Sejumlah Alasan Mengapa Australia Harus Menghormati Hukum Indonesia: Kajian Mengenai Eksekusi Hukuman Mati Terhadap Duo Bali Nine
Halo semuanya :)
Setelah sekian lama gak ngepost karena kuliah dan UAS, akhirnya gw bisa menikmati hari libur selama 3 bulan terhitung hari ini sampai 1 September 2015. Jadi, karena waktu luang gw bener-bener luas (meski masih cemas sama hasil kuliah semester 2 yang menyedihkan-mohon doanya ya...) maka gw bisa fokus mengelola blog ini...
Setelah sekian lama gak ngepost karena kuliah dan UAS, akhirnya gw bisa menikmati hari libur selama 3 bulan terhitung hari ini sampai 1 September 2015. Jadi, karena waktu luang gw bener-bener luas (meski masih cemas sama hasil kuliah semester 2 yang menyedihkan-mohon doanya ya...) maka gw bisa fokus mengelola blog ini...
Untuk mengisi blog gw pasca kelar UAS, maka gw akan kembali posting esai gw yang sebenarnya merupakan kerjaan gw sebagai staff di bidang Literatur dan Penulisan Lembaga Kajian dan Keilmuan FHUI (Litpen LK2FHUI) dimana esai ini sendiri gw tulis berdasar ketertarikan gw terhadap kasus eksekusi mati terhadap dua terpindana narkotika asal Australia yang dikenal sebagai duo Bali Nine (Esai ini gw tulis pada bulan Maret dimana kasusnya bener-bener panas, adapaun duo Bali Nine beserta terpidana mati lainnya sudah dieksekusi pada akhir April 2015)...
Selamat membaca dan selalu gw ingatkan JANGAN PLAGIAT dan JANGAN KEPIKIRAN UNTUK MELAKUKAN TINDAKAN PLAGIARISME !!
_________________________________________________________________________________
Sumber Gambar: http://us.images.detik.com/content/2015/05/02/1148/114638_104920_balinineafp.jpg
Sejumlah
Alasan Mengapa Australia Harus Menghormati Hukum Indonesia: Kajian Mengenai Eksekusi Hukuman Mati Terhadap Duo Bali Nine
Oleh: Alfian Anditya
Eksekusi mati kasus
narkotika tahap dua yang menyertakan duo bali
nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, telah mencuri perhatian publik
belakangan ini. Hukuman mati berikut eksekusi, merupakan hal yang biasa bagi
masyarakat Indonesia, terlebih masyarakat hukumnya. Namun, eksekusi mati yang
merupakan hal biasa tersebut menjadi tidak biasa dan mencuri perhatian publik
ketika sang terpidana mati merupakan warga negara asing dan pemerintahan negara
yang bersangkutan memohon-mohon kepada Indonesia untuk membatalkan eksekusi
tersebut. Situasi semacam iniliah yang mewarnai media massa belakangan ini,
dimana pemerintah Australia bersikeras membujuk Indonesia untuk membatalkan
eksekusi mati terhadap dua warga negaranya.
Dalam membujuk
pemerintah Indonesia untuk membatalkan eksekusi mati terhadap duo bali nine,
pemerintah Australia dibawah pimpinan perdana menteri Tony Abbot melakukan
segala cara. Sudah terhitung enam upaya yang dilakukan oleh pemerintah
Australia untuk membatalkan eksekusi mati Andrew Chan dan Myuran Sukumaran
yakni, mengajukan banding secara tertulis untuk mengabulkan grasi kepada
presiden Joko Widodo, mengancam untuk memboikot pariwisata Indonesia,
mengungkit bantuan tsunami Aceh, melobi presiden jokowi secara personal, mengajukan
barter narapidana, sampai yang terbaru melobi PBNU untuk membujuk pemerintah
Indonesia agar membatalkan eksekusi mati [1].
