
Perindustrian, baik itu Menteri atau pejabatnya, sebagai pelaksana tugas Komite
Industri Nasional. Hal inilah yang dikhawatirkan memicu benturan kepentingan
antara Kementerian Perindustrian sebagai pelaksana tugas, dengan para ahli
perindustrian sebagai anggota komite. Benturan kepentingan akan menyulitkan
komite dalam mengambil keputusan terkait kebijakan perindustrian. Menjawab
tantangan ini, Pemerintahan Jokowi-JK, khususnya Kementerian Perindustrian,
harus mampu menyelaraskan kinerja Kementerian dengan para pakar di bidangnya
masing-masing untuk mencegah terjadinya benturan kepentingan yang
dikhawatirkan, dapat menghambat pembangunan dan pengembangan industri nasional.
Dampak negatif kedua dari AEC
bagi Indonesia adalah infalsi yang tak terbendung dari negara-negara anggota
ASEAN.
Berkaitan dengan investasi, pemerintah sudah
menyiapkan sebuah regulasi, namun regulasi yang ada cenderung memberikan
kelonggaran dan kemudahan bagi investor asing untuk menanamkan modalnya di
Indonesia. Peraturan yang ada saat ini merupakan peraturan yang diwariskan dari
zaman orde baru, yakni UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing serta
Penambahan dan Pengubahan UU No.1 Tahun 1967 yang terdapat dalam UU No.11 Tahun
1970. Ada pun peraturan terbaru yang mengatur penanaman modal, terdapat pada UU
No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang isinya juga tetap memberlakukan
materi yang ada di dalam UU No.1 Tahun 1967 berikut UU No.11 Tahun 1970.
Peraturan yang
diwariskan oleh pemerintahan orde baru, bisa dikatakan memberi manfaat terhadap
pertumbuhan dan pembangunan ekonomi saat ini, seperti adanya pembukaan lapangan
kerja, transfer teknologi, dan lainnya. Namun, apakah peraturan tentang
penanaman modal yang sudah ada, relevan dengan kehidupan bangsa pada tahun 2015
?
Melihat kembali UU No. 1 Tahun 1967
dan UU No. 11 Tahun 1970, pemerintah memberikan sejumlah kemudahan bagi
investor asing dalam menanamkan modalnya di Indonesia. Kemudahan tersebut
berupa kelonggaran pajak dan segala jenis pungutan. Diberikannya kelonggaran
perpajakan dan pungutan lain oleh pembuat undang-undang bagi penanam modal
asing dimaksudkan sebagai perangsang bagi investor asing untuk menanamkan
modalnya di Indonesia, guna memungkinkan pembangunan ekonomi khususnya dan
pembangunan masyarakat umumnya 7.
Keringanan dan kelonggaran dari pajak dan pungutan ini dapat dilihat pada pasal
15 sampai 17 dalam UU No. 1 Tahun 1967.
Berkaitan dengan AEC, adanya
pembebasan serta kelonggaran pajak dan pungutan tersebut, justru berpotensi
menghasilkan serbuan investasi asing ke Indonesia, terutama dari negara-negara
ASEAN, yang nantinya memberikan dampak negatif seperti yang telah disebutkan
sebelumnya. Untuk mengantisipasinya, pemerintahan Jokowi-JK perlu mengurangi
fasilitas investor akan pembebasan pajak serta mempertegas syarat-syarat dalam penanaman
investasi asing. Meskipun mempertegas syarat dan mengurangi fasilitas, bukan
berarti pemerintahan Jokowi-JK tertutup pada investasi asing. Idealnya,
pemerintahan Jokowi-JK haruslah tetap menjaga keterbukaan Indonesia akan
investasi asing, tetapi diiringi pembatasan demi terjaganya iklim usaha yang
sehat.
Dampak negatif AEC ketiga yang
harus diatasi oleh pemerintahan Jokowi-JK adalah masuknya tenaga kerja asing
dan tenaga ahli ke Indonesia secara tak terkendali.
Menyikapinya, pemerintah telah
menciptakan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dengan adanya UU ini,
tenaga kerja Indonesia sebenarnya tidak perlu takut dalam menghadapi kedatangan
tenaga kerja asing, khususnya dari negara anggota ASEAN,
karena adanya larangan pemeberi kerja atau orang perseorangan untuk
mempekerjakan orang asing (ps. 42 ayat 2) dan adanya pembatasan masa kerja
sesuai dengan perjanjian kerja yang mengikat tenaga kerja, (ps 59 ayat 1) 8.