Namun, segala cara yang
dilakukan oleh Australia tidak pernah membuahkan hasil. Eksekusi mati tahap dua
tetap akan dilaksanakan meski belum diketahui tanggal pastinya. Menanggapi
upaya yang dilakukan oleh Australia, presiden Joko Widodo berkali-kali
mengatakan bahwa hukuman mati merupakan bentuk dari kedaulatan hukum Indonesia
yang harus dihormati oleh Australia. Presiden juga berkali-kali menyebut
hukuman mati merupakan hukum positif Indonesia yang harus ditaati. Pernyataan
presiden Joko Widodo tersebut memang benar.
Namun, terbesit
pertanyaan besar, mengapa Australia harus menghormati kedaulatan hukum
Indonesia ? Pertanyaan tersebut akan dijawab dalam esai yang saya tulis ini.
Alasan pertama
Australia harus menghormati hukum Indonesia terkait kasus bali nine merupakan
alasan yang berkaitan dengan batas berlakunya hukum pidana Indonesia, yakni
batas tempat dimana asas teritorial memainkan peran besar dalam pengenaan hukum
pidana Indonesia terhadap duo bali nine. Asas yang sangat dasar inilah yang
seharusnya dapat dimengerti oleh Australia untuk menghormati hukum positif
Indonesia. Dalam mengkaji asas teritorial dan alasan Australia harus
menghormati hukum Indonesia berkaitan dengan asas ini, kita perlu kembali ke
bulan April tahun 2005 dimana Polri menangkap kelompok bali nine. Lima dari
sembilan anggota kelompok ini (termasuk Andrew Chan) ditangkap di Bandara I
Gusti Ngurah Rai saat hendak terbang ke Australia, dimana mereka kedapatan
membawa heroin (meski Andrew Chan naik pesawat yang berbeda dan tidak ditemukan
membawa heroin). Empat anggota lain termasuk Myuran Sukumaran menyimpan heroin
seberat 350 gram di Hotel Melasti, Kuta tempat mereka menginap.
Asas teritorial dalam
hukum pidana Indonesia dirumuskan secara tegas dalam Pasal 2 KUHP yakni “Aturan pidana dalam perundang-undangan
Indonesia berlaku terhadap setiap orang yang melakukan tindak pidana di dalam
wilayah Indonesia”. Dalam ketentuan mengenai asas teritorial tersebut, yang
menjadi dasar berlakunya hukum adalah tempat atau wilayah hukum negara tanpa
memerhatikan dan tanpa mempersoalkan siapa, atau apa kualitasnya atau
kewarganegaraannya, siapa pun yang melakukan
tindak pidana dalam wilyah hukum Indonesia, hukum pidana Indonesia
berlaku terhadap orang itu [2].
Alasan teritorial
merupakan modal dasar Indonesia dalam mengadili kelompok bali nine, termasuk
menjatuhkan hukuman mati pada Chan dan Sukumaran. Namun, asas teritorial tersebut
tampaknya hanya berlaku penuh bagi mereka yang tertangkap di Hotel Melasti,
Kuta termasuk salah satunya Myuran Sukumaran. Lima orang sisanya, ditangkap di
dalam pesawat yang hendak menuju ke Australia, yang berarti mereka telah
melewati batas imigrasi di bandara Ngurah Rai. Melewati batas imigrasi yang
ditandai oleh garis kuning di sebuah bandara internasional sama saja dengan
melewati batas hukum positif suatu negara (dalam hal ini hukum positif
Indonesia) dan memasuki wilayah hukum internasional (dimana hukum Indonesia
tidak berlaku) [3].
Hukum internasional merupakan hukum yang sifatnya lemah dan cenderung tidak
konkrit, sehingga merujuk pada sifat dari hukum internasional, Australia dapat
memiliki alasan dalam membujuk pemerintah Indonesia untuk memabatalkan eksekusi
mati duo bali nine.
Meskipun Australia
memiliki alasan yang berkaitan dengan hukum internasional, Indonesia tetap
memiliki argumennya sendiri untuk tetap menjalankan eksekusi mati. Argumen
inilah yang menjadi alasan kedua mengapa Australia harus menghormati hukum
Indonesia dalam kasus ekseskusi mati duo bali nine.
Kembali lagi ke tahun
2005, tepatnya tanggal 8 April 2005, Liaison Officer (LO) senior Australian Federal Police (AFP), Paul
Hunniford mengirimkan surat kepada Polri di Denpasar yang berisikan informasi
mengenai adanya sekelompok orang (diduga berjumlah delapan orang) yang
menyelundupkan narkoba (diduga heroin)
dari Bali ke Australia. Surat tersebut pun juga dilengkapi dengan nama dan
tanggal yang diduga merupakan waktu saat mereka masuk dan keluar dari
Indonesia. Tanggal 12 April, AFP mengirimkan surat kedua kepada Polri dan
memberitahukan informasi mengenai kurir narkoba dan rencana operasi penyelundupannya.
Barulah, pada tanggal 17 April 2005, Polri menangkap orang-orang yang diduga
menyelundupkan narkoba ke Australia (yang nantinya dikenal sebagai bali nine)
berkat informasi dari AFP [4].
Dibalik pemberian
informasi kepada Polri terkait penyelundupan narkoba, tentu AFP memiliki alasan
atas tindakan yang diambilnya tersebut. Komisaris AFP kala itu, Mick Keelty
mengatakan bahwa alasan utama dari pemberian informasi dan meminta Polri
menangkap kelompok bali nine ialah untuk mencegah terjadinya distribusi narkoba
jenis herion di Australia [5]. Dalam upaya mencegah masuknya heroin ke
Australia dan mengingat si pelaku berada di negara lain (dimana hukum Australia
dianggap tidak mampu menjangkau si pelaku), Keelty menambahkan bahwa ia tidak
memiliki pilihan selain bekerja sama dengan Polri dengan cara memberikan batuan
informasi. Pilihan bekerja sama dengan Polri juga diambil Keelty dalam rangka
memberi gangguan pada jaringan sindikat narkoba internasional, sekaligus
sebagai bentuk perang terhadap narkoba[6].
Namun, entah
disadari atau tidak, pemberian informasi oleh AFP kepada Polri merupakan wujud
dari pelimpahan wewenang oleh hukum Australia kepada hukum Indonesia dalam
menangani kasus bali nine. Australia seakan melempar tanggung jawab kepada
Indonesia dalam menangkap kelompok bali nine demi mencegah masuknya narkoba ke
negara mereka tanpa menyadari adanya hukuman mati yang berlaku bagi pengedar
narkoba di Indonesia. Bisa dikatakan, Australia telah melakukan blunder terhadap warga negaranya
sendiri.
Alasan ketiga dan
terakhir mengapa Australia harus menghormati kedaulatan hukum Indonesia dalam
kasus bali nine adalah adanya hak yang dimiliki oleh Indonesia dalam melindungi
rakyat dan generasi mudanya (terutama) dari ancaman narkotika.
Dari sidang umum
ICPO (International Criminal Police
Organization) ke-66 tahun 1997 di India yang diikuti seluruh anggota yang
berjumlah 177 negara dari Benua Amerika, Asia, Eropa, Afrika, dan Australia,
Indonesia masuk dalam daftar tertinggi negara-negara yang menjadi sasaran peredaran
obat-obatan terlarang narkotika, yang disejajarkan antara lain dengan Jepang,
Thailand, Malaysia, Filipina, dan Hongkong [7]. Rangking
Indonesia pada tahun 1997 tersebut mungkin masih bertahan dan kalau pun turun,
Indonesia masih berada dalam urutan-urutan atas sebagai pasar peredaran narkoba
dunia.