Meski UU No.3 Tahun 2003 dirasa
mampu menjamin tersedianya kesempatan kerja bagi tenaga kerja Indonesia, namun
UU tersebut belum mampu memberikan jaminan peningkatan kualitas tenaga kerja,
seperti yang diatur dalam bab V. Ketiadaan dari perealisasian pelatihan kerja yang
maksimal menjadi alasannya.
Kurang maksimalnya pelaksanaan pelatihan kerja
berakibat pada minimnya kualitas dari tenaga kerja Indonesia, sekalipun tenaga
ahlinya. Minimya jumlah tenaga kerja dan tenaga ahli yang memiliki kualitas
yang baik menjadikan Indonesia sebagai
‘ladang’ kerja
yang potensial bagi tenaga kerja dan tenaga ahli dari luar negeri, khususnya
dari negara anggota ASEAN. Lambat laun
Peningkatan dan pembangunan kualitas
tenaga kerja dan tenaga ahli Indonesia, kiranya patut diperhatikan oleh
pemerintahan Jokowi-JK dalam mempersiapkan SDM Indonesia menyambut AEC tahun
2015.
Setelah mengkaji dan menganalisa
AEC serta dampaknya bagi Indonesia, dapat disimpulkan bahwa pemerintahan
Jokowi-JK memiliki tantangan berat untuk mematangakan dan meningkatkan daya
saing Indonesia di kancah perekonomian ASEAN, baik itu dari kualitas industri,
investasi, serta tenaga kerja seperti yang telah dikaji. Namun, untuk
mewujudkan daya saing yang matang dari ketiga aspek tersebut, pemerintahan
Jokowi-JK perlu memberikan jaminan regulasi yang efektif. Jaminan regulasi yang
ada pun perlu disesuaikan dengan kondisi menjelang AEC tahun 2015.
Kini, kita berharap agar
Jokowi-JK mampu memimpin bangsa selama lima tahun ke depan, dan memberikan
solusi atas semua tantangan bangsa.
________________________
[1] HMBC Rikrik Rizkiyana, S.H., Pendidikan Hukum dan ASEAN Economic Community, Konferensi Nasional Hukum. Depok, Indonesia
[2] Dr Tulus Tambunan, MA, “Globalisasi Ekonomi dan Ekonomi Kerakyatan: Suatu peluang atau ancaman ?”, Ekonomi Kerakyatan dalam Kancah Globalisasi, (Jakarta : Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia, 2003), hlm.95.
[3] Dr. Tulus Tambunan, MA,
Ibid, hlm. 96
[4]
Dr. Tulus Tambunan, MA, Ibid, hlm. 96
[5]
Miko S. Ginting, dkk. (peny), Catatan
Kinerja Legislasi DPR 2013: Capaian Menjelang Tahun Politik (Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
Indonesia, 2014), hlm. 93
[6]
Miko S. Ginting., dkk., ibid hlm. 96
[7]
Hulman Panjaitan, S.H., Hukum Penanaman
Modal Asing, (Jakarta: IND-HILL CO, 2002), hlm. 67
[8]
Indra, S.H., Pendidikan Hukum dan ASEAN
Economic Community, Konferensi Nasional Hukum.
Depok, IndonesiaSumber Referensi
Daftar Pustaka
1. Ginting, Miko S., dkk. (peny.), Catatan Kinerja Legislasi DPR 2013:
Capaian Menjelang Tahun Politik. cet.1. (Jakarta: Pusat Studi Hukum &
Kebijakan Indonesia, 2014).
2. Pandu, Yudha (ed.), UU RI Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan & UU RI Nomor 2
Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, cet.1.
(Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2004)
3. Panjaitan, Hulman, S.H., Hukum Penanaman Modal Asing, cet.1. (Jakarta: IND-HILL CO, 2003)
4. Tambunan, Tulus, Dr., MA, “Globalisasi Ekonomi
dan Ekonomi Kerakyatan: Suatu Peluang atau Ancaman ?”, Ekonomi Kerakyatan dalam Kancah Globalisasi. (Jakarta: Kementerian
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia, 2003)
Referensi Lain
1.
Indra, S.H., Pendidikan
Hukum dan ASEAN Economic Community, Konferensi
Nasional Hukum, Depok,
Indonesia
2. Rizkiyana, HMCB Rikrik, Pendidikan Hukum dan ASEAN Economic Community, Konferensi Nasional
Hukum, Depok Indonesia
Komentar
Posting Komentar