Kasus bali nine
menjadi bukti nyata akan status Indonesia sebagai pasar peredaran narkotika, khususnya
provinsi Bali yang merupakan daerah wisata dan ramai dikunjungi pelancong
mancanegara. Bukan tanpa alasan bahwa terdapat sejumlah pendapat yang
mengakatakan provinsi Bali menjadi wilayah yang marak akan peredaran dan
penyalahgunaan narkotika. Dalam arca pencanangan gerakan kampanye “anti mandat”
di Denpasar pada tahun 2001, Kapolda Bali I Wayan Ardjana (yang saat itu
memegang jabatan Kapolda Bali) memberikan pendapatnya seperti berikut: “ Bahwa hendaknya menjadi perhatian semua
dan perlu dilakukan tindakan tegas dalam upaya pemberantasan peredaran narkoba
di Bali. Yang lebih memperihatinkan ditengarai bahwa saat ini Bali bukan lagi
sebagai daerah transit, tetapi telah menjadi salah satu pusat distribusi
peredaran narkoba. Bukan tidak mungkin hal ini dilakukan oleh sindikat
internasional yang mempunyai jaringan yang solid dan rapi.”[8].Apa yang dikatakan oleh Ardjana di
tahun 2001 ternyata menjadi kenyataan ketika kelompok bali nine ditangkap oleh
Polri pada tahun 2005, terlebih lagi bali nine merupakan bagian dari sindikat
internasional yang jaringannya solid dan rapi.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya,
Indonesia merupakan wilayah yang memiliki potensi tinggi bagi peredaran dan
penyelundupan narkoba, terutama bagi sindikat narkoba internasional. Dijadikannya
Indonesia sebagai pasar narkoba internasional tentu menjadi ancaman serius bagi
segenap rakyat Indonesia, khususnya generasi muda penerus bangsa. Sangatlah
merisaukan bila kelak generasi muda dari bangsa ini tidak dapat keluar dari
pengaruh ancaman bahaya narkotika jiga tidak ditangani dengan serius oleh semua
fihak, terutama aparat kemanan[9].
Berbicara mengenai
aparat keamanan dalam penanganan kasus narkotika, bisa dikatakan bahwa aparat
keamanan maupun penegakan hukum kurang melakukan pengawasan dalam
mengantisipasi masuk dan menyebarnya peredaran narkotika di Indonesia. Namun,
sejak pemerintahan baru Jokowi-JK memimpin dan menjalankan negeri ini, upaya
dalam mengantisipasi dan perang melawan narkoba di Indonesia mulai ditingkatkan
kembali. Dilaksanakannya eksekusi mati tahap pertama dan akan dijalankannya
eksekusi mati tahap kedua (termasuk duo bali nine didalamnya) merupakan bukti
nyata bahwa pemerintah beserta aparat penegak hukum benar-benar serius dalam
memerangi narkoba. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, berbagai modus dan
upaya penyelundupan narkoba semakin berkembang berikut sindikat narkoba juga
semakin menguat.
Dalam menyikapi hal
tersebut, penegakan hukum terhadap perkembangan tindak pidana narkotika dengan
modus operandi dan dengan mempergunakan teknologi canggih harus diantisipasi
dengan peningkatan kualitas penegak hukum dan kelengkapan perangkat hukum serta
tatanan hukum yang dilandaskan kepada pandangan bahwa masyarakat nasional
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat internasional, sehingga
bertitik tolak dari pandangan tersebut, konsep penegakan hukum yang tepat,
berdaya guna dan berhasil guna adalah konsep penegakan hukum yang tidak hanya
mementingkan kepentingan untuk melindungi masyarakat nasional, melainkan juga memperhatikan
kepentingan perlindungan masyarakat internasional [10].
Kelompok bali nine
berikut heroin yang diselundupkannya, dipandang baik itu oleh Australia maupun
Indonesia, sebagai bentuk ancaman nyata bagi masyarakat dan generasi muda di
dua negara. Keduanya sama-sama memiliki hak untuk melindungi warga negaranya
dari narkoba. Namun, ketika proses hukum berjalan, dimana proses hukum di
Indonesia merupakan bentuk perlawanan terhadap ancaman narkoba tersebut,
Australia haruslah menghormati proses hukum tersebut. Sesungguhnya, Australia
secara tidak langsung menghambat perang melawan narkoba yang dilakukan oleh
kedua negara apabila membujuk Indonesia membatalkan eksekusi mati terhadap duo
bali nine meskipun dalam lingkup moralitas. Jikalau Australia berhasil membujuk
Indonesia untuk membatalkan eksekusi mati meskipun duo bali nine dipenjara
seumur hidup, bukan tidak mungkin sindikat internasional tidak akan memiliki
rasa takut untuk menyelendupkan dan mengedarkan narkoba di Indonesia. Mereka
pun dapat menilai bahwa resiko terbesar ketika melakukan delik narkoba di
Indonesia hanya sebatas hukuman penjara, bukannya hukuman mati. Pada
perkembangannya pun kita dapat memprediksi bahwa Indonesia akan tetap berada
dalam urutan atas sebagai negara dengan pasar narkotika terbesar di dunia
apabila hukuman mati tidak diterapkan/
Sebagai kesimpulan
dari tulisan ini, dengan mempertimbangkan ketiga alasan, yakni locus delicti tempat berlakunya tindak
pidana narkotika di Indonesia, pelimpahan wewenang sekaligus dianggap sebagai
pelimpahan tanggung jawab dari AFP kepada Polri, serta akibat yang dapat
diderita oleh bangsa Indonesia ketika ancaman narkotika tetap ada, maka
Australia haruslah menghormati kedaulatan hukum Indonesia. Australia juga perlu
menyadari bahwa apa yang dilakukan oleh Indonesia dalam proses hukum duo bali
nine, memberikan manfaat kepada
Australia dalam mencegah masuk dan menyebarnya narkotika di negeri mereka
sendiri. Kiranya, kita masih perlu menunggu dan mengawasi perkembangan dari
eksekusi mati tahap kedua yang akan dilakukan oleh aparat penegak hukum
Indonesia dalam waktu dekat.
[2] Adami
Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana I: Stelsel Pidana,
Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan, dan Batas Berlakunya Hukum Pidana ( Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012), hlm 204.
[4] “ AFP Will Have Blood on Its Hands If Bali Pair Chan and Sukumaran
are Executed”, theage.com, diakses 14 Maret 2015,
http://thenewdaily.com.au/news/2015/02/25/revealed-evidence-afp-handed-bali-nine/
[7] H. Hadiman. Menguak Misteri Maraknya Narkoba di
Indonesia.( Jakarta: Badan Kerja Sama Sosial Usaha Pembinaan Warga Tama,
1999), hlm. 1
[8] O.C. Kaligis
dan Soedjono Dirdjosisworo. Narkoba &
Peradilannya di Indonesia (Reformasi Hukum Pidana Melalui Perundangan Dan
Peradilan).( Bandung: P.T.
Alumni, 2007), hlm.302-303
[9] Moh. Taufik
Makaro, Drs. Suhasril, dan H.Moh. Zakky A.S. Tindak Pidana Narkotika. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), hlm. 2
[10] Andi Hamzah
dan RM.Surachman.Kejahatan Narkotika dan
Psikotropika. (Jakarta: Sinar Grafika,1994), hlm. _________________________________________________________________________________
Daftar Referensi
Buku:
Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana I: Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan, dan Batas Berlakunya Hukum Pidana . Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012.
Hadiman, H. Menguak Misteri Maraknya Narkoba di Indonesia. Jakarta: Badan Kerja Sama Sosial Usaha Pembinaan Warga Tama, 1999.
Hamzah, Andi, dan RM.Surachman. Kejahatan Narkotika dan Psikotropika. Jakarta: Sinar Grafika, 1994.
Kaligis, O.C., dan Soedjono Dirdjosisworo. Narkoba & Peradilannya di Indonesia (Reformasi Hukum Pidana Melalui Perundangan Dan Peradilan). Bandung: P.T. Alumni, 2007.
Makaro, Moh. Taufik, Drs. Suhasril, dan H.Moh. Zakky A.S. Tindak Pidana Narkotika. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003.
Referensi Lain:
Afriansyah, Arie. Pelatihan Penulisan Karya Tulis Ilmiah dan Esai Populer. Depok, Indonesia.
Metro Malam. “Jelang Eksekusi Mati.” diakses 12 Maret 2015
theage.com.“ AFP Will Have Blood on Its Hands If Bali Pair Chan and Sukumaran are Executed.”diakses 14 Maret 2015.
thenewdaily.com.“ Revealed Evidence AFP Handed Bali Nine.”diakses 14 Maret 2015.
http://thenewdaily.com.au/news/2015/02/25/revealed-evidence-afp-handed-bali-nine/
Komentar
Posting Komentar